Catatan Hikmah Risdiana Wiryatni *)
Jumat pagi, jumat penuh berkah. Dalam WAG kajian agama Islam, ada postingan video yang menurut saya sangat baik untuk menjadi bahan renungan kita, untuk mencari bekal sebaik-baiknya untuk bekal menuju perjalanan abadi. “Bekal Terbaik Untuk Pulang” demikian judul video tersebut.
Kalau kita sedang berziarah kubur, kita perhatikan baik-baik pada batu nisan di kuburan, tertulis “Telah Wafat” atau “Telah Kembali ke Rahmatullah”. Artinya apa? Kita semua akan pulang, pulang kepada sang Pencipta Allah SWT. Kita semua bakal pulang!.
Setelah pengajian beres, kita bakal pulang. Setelah kita melakukan aktifitas pekerjaan apapun, kita mengikuti pengajian, atau kita habis menghadiri suatu acara, kita pasti akan pulang bertemu dan berkumpul dengan keluarga. Senang tidak pulang? senang bertemu keluarga?
Naah kalau mati kita yakini sebagai pulang, mengapa takut mati? Mengapa orang-orang yang banyak hutangnya takut pulang? Pulang ke rumah sudah ada yang nungguin depan pintu rumah. Siapa? Debt Collector? KPK? Artinya apa? Ada yang salah? Makanya perlu mempersiapkan bekal buat “pulang”.
Orang Yang Paling Cerdas
Suatu ketika Rasulullah SAW ditanya siapakah orang yang sebenarnya paling cerdas? Beliau menjawab “Al kayyisu man daana nafsahu wa ‘amala lima ba’dal maut”, yang artinya “Orang cerdas adalah orang yang dapat menundukkan hawa nafsu dan beramal untuk bekal sesudah mati.
Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah dengan panjang angan-angan (Thulul ‘amal).
Sahabat Abdullah bin Umar pernah bertanya pada Rasulullah “Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama? Rasul menjawab: “Afdhalul mukminiin ahsanuhum khulqan” yang artinya “mukmin yang utama adalah yang paling baik akhlaknya”
Lalu ditanya lagi: “Mukmin manakah yang paling cerdas?”. Rasul menjawab: “Wa akyasuhum atsarahum li mauti dzikran, wa ahsanuhum limaa ba’dal husti’daadaa, ulaa-ika akyaasun”, yang artinya: “Orang yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan stelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.
Mengapa orang yang selalu mengingat mati dan mempersiapkannya dengan baik disebut Rasulullah sebagai orang cerdas? Karena mereka berfikir rasional dan berfikir jauh ke depan, kehidupan dunia hanyalah sesaat, sedangkan kehidupan yang kekal adalah akhirat dan kehidupan yang kekal itu terjadi setelah kematian.
“Dunia sementara akhirat selama-lamanya. Orang kaya mati orang miskin mati. Raja-raja mati rakyat biasa mati. Dunia pergi menghadap Ilahi. Dunia yang dicari Tak ada yang abadi.”
Dunia ini hanya tempat singgah sementara waktu. Hanya mampir minum, demikian ungkapan bijak dari orang tua kita, agar kita selalu mengingat akan kematian.
Sesungguhnya semua makhluk di dunia ini sedang menuju satu titik, yaitu kematian.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 35:
كُلُّ نَفۡسٍ ذَآٮِٕقَةُ الۡمَوۡتِؕ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.”
Akan tetapi, anehnya masih banyak muslim yang tidak bersiap-siap. Tidak mempersiapkan bekal menuju kematian. Masih saling menggunjing, tidak pernah beramal, suka memfitnah, dan lain sebagainya. Padahal, seseorang yang mau pergi ke pasar saja, harus bersiap-siap. Berapa bekal uang yang akan dibawa, mau membeli apa saja, naik apa, jam berapa, turun di mana, agar sampai ke tujuan dengan selamat.
Apalagi kalau mau mudik, maka persiapannya harus lebih sungguh-sungguh lagi, baik dari sisi jumlah dana, fisik, dan lain-lain.
Nah, bagaimana dengan mudik yang sesungguhnya, pulang ke negeri abadi, yakni kematian? Maka sudah seharusnya perlu persiapan yang lebih serius lagi.
Sebab, untuk mudik di dunia yang mungkin sebentar saja, persiapannya sedemikian rupa, apalagi mati yang abadi.
Lalu apa yang menyebabkan banyak dari umat Islam lupa menyiapkan bekal untuk kematian?
Ternyata ada dua sebab, pertama faktor internal dari dalam umat Islam sendiri. Kenyataannya, saat ini mereka jauh dari pemahaman Islam. Bagaimana umat bisa paham Islam, sementara menurut hasil survei BPS tahun 2018, penduduk Indonesia yang katanya umat Islam terbesar di dunia ini, 53.57 persen tidak bisa membaca Al-Qur’an? Belum lagi berapa persen yang bacanya tartil, yang tahu artinya, dan yang paham kemudian mengamalkannya. Jadi wajar, hidup umat Islam sebagian besar tidak tentu arah.
Padahal, setiap muslim harus meyakini bahwa nanti semua amal akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Kemudian yang kedua, faktor eksternal dari umat Islam. Saat ini, informasi atau berita tentang gaya hidup, pemikiran-pemikiran bahwa hidup bahagia diukur dengan materi, pamer keyakaan, pamer jabatan, lupa sedekah, setiap detik ada dalam kehidupan umat Islam. Padahal, pemikiran seperti ini bukan dari ajaran Islam. Namun, informasi ini terus menyebar di sekitar mereka selama bertahun-tahun.
Mengupayakan Bekal
Lalu apa yang harus dilakukan agar senantiasa bisa beramal terbaik, mempersiapkannya sebagai bekal pulang?
Yang pertama, agar bisa ikhlas maka harus terus melatih diri, selalu meluruskan niat setiap beramal. Tentu sambil berdoa memohon perlindungan Allah dari niat yang tidak benar, baik di awal, proses, maupun di akhir amal.
Yang kedua, agar benar dalam beramal, sesuai dengan yang diajarkan rasul, maka harus mau menuntut ilmu, belajar tentang Islam. Sampai kapan? Sepanjang hayat. Bukankah menuntut ilmu itu mulai dari buaian sampai liang lahat?
Akan tetapi, upaya seorang muslim mempersiapkan bekal terbaik di atas, belum sempurna. Upaya tersebut membutuhkan dukungan dari masyarakat dan negara. Di antaranya menjaga pemikiran asing yang membuat seorang muslim tidak mempunyai tujuan hidup, yakni berupa aturan atau kebijakan dari negara.
Oleh karenanya, selain terus berupaya memperbaiki amal secara individu, dalam waktu yang sama umat Islam juga berjuang menegakkan aturan Islam secara keseluruhan. Hal ini untuk melindunginya dari pengaruh-pengaruh eksternal yang berbahaya. Wallahu a’lam
*) CEO Kinerja Group