OPINI  

Selamat Tinggal Demokrasi Paska Cawe-cawe Politik Dinasti

Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn

Catatan Dr. Suriyanto. Pd *)

Kegelisahan Publik semakin memuncak menunggu putusan MKMK di hari Selasa [7/11/2023] mendatang.

Putusan MKMK tersebutlah yang diharapkan untuk penegakan Demokrasi dan Konstitusi yang sudah tumbang akibat putusan kontroversial oleh ketua MK Anwar Usman, menjadi pencerah kebenaran Hukum.

Disisi lain diserukan oleh Pak jokowi diberbagai pidato arahannya yang tersebar di dunia maya, bahwa pelaksanaan pemilu 2024 mendatang harus berlangsung dengan damai, ceria dan jangan ada cawe-cawe dari seluruh aparatur negara.

Hal ini menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat, bagaimana pemilu ceria, damai tanpa ada campur tangan dari pihak-pihak tertentu di aparatur negara jika anak kandung pak jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan.?

Sementara Gibran sebagai putra sulung presiden Jokowi maju sebagai wapres, melalui putusan MK yang di putus oleh Anwar Usman ketua MK yang tak lain adalah pamannya Gibran lewat putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Semua kita harus berani jujur dalam menyikapi putusan MK yang selalu di kuatkan oleh sebagian para ahli adalah putusan yang final dan mengikat tidak ada upaya hukum lain, hal ini benar jika masuk pada kewenangan MK, jika sesuai dengan pasal 24 huruf C UUD 1945.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tugas Mahkamah Konstitusi sebagaimana juga kewenangan Mahkamah Konstitusi, antara lain menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu

Kemudian, dilanjutkan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden menurut UUD 1945. Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945, yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Jika putusan MK final dan mengikat sebagai hukum yang harus dijalankan, apapun isi dalam putusan tersebut, amarlah yang jadi pegangan. Lantas bagai mana dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mana di dalam nya ada menambah frasa yang sama dengan norma hukum baru, artinya putusan tersebut dapat dilaksanakan tetapi hari ada penundaan untuk di kembalikan di DPR dan di proses di prolegnas karena hal itu masuk dalam ranah open policy publik, sesuai dengan penolakan pada tiga perkara yang di tolak sebelumnya.

Dimana nalar hukum nya jika putusan tidak di jadikan rujukan pada pokok perkara yang sama dengan 3 ditolak karena bukan wewenang MK, 1 dikabulkan sebagian dengan perkara yang sama pula.

Apakah putusan yang tidak merujuk pada tiga putusan sebelumnya yang juga membuat norma hukum baru, putusan tersebut harus tetap dijalankan, jika demikian kedepan akan lebih kacau konstitusi kita ini.

*) Praktisi Hukum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *