Oleh : Achmad Nur Hidayat
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Pemerintah Indonesia tengah merancang Danantara sebagai instrumen baru untuk mengoptimalkan aset negara tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ide ini sejalan dengan model yang telah diterapkan oleh beberapa negara lain, seperti Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia.
Namun, anggapan bahwa Danantara bisa langsung menjadi motor penguatan ekonomi Indonesia dalam waktu singkat adalah ilusi.
Masih banyak tantangan yang harus diselesaikan sebelum lembaga ini dapat diandalkan untuk memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.
Kisah Panjang Temasek dan Khazanah: Bukan Keberhasilan Instan
Untuk memahami tantangan yang dihadapi Danantara, kita perlu melihat perjalanan panjang dua lembaga serupa yang telah lebih dahulu sukses: Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia.
Temasek Holdings dibentuk pada 1974 dengan tujuan mengelola investasi negara secara independen. Keberhasilannya tidak datang dalam semalam.
Temasek harus melalui berbagai fase reformasi, pembelajaran dari kegagalan, serta peningkatan tata kelola dan profesionalisme selama bertahun-tahun.
Salah satu faktor kunci yang membuat Temasek berhasil adalah independensi dari intervensi politik, struktur kepemimpinan yang profesional, serta kepercayaan investor internasional terhadap transparansi dan manajemen risikonya.
Khazanah Nasional, yang didirikan pada 1993, juga menghadapi jalan panjang dan berliku sebelum akhirnya dianggap sebagai sovereign wealth fund yang kompetitif.
Seperti Temasek, Khazanah juga memiliki tantangan internal, termasuk restrukturisasi BUMN, pengelolaan aset strategis, dan peningkatan daya saing global.
Keberhasilan Khazanah sangat bergantung pada kredibilitasnya dalam mengelola investasi dan menjaga profesionalisme dalam tata kelola aset negara.
Dalam dua contoh tersebut, ada satu kesamaan utama: tidak ada jalan pintas menuju kesuksesan.
Mereka membutuhkan puluhan tahun untuk membangun reputasi internasional, menarik investasi global, dan mengelola aset dengan efisiensi tinggi.
Geopolitik yang Tidak Menguntungkan: Faktor Eksternal yang Perlu Diwaspadai
Di luar tantangan internal, kondisi geopolitik saat ini juga kurang mendukung bagi Danantara.
Ketidakpastian global yang dipicu oleh perang dagang, konflik geopolitik di berbagai kawasan, serta ketidakstabilan ekonomi global membuat investor cenderung memilih investasi yang lebih aman dan stabil.
Dalam situasi seperti ini, investor lebih memilih sovereign wealth fund yang telah mapan seperti Temasek atau Khazanah daripada entitas baru seperti Danantara yang masih mencari pijakan.
Selain itu, posisi Indonesia dalam geopolitik global juga menambah kompleksitas.
Negara-negara dengan sovereign wealth fund yang sukses biasanya memiliki hubungan internasional yang stabil, regulasi yang ramah investasi, serta ekosistem bisnis yang mendukung.
Jika Indonesia tidak dapat memastikan stabilitas regulasi dan kebijakan yang konsisten, maka akan sulit bagi Danantara untuk menarik investor internasional.
Butuh Waktu, Bukti, dan Profesionalisme: Jangan Ambisius!
Danantara bukan ide yang buruk, tetapi untuk menjadikannya sebagai motor penguatan ekonomi Indonesia tanpa membebani APBN masih terlalu jauh.
Tantangan yang dihadapi terlalu besar untuk diatasi dalam waktu singkat.
Indonesia harus belajar dari pengalaman Temasek dan Khazanah bahwa kesuksesan membutuhkan waktu, konsistensi, profesionalisme, dan independensi dari politik.
Singkatnya, Danantara masih butuh waktu panjang untuk membuktikan diri sebelum bisa menjadi motor penguatan ekonomi Indonesia tanpa membebani APBN.
Mengelola aset negara bukanlah hal yang bisa dilakukan secara instan.
Jika tidak dikelola dengan hati-hati, alih-alih membawa keuntungan, Danantara justru bisa menjadi beban baru bagi perekonomian Indonesia.
Oleh karena itu, perlu kebijakan yang matang dan eksekusi yang profesional agar Danantara dapat berkembang menjadi instrumen yang benar-benar bermanfaat bagi negara.
END