Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Pengalihan subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan penghapusan Pertalite adalah kebijakan yang berisiko tinggi bagi stabilitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia.
Langkah ini, yang awalnya diharapkan bisa mengoptimalkan penggunaan anggaran subsidi dan meningkatkan kualitas BBM demi lingkungan yang lebih baik, malah menyimpan sejumlah tantangan yang bisa mengancam kesejahteraan masyarakat kelas bawah.
Prabowo Subianto, sebagai Presiden yang baru terpilih, perlu berhati-hati dalam mendukung kebijakan ini karena dampak negatif yang bisa timbul sangat besar.
Pertama, pengalihan subsidi BBM ke BLT memiliki dua risiko utama, yaitu soal akurasi data penerima dan risiko ketergantungan yang semakin dalam terhadap subsidi pemerintah.
Kedua, penghapusan Pertalite dengan menggantinya menjadi Pertamax Green 92 akan membuat harga BBM semakin mahal bagi masyarakat luas, yang selama ini mengandalkan BBM jenis Pertalite sebagai pilihan yang lebih terjangkau.
Kenaikan ini tentu saja akan menambah beban pengeluaran bagi rumah tangga kelas menengah ke bawah, yang bisa memicu ketidakstabilan sosial dan potensi kerusuhan.
Tantangan Data Penerima BLT
Masalah pertama yang harus diwaspadai adalah akurasi data penerima BLT. Dalam pengalaman sebelumnya, distribusi BLT sering kali menghadapi tantangan validasi data penerima. Tidak semua masyarakat yang benar-benar membutuhkan bisa terdaftar, sementara mereka yang tidak seharusnya menerima justru terdata sebagai penerima. Masalah ini disebabkan oleh kurangnya pembaruan data penduduk dan infrastruktur pencatatan yang belum memadai di berbagai wilayah Indonesia.
Kondisi ini bisa mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang terdampak langsung oleh penghapusan subsidi BBM tetapi tidak mendapat BLT sebagai kompensasi.
Untuk mencegah masalah ini, pemerintah perlu melakukan verifikasi dan pembaruan data secara cermat. Namun, ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Jika data penerima tidak akurat, maka alokasi BLT bisa salah sasaran dan malah memperburuk situasi sosial ekonomi.
Prabowo perlu memastikan bahwa kebijakan BLT tidak akan menimbulkan kesenjangan baru atau ketidakadilan dalam distribusinya.
Ketergantungan yang Semakin Dalam pada Subsidi Pemerintah
Selain masalah data, kebijakan ini juga memiliki potensi meningkatkan ketergantungan masyarakat pada subsidi pemerintah. Pemberian BLT yang terus-menerus bisa membuat masyarakat semakin bergantung pada bantuan tunai, dan ini adalah masalah struktural yang sulit diatasi dalam jangka panjang.
Ketergantungan yang terus-menerus pada BLT tanpa perbaikan dalam daya beli masyarakat atau peningkatan kesempatan kerja bisa menimbulkan budaya subsidi yang melemahkan daya saing ekonomi nasional.
Ketergantungan ini juga mengurangi insentif masyarakat untuk mandiri secara ekonomi. Mereka yang terus mengandalkan BLT mungkin akan merasa enggan untuk mencari pekerjaan atau usaha tambahan, dan ini bisa menjadi masalah sosial yang mengakar.
Prabowo, jika benar-benar ingin mendukung kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang, perlu mendorong kebijakan yang berfokus pada peningkatan keterampilan, pendidikan, dan pengembangan ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Beban Publik yang Meningkat akibat Penghapusan Pertalite
Penghapusan Pertalite dan penggantinya dengan Pertamax Green 92 juga memiliki implikasi serius. Selama ini, Pertalite menjadi pilihan utama bagi masyarakat menengah ke bawah karena harganya yang lebih terjangkau dibandingkan Pertamax.
Dengan menggantinya menjadi BBM yang memiliki kandungan etanol, yang harganya tentu lebih tinggi, beban pengeluaran masyarakat akan semakin berat. Kondisi ini sangat merugikan mereka yang tidak termasuk dalam kategori penerima BLT, tetapi tetap harus menghadapi kenaikan harga BBM.
Situasi ini bisa memicu ketidakpuasan di masyarakat, yang bahkan berpotensi menimbulkan kerusuhan sosial jika tidak dikelola dengan baik. Kenaikan harga BBM dapat berdampak langsung pada biaya hidup sehari-hari, seperti transportasi, kebutuhan pokok, dan biaya produksi barang lainnya.
Prabowo perlu mempertimbangkan efek berantai ini dengan serius. Perubahan besar dalam subsidi BBM dan penghapusan Pertalite harus diikuti dengan kebijakan yang dapat menjaga stabilitas harga dan memastikan masyarakat tidak menjadi korban dari kebijakan yang kurang matang.
Ancaman Instabilitas Keamanan
Jika harga BBM terus meningkat dan subsidi BBM benar-benar dihapus, masyarakat kelas bawah yang selama ini sangat mengandalkan subsidi akan merasakan dampak ekonomi yang signifikan.
Mereka tidak hanya mengalami kenaikan harga BBM, tetapi juga kenaikan harga barang dan jasa lainnya yang terkait dengan transportasi dan produksi. Situasi ini bisa memicu aksi protes massal dan ketidakstabilan sosial, yang pada akhirnya akan menjadi ancaman bagi keamanan nasional.
Penting bagi Prabowo untuk menyadari risiko ini dan mengkaji ulang kebijakan yang dapat merugikan stabilitas sosial-ekonomi masyarakat. Kebijakan subsidi BBM harus dipertimbangkan dengan matang dan tidak terburu-buru digantikan oleh BLT, apalagi jika penghapusan Pertalite turut menyertai langkah tersebut.
Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, kebijakan yang tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat bisa memicu masalah yang lebih besar di kemudian hari.
Prabowo harus berhati-hati dalam mendukung kebijakan pengalihan subsidi BBM menjadi BLT dan rencana penghapusan Pertalite.
Risiko yang muncul, mulai dari masalah data, ketergantungan pada subsidi, hingga beban ekonomi yang meningkat, bisa menimbulkan dampak sosial yang luas dan mengancam stabilitas keamanan. Kebijakan semacam ini membutuhkan kajian mendalam dan kesiapan sistem yang matang agar tujuan subsidi yang lebih tepat sasaran dapat tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat.