OPINI  

Hukum dan Kebenaran

Dr. Suriyanto PD, SH, MH, M.Kn

Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn

Perkembangan hukum di Indonesia akhir-akhir ini mengajak kita untuk lebih mengerutkan dahi. Semakin membingungkan dan membutuhkan kejelian ekstra untuk dapat memahami dinamika hukum yang terjadi.

Kehadiran Lembaga Tinggi Negara seperti Mahkamah Konstitusi misalnya, seharusnya membuka gerbang tersendiri bagi perkembangan hukum dan perundangan di neger ini. Namun, pada kenyataan yang terjadi, MK yang dipimpin Anwar Usman, justru membelokkan marwah MK dengan lahirnya  Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memuat konflik kepentingan. Keputusan kontroversial itupun menuai beragam reaksi dari publik. Dan MK pun berada di titik nadir.

Pertanyaan yang berkecamuk dalam diri saya sebagai orang awam, apakah keputusan MK tersebut suatu kebenaran? Sebagai lembaga penegak konstitusi, apakah MK sudah benar-benar jujur dengan keputusannya?

Bahkan salah satu hakim MK, Arief Hidayat melontarkan pernyataan yang mengguratkan rasa kecewa, gelisah, rasa bersalah, dan mengaku buntu karena tidak mampu menjaga marwah MK.

“ Dalam benak saya, terakhir-akhir ini saya mengatakan sepertinya Mahkamah Konstitusi 9 hakimnya mesti direshuffle,” Demikian kata Arief Hidayat dalam keterangannya, Selasa (31/10/2023).

Ada baiknya kita merenungkan petunjuk yang diberikan Allah SWT, demi melembutkan hati agar pikir tidak keliru dalam mencari kebenaran. Kebenaran yang  bukanlah hanya berdasarkan logika semata, tetapi harus dipahami dengan hati yang menerima. Tidak hanya melihat suatu masalah dari sisi yang tegak lurus saja, namun perlu pembolak-balikan bukti hingga mencapai kebenaran absolut. Ketua MK, Yang Mulia Bapak Anwar Usman, mampukah melihat suatu kebenaran, bukan pembenaran hanya atas dasar pesanan dan kepentingan?

Saya pun kembali tersentak, ada rasa kekecewaan yang teramat dalam sebagai anak bangsa. Betapa MK, sebagai institusi dan penegak konstitusi, tak lagi mampu menjaga marwah konstitusi.

Yang lebih mengejutkan lagi, fakta baru terungkap dalam sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) berkaitan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memuat konflik kepentingan. Dalam sidang pemeriksaan salah satu pelapor, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), terungkap bahwa dokumen perbaikan permohonan yang dilayangkan pemohon bernama Almas Tsaqibbirru tersebut tak ditandatangani kuasa hukum maupun Almas sendiri.

MK juga sesungguhnya telah mengabaikan amanat konstitusi secara terbuka dan tidak taat serta patuh dengan Pasal 6 ayat (2) / Pasal 24 huruf C UUD NRI dan seharusnya MK tidak boleh mengabulkan sebagian  gugatan saudara Almas, seluruh rakyat khusus nya generasi muda harus tau pembodohan Konstitusi yang di lakukan oleh ketua MK yang mendapat amanah jabatan dari Allah ini. Apalagi permohonan yang dilayangkan tidak ditandatangani oleh Almas maupun kuasa hukumnya. Artinya keputusan MK cacat hukum. Bila dipaksakan, bisa berpotensi memicu kemarahan rakyat.

Jika terjadi penyimpangann kebenaran yang dilakukan pemilik atau penguasa pada suatu negara, makan akan muncul satu kebenaran lain yang menghapus kebenaran yang dipaksakan atau direkayasa tersebut.

Kita tentu tidak lupa, bagaimana Orde Baru menguasai dan merumuskan kebenarannya sendiri dengan berpijak pada kekuasaan politiknya yang absolutis. Jangankan untuk melawan, untuk berbeda pandangan saja, akan dipenjara pada masa itu. Namun, sekuat apapun, kekuasaan akan runtuh juga, dihancurkan oleh kebenaran yang sesungguhnya.

*) Praktisi Hukum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *