Freesca Syafitri – Pengamat Kebijakan Publik / Dosen FEB UPNVJ/Ex Advisor OECD [Foto dok. Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran]
Fenomena migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri bukanlah hal baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tren ini semakin meningkat, terutama di kalangan tenaga kerja muda, profesional, dan akademisi. Ungkapan “Kabur Aja Dulu” yang viral di media sosial mencerminkan ketidakpuasan generasi muda terhadap kondisi ketenagakerjaan di dalam negeri dan semakin menegaskan permasalahan brain drain—di mana individu berpendidikan tinggi dan berkeahlian memilih meninggalkan Indonesia demi peluang yang lebih baik di luar negeri.
Brain drain menjadi isu yang semakin krusial bagi Indonesia karena kehilangan talenta berkualitas dapat berdampak pada penurunan daya saing ekonomi, keterlambatan inovasi, dan ketimpangan dalam pengembangan SDM nasional. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil, dengan pertumbuhan PDB sebesar 5,05% pada 2023, penciptaan lapangan kerja belum mampu mengimbangi jumlah angkatan kerja baru yang memasuki pasar setiap tahunnya. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,32%, dengan lulusan perguruan tinggi sebagai salah satu kelompok yang paling rentan mengalami pengangguran.
Di sisi lain, sektor industri yang seharusnya menyerap tenaga kerja terdidik justru mengalami perlambatan akibat deindustrialisasi prematur dan rendahnya investasi di sektor manufaktur serta teknologi tinggi. Akibatnya, banyak lulusan universitas yang tidak memiliki pilihan selain bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan latar belakang akademik mereka, atau memilih untuk mencari pekerjaan di luar negeri yang menawarkan prospek lebih baik.
Selain kurangnya kesempatan kerja yang sesuai, perbedaan yang signifikan dalam hal upah dan kesejahteraan tenaga kerja juga menjadi faktor utama yang mendorong migrasi tenaga kerja terampil ke luar negeri. Upah minimum di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tujuan migrasi tenaga kerja seperti Singapura, Jepang, dan Australia. Seorang insinyur di Indonesia rata-rata mendapatkan gaji sekitar Rp 10 juta per bulan, sementara di Singapura, posisi yang sama dapat memperoleh sekitar Rp 50 juta per bulan. Begitu pula dalam sektor kesehatan dan teknologi, di mana tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri mendapatkan insentif yang lebih besar dalam bentuk gaji, tunjangan, dan akses terhadap pengembangan karier.
Kesenjangan upah ini tidak hanya mendorong tenaga kerja untuk bermigrasi tetapi juga menyebabkan kesenjangan sosial-ekonomi di mana hanya individu yang memiliki akses ke peluang internasional yang mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, sementara mereka yang tetap di dalam negeri harus berjuang dengan tingginya biaya hidup dan rendahnya daya beli. Selain itu, perlindungan tenaga kerja dan kepastian karier di luar negeri lebih baik dibandingkan di Indonesia. Negara-negara seperti Jepang dan Jerman memiliki sistem tenaga kerja yang memberikan jaminan sosial, asuransi kesehatan, serta kebijakan pensiun yang lebih baik, menjadikan negara-negara tersebut semakin menarik bagi tenaga kerja muda Indonesia yang menginginkan stabilitas dan kesejahteraan jangka panjang.
Bagi akademisi dan peneliti, akses terhadap fasilitas riset dan inovasi merupakan faktor utama dalam menentukan di mana mereka akan mengembangkan karier mereka. Sayangnya, Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal investasi dan pengembangan ekosistem riset. Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 0,3% dari PDB untuk penelitian dan pengembangan (R&D), jauh di bawah negara-negara maju seperti Singapura (1,9%) dan Korea Selatan (4,8%). Minimnya pendanaan penelitian ini menyebabkan kurangnya fasilitas riset yang memadai, terbatasnya kolaborasi akademik dengan institusi internasional, serta kurangnya penghargaan terhadap inovasi dan paten lokal.
