Idul Fitri dan Nilai-Nilai Cinta Kasih

Foto ilustrasi liputan6.com

Catatan D. Supriyanto Jagad N *)

Lebaran Idul Fitri membawa makna mendalam bagi seluruh umat. Tak hanya umat muslim saja, tapi umat pemeluk agama lain pun turut pula menyertainya, dengan ucapan penyejuk hati, selamat ber hari raya. Ini menjadi ruh penyemangat kita, betapa kebersamaan, kebersahajaan, hidup bertoleransi, masih lekat dalam diri kita sebagai bangsa yang berbudaya, menjunjung tinggi tepo sliro dan cinta kasih.

“ Sugeng riyadi, sedoyo lepat nyuwun pangapunten. Mugi-mugi Gusti Allah paring berkah dumateng kito sedoyo, kito gesang namung mampir ngombe,” demikian ucap sahabat saya Heribertus Sungkowo dari Solo.

Ucapan mas Heri dalam bahasa Jawa halus, artinya kira-kira begini [Selamat hari raya Idul Fitri, segala kesalahan mohon dimaafkan. Semoga Gusti Allah memberikan berkah kepada kita semua, kita hidup di dunia ini hanya sekedar mampir minum.

Melalui momentum Idul Fitri, mas Heri mengingatkan saya pentingnya menjunjung tinggi kebersamaan, menghilangkan sekat-sekat perbedaan, menguatkan persatuan meski kita berbeda keyakinan.

“ Lebaran kan identik dengan kupat [ketupat]. Sebagai pemerhati budaya, mas Jagad tentu paham betul filosofi itu,” ucap mas Heri.

Mas Heri ini tipe seorang priyayi, apa yang diucapkan penuh dengan makna filosofi.

Saya teringat almarhum kakek saya. Jelang lebaran kakek, membuat sendiri ketupat yang dianyam dari janur daun kepala muda.

Ketupat menjadi simbol maaf bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya nantinya mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Apabila ketupat tersebut dimakan, secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala salah dan khilaf antar keduanya terhapus.

Bagi sebagian masyarakat Jawa, ketupat memiliki makna filosofi yang dalam. Ketupat terbuat dari tiga bahan utama, yaitu janur kuning, beras, dan santan. Janur kuning atau pelepah daun kelapa muda merupakan lambang tolak bala atau penolak bahaya.

Kemudian beras, simbol kemakmuran, dianggap sebagai doa agar masyarakat diberi kelimpahan kemakmuran setelah hari raya. Adapun santan yang dalam bahasa jawa disebut santen, berima dengan kata ngapunten, yang berarti memohon maaf. Kata Kupat Luar sendiri berasal dari kata ‘pat’ atau ‘lepat’ (kesalahan) dan ‘luar’ yang berarti di luar, atau terbebas atau terlepas.

Kata ketupat atau kupat berasal dari istilah bahasa Jawa yaitu ngaku lepat, yang berarti mengakui kesalahan dan laku papat yang berarti empat tindakan. Ngaku lepat atau mengakui kesalahan dilakukan dengan tradisi sungkeman.

Tradisi sungkeman adalah tradisi seorang anak yang bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orang tuanya. Sungkeman memberi pelajaran pada diri kita untuk memahami arti pentingnya menghormati orang tua, tidak angkuh dan tidak sombong kepada mereka, serta senantiasa mengharap rida dan bimbingannya. Ngaku lepat juga dipraktekkan saat memohon maaf kepada tetangga dan kerabat dekat maupun jauh.

Untuk istilah laku papat atau empat tindakan, masyarakat Jawa mengartikannya dengan empat istilah, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran berarti akhir dan usai, yaitu menandakan telah berakhirnya waktu puasa Ramadhan dan siap menyongsong hari kemenangan. Sedangkan luberan bermakna berbagi dan mengeluarkan sebagian harta yang lebih (luber) kepada fakir miskin.

Adapun leburan berarti habis dan melebur, yaitu momen untuk saling melebur dosa dengan saling memaafkan satu sama lain. Yang terakhir adalah laburan yang berasal dari kata labur atau kapur. Laburan dipahami bahwa hati seorang muslim haruslah kembali jernih dan putih layaknya sebuah kapur.

Ketupat lebaran memiliki makna tersendiri. Dengan memakan ketupat, umat Islam diharapkan mengingat bahwa mereka sudah terlepas dan terbebas dari kesalahan. Lalu mereka berkewajiban untuk saling meminta dan memberi maaf agar kebebasan itu benar-benar sempurna.

Makna lain dari tradisi ketupat lebaran dapat dilihat dari singkatan ketupat sendiri yaitu ngaku lepat yang berarti mengakui kesalahan. Dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Dosa-dosa umat Islam akan saling terlebur bersamaan di hari raya Idul Fitri. Bentuk ketupat yang persegi menjadi simbol atau perwujudan cara pandang kiblat papat lima pancer. Cara pandang itu menegaskan adanya harmonisasi dan keseimbangan alam yaitu empat arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara yang bertumpu pada satu pusat. Maknanya, manusia dalam kehidupan, ke arah manapun dia pergi, hendaknya tidak pernah melupakan pancer yaitu Allah SWT.

Idul Fitri menebarkan pesan sosial yang kental bagi umat Islam, juga bagi umat manusia secara keseluruhan. Dalam momen Idul Fitri, umat Islam saling bersilaturahmi dan saling memaafkan satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang bisa terlepas dari khilaf dan dosa. Setiap individu sangat potensial untuk berbuat khilaf dan aniaya, baik kepada kehidupan maupun kepada sesama manusia. Khilaf, dosa, dan kesalahan, merupakan hal yang manusiawi bagi siapa pun.

Dalam hidup ini kita sering bertopeng. Kita mencoba selalu menampilkan sisi-sisi baik dan menyembunyikan sisi-sisi buruk. Kita tampil seolah-olah sebagai sosok yang bersih tak berdosa, padahal sebenarnya kotor dan bergelimang dosa. Idul Fitri adalah momen di mana kita semua berikrar untuk saling memaafkan satu sama lain dan bertekad untuk menapaki kehidupan secara lebih baik dan bijak.

Dalam momen Idul Fitri, kita termotivasi untuk kembali ke fitrah manusia yang baik. Inilah pancaran cahaya malaikat dan Tuhan dalam diri kita. Sebaliknya, dalam momen Idul Fitri, kita harus mampu mengalahkan sisi-sisi buruk, jahat, dan destruktif dalam diri kita, yang acap kali kita istilahkan sebagai citra “setan” dalam diri kita. Karena setiap manusia pada hakikatnya punya sisi “baik” dan “buruk” atau sisi “terang” dan “gelap”, maka hidup merupakan pergulatan yang abadi dari sang manusia untuk mengatasi dan mengalahkan sisi-sisi buruk dan gelapnya. Inilah jalan untuk meraih iman dan takwa yang hakiki.

Selamat Idul Fitri 1445 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin.

*) Pekerja budaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *