Memaknai Ajaran Luhur Sunan Drajat

Makam Sunan Drajat di Lamongan, Jawa Timur

Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong kang luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong kang kodanan.

Berilah tongkat pd orang buta, berilah makan pada orang yang lapar, berilah pakaian pada orang yang telanjang, berilah tempat berteduh pada orang yang kehujanan, berilah ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita

Arti dari pesan ini adalah memberi tongkat pada orang buta, kasih makan pada orang yang lapar, memberi pakaian pada orang yang telanjang.

Selanjutnya beri tempat berteduh pada orang yang kehujanan, menabur ilmu agar orang menjadi pandai, menyejahterakan kehidupan masyarakat yang miskin.

Jangan lupa pula ajarkan kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta jadi perlindungan bagi orang yang menderita.

Sebuah ajaran suci dan luhur dari Sunan Drajat, yang sering dinasehatkan oleh orang tua kita, agar kita tidak keliru dalam memahami kehidupan ini. Hidup untuk menebar kebaikan, kasih sayang.

Ajaran di atas disamping memiliki makna yang arti sebenarnya juga punya makna konotasi yang dalam.

Kita diajak agar bisa menjadi penuntun bagi mereka yang belum tahu cara beragama dengan memjasikan diri kita sebagai suri tauladan yang baik.

Kita diajak untuk perbanyak sedekah pada orang yang tidak mampu baik harta ataupun ilmu. Menjadi pengayom atau pelindung bagi kaum lemah yang tertindas, menjaga fitrah manusia sebagai makhluk yang sempurna.

Nama asli Sunan Drajat adalah Raden Qasim. Beliau adalah putra Sunan Ampel dari istrinya yang bernama Nyai Ageng Manila.

Sunan Drajat menyebarkan agama Islam di Desa Banjaranyar, Paciran, Lamongan. Dari Banjaranyar beliau pindah ke Desa Jelak yang penduduknya menganut agama Hindu-Budha.

Gelar atau nama Sunan Drajat sendiri disematkan padanya merujuk pada jasanya membuka hutan yang kemudian dinamai Desa Drajat.

Pada tahun 1484 M beliau juga menyandang gelar Sunan Mayang Madu. Gelar itu diberikan oleh Raden Patah. Selain sebutan Sunan Drajat dan Sunan Mayang Madu, masyarakat Jawa juga menyebutnya sebagai Sunan Sedayu, atau Raden Syarifudin, dan Maulana Hasyim.

Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Drajat mempelopori orang­-orang kaya dan para bangsawan untuk mengeluarkan infak, sedekahh, dan zakat sesuai ajaran agama Islam. Beliau juga memanfaatkan kesenian untuk menarik minat masyarakat belajar tentang Islam. Beliau menciptakan tembang Pangkur dan Singo Mangkok, alat musik yang digunakan dalam gamelan.

Ajaran sunan Drajat yang terkenal adalah Pepali Pitu atau tujuh ajaran yang dikenal pula dengan sebutan Tujuh Sap Tangga. Ajaran ini menjelma menjadi filosofi Jawa yang sarat makna.

[Jagad N]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *