Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn *)
Perhelatan pesta demokrasi untuk menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan, akan digelar tak lama lagi. Kita tentu berharap, pemilu berlangsung jujur, adil dan berintegritas serta bermartabat.
Pertanyaan yang berkecamuk dalam diri, mungkinkah Pemilu jujur dan berintegritas akan terwujud?
Jika kita melihat proses dan tahapan Pilpres, rasanya akan sulit terwujud, dari tahapan pencapresan hingga penetapan oleh KPU sudah cacat etika dan hukum, sehingga menjadi perdebatan publik. Seprti putusan MK Nomor 90 yang kontroversi dan sarat kepentingan.
Putusan Nomor 90/PUUXXI/2023 putusan yang melanggar etik dan moralitas hukum, seharusnya seluruh elemen hukum negara paham dengan hal tersebut. Tetapi tetap juga dilaksanakan, seharusnya juga KPU menolak karena penambahan norma baru itu tugas DPR sebagai open legal policy. Putusan Nomor 90 juga bukan kewenangan MK, jadi jika ada ahli yang tetap berpendapat putusan Nomor 90 tetap harus dilaksanakan karena putusan MK final dan mengikat tanpa melihat dan mengkaji prosesnya sekalipun tidak sesuai aturan dan cacat etika dan moral itu adalah suatu kebenaran artinya hukum konstitusi kita ini memang sudah runtuh.
Hal ini bukan masalah karena Gibran maju cawapres. Sah sah saja Gibran maju tetapi harus melalui proses yang normal, jika mengunakan putusan MK Nomor 90 ini tidak normal karena Anwar Usman adalah pamannya Gibran. Hal ini harus kita akui karena ada benturan kepentingan di sana.
Jika hal ini di nyatakan benar baik oleh KPU, maupun para ahli yang menyetujui maka ke depan tidak paham lagi negara ini arahnya ke mana. Hukum konstitusi telah runtuh semua harus ikut dengan satu kehendak yang salah, semoga hal ini jadi pelajaran dan perhatian bersama terutama generasi muda. Indonesia butuh pemimpin yang beretika dan bermoral, juga berpengalaman dan berbobot tidak asal-asalan.
Pemilu yang baik belum tentu menghasilkan pemimpin yang baik. Apalagi pemilu yang buruk, sudah pasti menghasilkan pemimpin yang buruk.
Pemilu menjadi instrumen sakral untuk melegitimasi secara moral dan konstitusional, keabsahan keterpilihan dan kepemimpinan seseorang. Dari sinilah mengapa pemilu itu harus dijalankan dengan prinsip “jujur dan adil.”
Apakah merobohkan konstitusi sebagai kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara itu jujur?
Pemilu tidak berarti manakala prosesnya surplus dengan ketidakjujuran dan defisit dalam keadilan. Pemilu, singkatnya, harus dilakukan dengan integritas. Setiap menyelenggarakan pemilu, kita selalu bersuara lantang tentang luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Semua ini hanyalah cara menyelenggarakan pemilu. Fondasi utamanya adalah prinsip jurdil (jujur dan adil).
Kata jujur dalam prinsip pemilu ini, ditujukan ke semua pihak: pemilih, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP), peserta pemilu, dan pemerintah. Namun, kata adil, ditujukan hanya kepada pihak atau lembaga yang memiliki kewenangan atau kekuasaan mengenai terlaksana tidaknya pemilu dengan jujur dan adil.
Siapa yang memiliki kewenangan dan kekuasaan itu? Jawabannya adalah penyelenggara pemilu dan pemerintah.
Peserta pemilu dan pemilih dalam banyak hal, tak bisa berbuat banyak bila penyelenggara pemilu dan pemerintah secara sistematis dan sewenang-wenang berlaku tidak adil dalam menyelenggarakan pemilu.
Penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum, memiliki kewenangan besar mengenai penyelenggaraan teknis pemilihan umum. Ia memiliki kewenangan membuat regulasi dan mengeksekusi segala perencanaan dan proses pemilu.
Pemerintah atau penguasa, memiliki kekuasaan untuk mengatur organ atau aparat pemerintah, yang dalam banyak hal, mempunyai peluang untuk ikut memengaruhi jalannya pemilu dengan baik atau buruk.
Kita telah menyelenggarakan pemilu beberapa kali sejak era reformasi terjadi. Setiap pemilu hendak dilaksanakan, semuanya menyambut dengan antusiasme, optimisme, dan kepercayaan tinggi bahwa pemilu dilaksanakan dengan jujur dan adil.
Kita hanya berharap, semoga kejujuran, keadilan dan integritas itu masih ada.
*) Praktisi Hukum