Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH,MH, M.Kn *)
Bangsa Nusantara, dikenal sebagai bangsa yang penuh toleransi. Toleransi yang mencakup seluruh hal, yaitu agama, ras, hingga suku. Contoh pertama adalah banyaknya gelombang migrasi dari daratan Tiongkok ke Nusantara.
Migrasi-migrasi tersebut terjadi dikarenakan Nusantara adalah pusat perdagangan dan peradaban dunia, dan juga adalah bangsa yang sangat toleran. Contoh kedua adalah variasi agama. Kita semua tahu bahwa agama di Nusantara sangat variatif jika kita telusur sejak ribuan tahun lalu hingga sekarang. Berawal dari ajaran Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Aluk Todolo, dan lain-lain yang merupakan agama asli Nusantara, hingga masuknya Hindu dan Budha dari kebudayaan India, Islam dari pendatang-pendatang Arab, lalu Kristen dan Katolik dari negara-negara Eropa. Semua agama tersebut diterima dengan sangat baik dan dijalankan dengan fleksibel di Nusantara.
Bentuk toleransi yang lain adalah bangsa Nusantara sangat terbuka dan menerima satu sama lain. Menurut data yang penulis temukan, bahwa tidak pernah ada perang (sebelum masa penjajahan oleh Bangsa Eropa di Nusantara) yang terjadi karena alasan agama atau ras di Nusantara. Apabila ada dinamika atau pergolakan pada waktu itu, maka penyebabnya adalah murni politik atau ekonomi.
Nusantara demikian yang selalu kita sebut dan banggakan sebagai cikal bakal Indonesia bersatu dalam bingkai NKRI yang didalam negeri tersebut bukan hanya penduduk asli yang dikatakan pribumi, tetapi banyak beragam bangsa lain yang menjadi Bangsa Indonesia dari era kerajaan Nusantara hingga era kemerdekaan.
Bangsa – bangsa tersebut seperti Bangsa Cina, Arab, India, dan lain sebagainya yang pada masa Nusantara banyak yang melakukan hubungan dagang dan menetap menjadi warga negara Indonesia yang hingga saat ini. Bangsa – Bangsa tersebut tetap mengakui tanah kelahiran nya di bumi Pertiwi Indonesia dan Bangsa – Bangsa ini sangat menghormati budaya dan adat istiadat Bangsa Pribumi asli Nusantara tanpa merusak Budaya dan tatanan adat istiadat serta Agama yang ada di Indonesia saat ini.
Sebagai contoh Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa menggunakan pendekatan budaya dan adat istiadat. Salah satu kunci keberhasilan dakwah Walisongo adalah penggunaan pendekatan budaya lokal. Mereka menggunakan seni, seperti wayang, gamelan, dan tembang, untuk menyampaikan ajaran Islam. Misalnya, Sunan Kalijaga dikenal menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah, menyisipkan nilai-nilai Islam dalam cerita yang disampaikan.
Warisan dakwah Walisongo masih dapat kita saksikan hingga hari ini dalam berbagai bentuk budaya, seperti seni, adat, dan tradisi. Banyak tradisi keagamaan di Jawa yang merupakan hasil akulturasi antara Islam dan budaya lokal yang diwariskan oleh Walisongo.
Dakwah Walisongo memainkan peran penting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Dengan pendekatan budaya, pendidikan, dan pembangunan masjid, mereka berhasil mengislamkan masyarakat Jawa dan meninggalkan warisan yang masih dirasakan hingga kini. Walisongo bukan hanya penyebar agama, tetapi juga pembentuk karakter dan budaya masyarakat Indonesia.
Berbanding terbalik dengan Bangsa yang berasal dari Yaman, yang mana pada saat ini bermunculan di dunia Maya dan media sosial para oknum dari Yaman yang bersorban dan berkilah sebagai Habaib dan mengaku turunan Nabi Muhammad SAW junjungan para umat Islam sedunia, terang terangan ingin merubah adat istiadat juga sejarah Bangsa Nusantara Indonesia tercinta ini.
Saatnya Bangsa Pribumi sadar dan melawan kezaliman para Oknum Habaib cabul ngibul yang ingin merubah sejarah juga mengadu domba umat Islam di Indonesia ini. Harus dilawan dan ditumpas habis, jika Pemerintah dan penegak Hukum diam oleh celotehan dakwah para Oknum Habaib Yaman yang selalu ingin mengacau kerukunan hidup berbangsa dan bernegara di NKRI dengan Dakwah adu dombanya tersebut.
Penting bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki nilai-nilai yang mengikat agar kesatuan bangsa tetap terjaga.Adat istiadat dan budaya warisan leluhur tetap terjaga dan lestari. Dan nilai-nilai yang mengikat tersebut tercermin dalam empat pilar kebangsaan sebagai dasar bernegara. Empat pilar tersebut antara lain, Pancasila sebagai dasar dan Ideologi Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara serta ketetapan MPR dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk Negara, dan pilar keempat yakni Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
Hai Para Oknum Habaib cabul ngibul tinggalah kalian di Nusantara Indonesia tercinta milik Bangsa Pribumi ini dengan baik, jangan menolak dan merubah budaya Nusantara, jika budaya Nusantara tidak sesuai atau mau kalian rusak silahkan tinggalkan Bumi Pertiwi Indonesia yang kami cintai ini, kami menolak ajaran asing yang tidak sesuai dengan budaya Bangsa Kami, kami menolak sejarah raja – raja kami di pautkan dengan para oknum cabul ngibul tersebut. Kami menolak jika para Wali Bangsa Nusantara kalian pautkan dengan turunan Bangsa Kalian.
*) Ketua Umum DPP PWRI