OPINI  

Menghargai dan Meneladani Perjuangan Pahlawan

Jenderal Soedirman

Catatan D. Supriyanto Jagad N

Hari Pahlawan, yang diperingati setiap tanggal 10 November, adalah momen penting untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Pada hari ini, bangsa Indonesia mengenang berbagai pengorbanan dan perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan, mulai dari mempertaruhkan nyawa hingga kehilangan kebebasan pribadi demi kebebasan bangsa.

Berkisah tentang pengorbanan para pahlawan, angan saya terbang ke masa lampau, ketika saya masih anak-anak kelas 2 SD, sekitar tahun 70 an.

Dengan sepatu butut satu satunya yang sudah robek, saya bergegas ke sekolah mengikuti upacara bendera. Jarak antara rumah ke sekolah sekitar 4 kilo, ditempuh dengan berjalan kaki melewati pematang sawah. Belum ada jalan beraspal waktu itu. Saya harus berjibaku dengan waktu, supaya bisa sampai sekolahan sebelum upacara dimulai. Jika terlambat, resiko hukuman push up 20 kali.

Kami, murid-murid SD, benar-benar ditempa untuk disiplin, tidak cengeng, dan berani menerima hukuman jika kami melakukan kesalahan. Kami benar-benar dididik untuk bermental pejuang, seperti para pahlawan yang berjuang mempertaruhkan jiwa raga untuk bangsa ini.

Tidak seperti anak-anak sekarang, jika melakukan kesalahan, lalu dihukum disiplin oleh guru, lalu lapor orang tua, kemudian guru diintimidasi bahkan dikriminalisasi.

Usai upacara, untuk mengobarkan semangat kepahlawanan, Pak guru sejarah, berkisah tentang perjuangan pahlawan-pahlawan kita dalam merebut kemerdekaan. Salah satu yang saya suka adalah kisah perjuangan Jenderal Soedirman.

Jenderal Sudirman lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem.

Sudirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo.

Ia lebih banyak tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo setelah diadopsi. Ketika Sudirman pindah ke Cilacap pada 1916, ia bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah dan menjadi siswa yang rajin serta aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler.

Perjuangan Jenderal Soedirman

Perang Gerilya

Jenderal Soedirman di Kabupaten Bantul, Jenderal Sudirman memimpin Perang Gerilya yang berlangsung selama tujuh bulan.

Dalam menjalankan peperangan tersebut, kondisi fiisk Sudirman dalam keadaan sakit berat. Hal itu membuatnya harus ditandu untuk memimpin pasukannya.

Sudirman memimpin perjuangan gerilya dengan berpindah-pindah dalam keadaan kesehatannya yang semakin menurun.

Meski dalam kondisi tersebut, Jenderal Sudirman telah menjelajahi wilayah gerilya di daerah selatan Yogyakarta, Keresidenan Surakarta, Madiun, dan Kediri. Akhirnya, Belanda bersedia mengadakan perundingan dengan pihak Indonesia.

Perundingan Roem Royen

Saat perundingan tengah berlangsung pada 1 Mei 1949, Jenderal Sudirman mengeluarkan amanat kepada para komandan kesatuan agar tidak turut memikirkan Perundingan Roem Royen.

Perjanjian Roem Royen merupakan salah satu dari cara perjuangan guna mempertahankan kemerdekaannya melalui strategi diplomasi sehingga kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia kembali lagi ke Yogyakarta.

Setelah presiden kembali lagi ke Yogyakarta, Jenderal Sudirman pun diminta untuk kembali juga ke Yogyakarta, tapi ia menolak.

Atas penolakan tersebut, pihak pemerintah meminta bantuan Kolonel Gatot Subroto, yang pada waktu itu menjabat sebagai Panglima Divisi XI yang memiliki hubungan baik dengan Jenderal Soedirman.

Gatot mengirim surat yang bertujuan untuk membujuk Jenderal Sudirman agar mau kembali lagi ke Yogyakarta. Pada 10 Juli 1949, dengan berbagai pertimbangan dan maksud untuk menghargai Gatot, Jenderal Sudirman bersama pasukannya bersedia kembali lagi ke Yogyakarta.

Mulai sejak itu, Jenderal Sudirman kembali bersama pasukannya dan menetap di Yogyakarta tetapi penyakitnya kambuh kembali.

Pada 29 Januari 1950, Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia meninggal di usia 34 tahun dan dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Peran Jenderal Sudirman

Tercatat beberapa peran penting Jenderal Sudirman dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sebagai berikut.

Mengusir sekutu

Pada 12 Desember 1945, Kolonel Sudirman memimpin TKR mengusir sekutu dari Ambarawa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pengaruh sekutu.

Memimpin Peta

Pada awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sudirman memimpin pasukan Pembela Tanah Air (PETA) dalam merebut senjata dari tentara jepang yang ada di Indonesia.

Menjadi Ketua BKR

Pada 23 Agustus 1949, pemerintah membentuk Badan keamanan Rakyat (BKR). Sudirman diangkat menjadi ketua BKR untuk wilayah Banyumas.

Jaga Wudlu dan Zikir

Soedirman diangkat jadi Panglima TNI oleh Presiden Soekarno di Yogyakarta, pada 27 Juni 1947, saat lagi panas-panasnya perang revolusi melawan Sekutu.

Kisahnya saat melakukan perang gerilya pada tahun 1948 menjadi salah satu cerita ikonik dalam sejarah Indonesia memperjuangkan kemerdekaan. Jenderal Soedirman berhasil mengecoh Belanda yang berusaha menangkapnya.

Konon Soedirman memiliki jimat ampuh untuk melindungi dirinya dari serangan Belanda saat perang berlangsung. Namun jimat yang dimaksud bukannya sebuah benda, melainkan menjaga wudhu, sholat tepat waktu, serta mengabdi pada bangsa dan negara.

Soedirman sangat memahami bahwa mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah cara terbaik untuk memenangkan pertempuran, karena kekuatan Ilahi tak bisa dikalahkan oleh siapapun.

Hal tersebut diutarakan cucu dari Jenderal Soedirman, Ganang Priambodo Soedirman. “Ada yang menyebutkan juga, Jenderal Soedirman itu punya jimat yang menjadi mantranya. Mungkin bisa dikatakan keris-keris begitu ya Pak ya?” tanya sang presenter dilansir dalam channel RRI NET Official.

“Enggak, begini. Ketika itu memang dari ayahanda kemudian ada peninggalan ada ya, tapi kemudian kami melihat lebih baik hal itu diserahkan ke museum supaya bisa menjadi manfaat, sejarah,” jawab Ganang

“Tapi kalau kesaktian, logika beliau sakit begitu ya kalau ada yang cerita beliau mengangkat keris begitu lalu ada pesawat jatuh, logikanya ya kakeknya ini (Jenderal Soedirman) nunjuk-nunjuk saja tidak usah gerilya. Kan begitu,” sambungnya.

Tahun 1948, Belanda kembali menyerang dan ingin menguasai Indonesia, dimulai dari pulau Jawa, tepatnya Yogyakarta. Soekarno menyarankan Jenderal Soedirman untuk beristirahat karena saat itu sedang sakit paru-paru.

Jenderal Soedirman tidak mempedulikan nasihat Soekarno. Sesampainya di Kediri, pasukan Belanda tiba-tiba menemukan persembunyiannya. Dirinya mengajak para prajurit untuk berdzikir.

“Mari kita berdzikir agar diberi pertolongan Allah. Jangan sekali-kali di antara tentara kita ada yang menyalahi janji menjadi pengkhianat nusa, bangsa, dan agama. Harus kamu senantiasa ingat bahwa perjuangan selalu memakan korban. Jangan sekali-kali membuat rakyat menderita,” ucap Jenderal Soedirman yang diperankan sang cucu dalam sosio drama HUT ke-72 TNI di Dermaga Indah Kiat Cilegon, Banten, Kamis pada 5 Oktober 2017.

Rupanya, Jenderal Soedirman dijual oleh seorang anak buahnya. Keberadaan dirinya dibocorkan, dan sang jenderal sudah mengetahui akan hal ini.

Anehnya, tak ada satu pun pasukan Belanda yang mempercayai sang pengkhianat bangsa Indonesia tersebut mengenai identitas Jenderal Sudirman. Saat sang pengkhianat menunjuk Jenderal Soedirman, ia malah ditembak mati.

Soedirman memang piawai dalam berperang dan mengecoh lawan. Dirinya mampu berkali-kali meloloskan diri dari sergapan Belanda, bahkan ketika persembunyiannya sudah dikepung oleh militer Belanda.

Terbersit keinginan saya waktu itu, ingin seperti Jenderal Soedirman…

Semoga kisah perjuangan Jenderal Soedirman ini menginspirasi kita semua, untuk berjuang melakukan yang terbaik untuk bangsa dan negara.

 *) Pekerja Media, Penikmat Kopi Pahit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *