Inas N Zubir *)
Rano Karno, yang baru saja mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Jakarta mendampingi Pramono Anung, menarik untuk dikaji lebih dalam terkait pengalaman pemerintahannya di tingkat daerah. Pada tahun 2012, ia terpilih sebagai wakil gubernur Banten, berpasangan dengan Ratu Atut, yang juga terpilih sebagai gubernur pada tahun yang sama. Namun, hingga tahun 2014, nama Rano Karno, yang dikenal sebagai si Doel, jarang terdengar, seolah-olah hilang ditelan tanah di Banten.
Kondisi ini mungkin terjadi karena Rano Karno bukanlah calon wakil gubernur yang diinginkan oleh Ratu Atut. Sebaliknya, ia merupakan hasil dari kesepakatan antara Ratu Atut dan PDIP, yang mengusulkan si Doel sebagai calon wakil gubernur pada saat itu. Dengan latar belakang tersebut, perjalanan politik Rano Karno di Banten menjadi sebuah cerita yang menarik untuk dianalisis, terutama mengenai bagaimana dinamika politik dan aliansi mempengaruhi peran serta kontribusinya yang samasekali tidak ada dalam pemerintahan di propinsi Banten.
Namun, Rano Karno kemudian mendapatkan keberuntungan ketika Ratu Atut terjerat kasus korupsi, yang mengakibatkan dirinya diangkat menjadi Gubernur Banten pada tahun 2015. Di awal masa pemerintahannya, pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten mencapai 5,37%. Tapi, di akhir masa jabatannya pada tahun 2016, angka tersebut mengalami merosot menjadi 5,26% yang menjadi bukti bahwa si Doel gagal memimpin dan membangun propinsi Banten.
Selain kegagalan tersebut, si Doel juga masih memiliki permasalahan serius, yakni dugaan gratifikasi yang melibatkan adik kandung Ratu Atut kepada Rano Karno, yang hingga kini belum tuntas dan kemungkinan akan terus bergulir. Situasi ini menambah kompleksitas perjalanan politik Rano Karno, dan mencerminkan tantangan yang akan dihadapi oleh Pramono Anung jika kelak memimpin Jakarta, serta dampak dari isu tersebut terhadap jalan-nya pemerintahan-nya kelak.
Apabila Rano Karno, alias si Doel, kelak dilantik sebagai Wakil Gubernur Jakarta, maka cukup jelas, Pramono Anung sebagai Gubernur akan dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama terkait kelemahan Rano dalam birokrasi. Pengalaman di Banten menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang mengeluhkan gaya kepemimpinannya, yang lebih mirip penampilan seorang pemain sandiwara panggung yang mengumbar pesona namun minim substansi dalam pelaksanaan tugasnya.
Hal ini menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan Rano Karno gagal dalam Pilgub Banten 2017, meskipun didukung oleh partai besar seperti PDIP, yang memiliki kursi terbanyak di DPRD Provinsi Banten. Kegagalan tersebut mencerminkan pentingnya kinerja yang nyata dan relevan dalam pemerintahan, di samping popularitas dan daya tarik publik.
*) Politisi Senior Partai Hanura