Oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Seberapa Besar Kerugian Masyarakat atas Kasus Pertamax Oplosan oleh Pertamina?
Kasus Pertamax oplosan yang mencuat ke publik bukan sekadar kasus pencampuran bahan bakar ilegal, tetapi merupakan kejahatan ekonomi yang berdampak luas pada masyarakat.
Kerugian yang dialami rakyat bukan hanya soal uang yang mereka keluarkan untuk membeli BBM dengan harga yang tidak sebanding dengan kualitas, tetapi juga mencakup dampak sistemik pada transportasi, industri, dan harga barang pokok.
Harga Pertamax yang seharusnya merepresentasikan bahan bakar berkualitas tinggi dengan nilai oktan yang sesuai, justru dicampur dengan bahan lain yang menurunkan kualitasnya.
Akibatnya, banyak pengguna kendaraan mengalami penurunan performa mesin, konsumsi bahan bakar yang lebih boros, hingga potensi kerusakan mesin dalam jangka panjang.
Dari segi ekonomi mikro, masyarakat yang seharusnya mendapatkan BBM berkualitas harus membayar harga tinggi untuk produk yang tidak sesuai standar.
Mereka dirugikan secara langsung karena telah membayar lebih untuk sesuatu yang tidak memberikan manfaat sebanding.
Secara makro, pengoplosan ini juga berdampak pada inflasi yang meningkat akibat biaya operasional transportasi yang naik. Ketika kendaraan harus mengonsumsi lebih banyak bahan bakar akibat kualitas yang rendah, maka biaya distribusi barang juga ikut meningkat.
Harga-harga kebutuhan pokok pun terdampak, yang pada akhirnya memberatkan daya beli masyarakat.
Lebih parah lagi, kepercayaan masyarakat terhadap Pertamina sebagai penyedia energi nasional turut runtuh.
Skandal ini menunjukkan betapa lemahnya sistem pengawasan dan betapa rentannya sektor energi terhadap praktik mafia migas yang mengeruk keuntungan dengan mengorbankan rakyat.
Ini bukan sekadar soal uang, tetapi soal hak publik untuk mendapatkan layanan yang adil dan berkualitas dalam sektor energi yang menjadi kebutuhan primer.
Dampak Kasus Pertamina terhadap Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp193,7 triliun per tahun bahkan hingga angka Rp1 kuadriliun dalam kurun waktu beberapa tahun, dampak skandal ini terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sangatlah besar.
Angka tersebut hampir setara dengan 10% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia dalam satu tahun.
Kehilangan anggaran sebesar itu akibat praktik korupsi di tubuh BUMN bukan hanya menghambat pembangunan, tetapi juga menciptakan tekanan besar terhadap stabilitas fiskal negara.
Salah satu dampak terbesar dari skandal ini adalah terbatasnya ruang fiskal bagi pemerintah untuk mengalokasikan dana bagi sektor-sektor krusial seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Jika uang sebesar itu benar-benar masuk ke kas negara dan digunakan sebagaimana mestinya, maka Indonesia bisa memiliki jalan tol lebih banyak, sekolah yang lebih layak, serta fasilitas kesehatan yang lebih baik.
Namun, dengan bocornya anggaran negara dalam jumlah fantastis ini, pemerintah harus menutup kekurangan anggaran dengan kebijakan seperti penyesuaian harga BBM, yang lagi-lagi berujung pada meningkatnya biaya hidup rakyat.
Selain itu, kasus ini juga memperburuk iklim investasi di Indonesia.
Ketika perusahaan negara yang seharusnya menjadi simbol efisiensi justru terjerat korupsi sistemik, investor akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Kepercayaan terhadap sistem pengelolaan energi nasional juga merosot, yang dapat menghambat rencana transisi energi menuju bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Investor yang seharusnya mendukung proyek energi bersih mungkin enggan bekerja sama dengan pemerintah yang tidak mampu mengelola tata kelola migas secara transparan.
Dari sisi ekonomi rakyat, inflasi menjadi ancaman nyata akibat kasus ini.
Ketika subsidi BBM semakin sulit diberikan karena uang negara habis dikorupsi, maka harga bahan bakar yang terus naik menjadi beban bagi masyarakat.
Ujung-ujungnya, daya beli melemah, konsumsi rumah tangga menurun, dan pertumbuhan ekonomi ikut terhambat.
Skandal ini bukan sekadar tentang uang yang hilang, tetapi efek berantai terhadap seluruh sendi ekonomi nasional yang berpotensi membawa dampak jangka panjang.
Penggantian Direktur Utama Pertamina: Solusi atau Sekadar Cuci Tangan?
Menteri BUMN Erick Thohir telah menyatakan kesiapan untuk mengganti Direktur Utama Pertamina, sebuah langkah yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai tindakan yang tegas untuk merespons skandal ini.
Namun, pertanyaannya adalah: apakah ini benar-benar solusi atau hanya cara bagi Erick Thohir untuk mencuci tangan dari tanggung jawabnya?
Mengganti Direktur Utama Pertamina memang bisa menjadi langkah awal, tetapi jika tidak dibarengi dengan reformasi struktural di tubuh BUMN energi ini, maka permasalahan yang sama hanya akan berulang dengan aktor yang berbeda.
Korupsi dalam tata kelola BBM bukan hanya terjadi di level direksi, tetapi juga melibatkan jaringan mafia migas yang sudah mengakar kuat.
Jika hanya mengganti direksi tanpa membongkar jaringan mafia ini, maka tindakan Erick Thohir tidak lebih dari upaya kosmetik untuk meredam kritik publik.
Selain itu, Menteri BUMN tidak bisa lepas tangan begitu saja dalam kasus ini. Sebagai pemegang kendali atas BUMN, Erick Thohir seharusnya bertanggung jawab atas buruknya pengawasan dan tata kelola di Pertamina.
Sejak awal menjabat, ia telah berulang kali menyampaikan komitmennya untuk membersihkan BUMN dari praktik korupsi.
Namun, fakta bahwa kasus ini masih terjadi menunjukkan bahwa komitmen tersebut belum benar-benar diwujudkan dalam kebijakan yang konkret dan sistematis.
Yang lebih dibutuhkan saat ini adalah transparansi penuh dalam investigasi kasus ini serta reformasi total dalam sistem tata kelola energi nasional.
Jika Erick Thohir benar-benar memiliki keberanian untuk melakukan perubahan, dan memimpin upaya pemberantasan mafia migas dengan lebih tegas dan berani. Bila tidak berani, banyak figur lain yang lebih berani dan memiliki kemauan kuat memberantas mafia migas tersebut.
Masyarakat butuh pemimpin yang bukan hanya berbicara tentang perubahan, tetapi juga mampu mengeksekusi kebijakan yang benar-benar membawa perbaikan.
Jika Erick Thohir tidak dapat memberikan solusi konkret untuk membenahi BUMN, maka mundur bisa jadi adalah langkah terbaik untuk membuka jalan bagi pemimpin baru yang lebih kompeten dalam menangani skandal sebesar ini.
Kasus megakorupsi Pertamina Patra Niaga bukan hanya tentang individu-individu yang terlibat, tetapi juga tentang kegagalan sistemik dalam pengelolaan sektor energi nasional.
Jika permasalahan ini tidak segera diatasi dengan langkah-langkah radikal dan terstruktur, maka Indonesia akan terus berada dalam lingkaran korupsi yang merugikan negara dan masyarakat secara keseluruhan.
END