NUSANTARANEWS.co, Medan — Rivai Simanjuntak, korban salah tangkap Polres Tapanuli Utara (Taput) dalam kasus bentrokan antar-pendukung pasangan calon (paslon) bupati/wakil bupati di Pahae Jae pada Rabu, 30 Oktober 2024, merasa trauma dan minta nama baiknya dibersihkan.
Didampingi kuasa hukumnya, Dwi Ngai Sinaga SH MH, Rivai Simanjuntak menceritakan kronologi peristiwa penangkapan dirinya sangat aneh. Sebab, pada saat peristiwa bentrok terjadi, dia tidak berada di lokasi kejadian dan sedang di Tarutung melayat di rumah sahabatnya yang sedang berduka.
“Saya merasa trauma dan sangat malu atas peristiwa penangkapan itu, padahal saya tidak melakukan kejahatan. Keluarga saya juga merasa dipermalukan karena saya ditangkap seperti seorang teroris atau bandar narkoba,” kata Rivai kepada sejumlah wartawan Senin (25/11/2024) dinihari, di Tarutung.
Rivai menceritakan, pada 4 November 2024, sekitar pukul 07.00 WIB, dia ditangkap puluhan personel Polres Taput dari rumahnya. Saat diperiksa di Polres Taput, dia mengatakan bahwa tidak ada di lokasi saat kejadian. Beberapa temannya juga sudah memberi keterangan serupa bahwa dia saat itu benar-benar berada di Tarutung.
Peristiwa penangkapan itu pun membuatnya trauma dan kecewa karena pihak Polres Taput dalam penanganan perkara tidak profesional, sesuka hati melakukan penangkapan dan langsung menetapkan status tersangka terhadap seseorang tanpa memiliki bukti dan fakta.
Pernyataan istri Rivai Simanjuntak, Monika Tobing, berupa video yang menegaskan keberadaan Rivai pada saat itu berada di Tarutung dan salah tangkap kemudian menjadi viral di media sosial.
Atas video tersebut, sambung Rivai, pihak Polres Taput kemudian menyuruh dirinya untuk membuat video testimoni yang pada intinya menyatakan tidak benar terjadi salah tangkap terhadap Rivai Simanjuntak.
“Setelah video yang berisi pernyataan istri saya bahwa saya benar-benar berada di Tarutung pada saat itu viral di media sosial, maka pihak Polres Taput menyuruh saya untuk membuat video testimoni. Isi lengkap video testimoni tersebut mungkin para wartawan sudah mengetahui karena itu sudah viral,” katanya.
Namun, kata Rivai, video testimoni tersebut dialakukan karena dikondisikan dan diarahkan pihak Polres Taput.
“Waktu itu sekitar pukul 2 dinihari. Saya sebelumnya diperiksa selama 22 jam. Saya trauma karena baru pertama kali ditangkap polisi dan diperiksa selama 22 jam. Karena saya ingin cepat-cepat pulang sehingga saya turuti saja kemauan polisi untuk membuat video testimoni,” bebernya.
Lanjut Rivai Simanjuntak, video testimoni yang juga viral di media sosial dibacakan istrinya. Teks untuk dibacakan merupakan konsep dari pihak Polres Taput dan yang memvideokan juga personel Polres Taput.
Jadi isi teks yang dibacakan untuk video testimoni itu merupakan konsep dari penyidik Polres Taput. Istri saya hanya membacakan. Jadi bukan keinginan kami pada saat itu. Selanjutnya, saya diperiksa penyidik dan karena tidak terbukti, saya dilepaskan dengan status sebagai saksi,” terangnya.
Sementara itu, Dwi Ngai Sinaga SH MH selaku kuasa hukum pribadi Rivai Simanjuntak dan tiga tersangka lainnya yang masih ditahan, mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi Kapolda Sumatra Utara karena telah membentuk tim Bidang Propam Polda dan telah turun ke Taput.
“Klien saya tadi sudah menjelaskan kronologi penangkapan dan penetapan status tersangka dan selanjutnya diturunkan statusnya sebagai saksi. Sementara semua yang dituduhkan kepadanya oleh penyidik Polres Taput tidak beralasan karena dirinya tidak berada di lokasi saat itu, dan tidak ada terlibat menjadi tim kampanye di tim 01 maupun tim 02,” kata Dwi.
Atas dasar itu, Dwi Ngai Sinaga bersama tim memastikan penangkapan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap RS, DP, dan YS adalah salah tangkap dan rekayasa yang dilaporkan oleh pihak paslon 02 beserta para saksi yang diduga kuat akibat adanya keberpihakan oknum petinggi di Polres Taput yang memihak kepada salah satu kandidat dan tidak netral.
“Berdasarkan kasus salah tangkap terhadap Rivai, maka terhadap tiga tersangka lainnya yang masih ditahan, harus dibebaskan,” katanya.
Yang sangat menarik, sebut Dwi, di mana pasal yang ditetapkan penyidik Polres Taput terhadap ke empat tersangka kasus bentrok di Pahae Jae, diduga telah direkayasa.
Menurut Dwi, penangkapan itu dilakukan sangat ceroboh sebab pada surat penangkapan di atas pasal pencurian sedangkan di bawah diterapkan pasal penganiayaan. Parahnya lagi, terhadap tersangka atas nama Desi Pane dua kali mendapatkan surat penetapan sebagai tersangka.
“Hal yang paling aneh juga, menurut keterangan RS, saat diperiksa ada lima saksi menyebutkan berada di lokasi dan memukul pelipis kiri matanya, ternyata setelah diselidiki tidak ada. Kalau keterangan lima saksi ini saja sudah diragukan, bagaimana dengan ketiga orang klien kami yang juga telah ditahan karena ditetapkan sebagai tersangka. Mereka juga harus dibebaskan,” sebut Dwi.
“Kami minta agar Kapolri dan Kapoldasu segera turun memperhatikan permasalahan ini agar citra kepolisian tidak buruk dan masyarakat semakin cinta dan percaya terhadap kinerja Polri terutama Polres Taput,” tandasnya, seperti dikutip dari medanbisnisdaily.com, Senin (25/11/2024).
(KTS/rel)