Sebagai akibatnya, banyak ilmuwan, peneliti, dan akademisi Indonesia yang lebih memilih untuk bekerja di luar negeri di mana mereka mendapatkan akses yang lebih besar terhadap pendanaan penelitian, kolaborasi akademik, serta kesempatan untuk berkontribusi pada inovasi global. Negara seperti Singapura berhasil menarik banyak akademisi internasional, termasuk dari Indonesia, dengan menyediakan dana riset yang besar, fasilitas laboratorium modern, dan kebijakan yang mendukung perkembangan akademisi dan peneliti. Jika Indonesia tidak segera melakukan reformasi dalam investasi riset dan inovasi, brain drain dalam sektor akademik dan teknologi akan semakin sulit untuk dikendalikan.
Selain faktor ekonomi dan riset, sistem ketenagakerjaan yang kurang fleksibel juga menjadi penyebab utama mengapa tenaga kerja Indonesia lebih memilih untuk mencari peluang di luar negeri. Regulasi ketenagakerjaan di Indonesia masih sulit beradaptasi dengan model kerja modern yang lebih fleksibel dan berbasis teknologi. Perusahaan multinasional lebih cenderung mempekerjakan tenaga kerja Indonesia di luar negeri daripada membuka kesempatan kerja yang kompetitif di dalam negeri karena mereka melihat lebih sedikit hambatan administratif dan birokrasi dalam pengelolaan tenaga kerja.
Banyak perusahaan berbasis teknologi lebih memilih untuk merekrut tenaga kerja Indonesia melalui sistem remote work atau kontrak kerja di luar negeri, daripada harus membuka kantor di Indonesia dan menghadapi birokrasi yang kompleks. Selain itu, sistem upah yang terlalu rigid, ketatnya aturan PHK, serta terbatasnya fleksibilitas kontrak kerja membuat banyak perusahaan enggan merekrut tenaga kerja tetap, sehingga lebih banyak yang memilih sistem kontrak jangka pendek atau outsourcing yang tidak menjamin kestabilan karier bagi pekerja muda.
Fenomena brain drain yang semakin meningkat di Indonesia menunjukkan bahwa negara ini masih belum mampu menciptakan lingkungan kerja yang kompetitif, inovatif, dan menarik bagi tenaga kerja muda dan profesional. Jika dibiarkan tanpa solusi yang jelas, Indonesia akan terus kehilangan talenta terbaiknya ke negara lain, yang pada akhirnya akan berdampak pada perlambatan inovasi, melemahnya daya saing global, dan penurunan produktivitas ekonomi nasional.
Namun, brain drain tidak selalu harus dianggap sebagai ancaman. Beberapa negara, seperti India dan China, berhasil mengelola brain drain menjadi brain circulation dengan menarik kembali diaspora mereka melalui insentif pajak, kemudahan investasi, serta kebijakan inovasi yang menarik bagi tenaga kerja terampil. Jika Indonesia ingin menahan laju migrasi tenaga kerja terampilnya, pemerintah harus segera melakukan reformasi kebijakan di berbagai sektor, termasuk meningkatkan investasi dalam riset dan inovasi untuk menarik kembali akademisi dan peneliti yang bekerja di luar negeri. Reformasi kebijakan ketenagakerjaan juga harus dilakukan agar lebih fleksibel dan kompetitif, sehingga tenaga kerja memiliki lebih banyak kesempatan berkembang di dalam negeri.
Selain itu, menciptakan insentif bagi diaspora yang ingin kembali dengan menawarkan akses modal, peluang kerja yang kompetitif, dan regulasi yang lebih ramah terhadap talenta global menjadi langkah penting yang harus dilakukan. Tanpa langkah strategis yang konkret, Indonesia akan terus kehilangan SDM terbaiknya, sementara negara lain justru mendapatkan manfaat dari keahlian dan kompetensi talenta Indonesia yang bekerja di luar negeri