OPINI  

Jangan Suka Menghakimi Orang Lain Dengan Menuduh Kafir

Foto ilustrasi istimewa

Catatan Hikmah Jagad N *)

Dalam tayangan video yang beredar di media sosial, seorang penceramah dengan berapi-api menuduh orang lain kafir hanya karena perbedaan politik dan perbedaan cara pandang.

Fenomena mengkafirkan sesama muslim yang saat ini sering kita lihat di sekitar kita secara mendasar hampir sama dengan kejadian yang menimpa Sayyidina Ali yang notabene sepupu dan menantu dari Nabi Muhammad Saw. Hanya karena perbedaan dalam pandangan fiqih yang furu‘iyyah ditambah dengan perbedaaan pandangan dan sikap politik, sebagian kita dengan mudah mencap yang lain telah kafir, menuduh mereka munafik, dan mengatakan mereka dengan julukan-julukan lain yang merendahkan martabatnya.

Perspektif melihat perbedaaan sebagai rahmat ilahi dewasa ini kurang diamalkan dengan baik. Banyak dari kita yang masih alergi dengan perbedaan dalam pendapat dan pandangan fiqih.

Dewasa ini tren mengkafirkan sudah menjadi lumrah bagi segelintir orang. Mereka tidak segan dan mudah menuduh tetangganya kafir, imamnya kafir, negaranya kafir, pemimpinnya kafir, mungkin saja orang tuanya kafir. Klaim kafir-mengkafirkan mudah terlepas dari mulut seseorang ketika melihat yang lain berbeda keyakinan, paham, aliran bahkan berbeda kepentingan politik.

Ini merupakan tragedi kemanusiaan dalam Islam yang berujung perpecahan dan pembunuhan sesama muslim karena diawali dengan klaim pengkafiran terhadap sesama muslim yang bersumbu dari perbedaan politik dalam Islam.

Dalam posisi yang berbeda dari sisi keagamaan, betapa pun sangat dalam perbedaannya, kita tidak boleh menghukumi kafir kepada mereka yang masih bersyahadat dan menjalankan shalat. Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab Lum’atul I’tiqad menyatakan “la nukaffiru ahadan min ahlil qiblati bi dzanbin wa la nukhrijuhu ‘anil Islam bi ‘amalin” (kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat dengan sebab  dosa yang dia lakukan, dan kami tidak mengeluarkannya dari Islam dengan sebab perbuatannya).

Dalam kenyataannya, saat ini mudah sekali sebagian orang menghukumi “kafir” kepada mereka yang berbeda penafsiran dan juga berbeda aliran keagamaan. Betapa mudahnya sebagian orang mengkafirkan muslim lainnya seolah mereka tidak takut dengan ancaman dari Hadits Nabi berikut: “Barang siapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” (HR Bukhari-Muslim).

Sikap menghakimi orang lain masih seringkali dijumpai dalam masyarakat kita. Menilai negatif orang lain secara subjektif tanpa tahu latar belakang apa yang membuatnya seperti itu terkadang justru berujung pada sikap berburuk sangka.

Buruk sangka atau dalam bahasa agama disebut su’udzan adalah sikap tercela. Kita dilarang untuk berburuk sangka kepada orang jahat, apalagi kepada orang baik-baik. Berprasangka buruk merupakan salah satu penyakit hati yang harus diperangi. Sifat ini biasanya disebabkan oleh nafsu untuk membenci orang lain.

Dalam dunia tasawuf, berburuk sangka kepada orang lain merupakan penyakit hati yang berbahaya. Bahkan, angan-angan buruk yang terlintas di benak kita saja harus segera dilenyapkan dengan cara mendustakannya. Hanya dengan cara demikian, Allah akan mengampuni kita.

Mencela sesama kaum muslimin secara umum termasuk dalam perbuatan dosa besar, apalagi mengkafirkan sesama muslimin.

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)

Lebih dari itu adalah mencela sesama muslim dengan melemparkan tuduhan bahwa dia telah kafir. Perbuatan ceroboh (penyakit) semacam ini telah menjangkiti sebagian kaum muslimin karena lemahnya pemahaman mereka terhadap aqidah dan manhaj yang benar.

“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)

Persatuan umat Muslim dapat diperkuat dengan menghindari sikap mudah mengkafirkan, karena tindakan ini sering memicu perpecahan. Islam mengajarkan kasih sayang, toleransi, dan saling menghormati antar sesama.

Mengkafirkan seseorang tanpa dasar syariat yang jelas bertentangan dengan prinsip ukhuwah Islamiyah. Fokuslah pada persamaan aqidah, perbanyak dialog yang membangun, dan hindari prasangka buruk. Dengan saling memahami dan menghormati perbedaan pendapat dalam batas syariat, umat Muslim dapat menjaga kebersamaan dan kekuatan.

*) Pekerja media

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *