Oleh Achmad Nur Hidayat (EKONOM UPN VETERAN JAKARTA)
Beberapa waktu terakhir, pemerintah terus melakukan evaluasi terhadap skema subsidi untuk sejumlah kebutuhan dasar masyarakat, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), LPG, dan bahkan tiket kereta api.
Di balik narasi yang terlihat seolah ingin menyasar bantuan kepada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan, ada kekhawatiran bahwa niat utama dari perubahan skema subsidi ini hanya untuk membuka ruang bagi kenaikan harga barang-barang tersebut.
Dengan mengganti subsidi langsung menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat kurang mampu, ada risiko bahwa masyarakat luas yang sebelumnya mendapat subsidi melalui harga yang lebih murah akan merasakan beban harga yang lebih tinggi.
Dalam kasus ini, skema BLT berpotensi digunakan sebagai cara untuk melegitimasi kenaikan harga barang, dengan dalih efisiensi dan penargetan subsidi.
Pola yang Terlihat Sama pada BBM, LPG, dan Kereta Api
Pola yang diambil pemerintah dalam merombak subsidi untuk BBM, LPG, dan kereta api terlihat serupa. Pemerintah kerap kali menyampaikan bahwa subsidi selama ini tidak tepat sasaran, karena hanya dinikmati oleh sebagian kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak tergolong miskin.
Misalnya, pengguna mobil pribadi disebut-sebut menjadi penerima manfaat utama dari subsidi BBM, sementara masyarakat miskin justru tidak mendapat porsi yang semestinya.
Narasi serupa digunakan dalam kasus LPG bersubsidi dan tiket kereta api.
Namun, apakah perubahan ini benar-benar dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin atau justru lebih mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima harga baru yang lebih tinggi?
Pada akhirnya, yang terjadi adalah kelompok masyarakat yang selama ini bergantung pada subsidi untuk kebutuhan pokok sehari-hari akan terkena imbas dari kenaikan harga yang tak terhindarkan.
Pemerintah berdalih bahwa perubahan skema subsidi menjadi BLT adalah untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar dinikmati oleh mereka yang membutuhkan.
Namun, skema ini rentan menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya. Misalnya, tidak semua masyarakat miskin terdaftar atau memiliki akses mudah terhadap sistem bantuan tunai, sehingga berpotensi menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan baru.
Apakah BLT Efektif Sebagai Solusi Pengganti Subsidi?
Transformasi subsidi langsung menjadi BLT memang terlihat sebagai langkah progresif dalam membantu masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Dengan metode ini, pemerintah berharap bisa menyaring kelompok masyarakat miskin yang tepat sehingga bantuan tunai dapat diterima langsung.
Namun, BLT memiliki sejumlah kelemahan, terutama dalam jangka panjang. Pertama, BLT hanya memberikan bantuan sementara yang dapat dihabiskan dengan cepat, tanpa memberikan solusi jangka panjang untuk menghadapi kenaikan harga yang berkelanjutan.
Kedua, BLT rentan terhadap inflasi. Begitu harga barang-barang pokok naik, daya beli bantuan tersebut akan semakin berkurang, memaksa pemerintah untuk terus meningkatkan nominal bantuan agar tetap relevan.
Hal ini tentu berpotensi menambah beban fiskal yang lebih besar, apalagi jika kenaikan harga terus berlangsung dalam waktu yang lama.
Situasi ini hanya akan memperburuk kondisi masyarakat miskin, karena kenaikan harga barang esensial seperti BBM, LPG, dan tiket kereta api akan berpengaruh luas terhadap kenaikan biaya hidup secara keseluruhan.
Ketiga, pengawasan BLT sering kali tidak mudah dan rentan terhadap penyalahgunaan. Kasus salah sasaran pada BLT selama pandemi COVID-19 masih menjadi pelajaran bahwa bantuan tunai sering kali sulit diawasi, terutama di daerah-daerah terpencil.
Akurasi data penerima, kendala birokrasi, serta distribusi yang tidak merata menjadi tantangan besar dalam implementasi BLT.
Hal ini berisiko membuat program tersebut gagal mencapai tujuannya, sehingga masyarakat miskin tetap tidak mendapatkan bantuan yang memadai.
Menakar Potensi Kenaikan Harga Pertalite dan Solar Jika Subsidi BBM Dialihkan Menjadi BLT
Jika pemerintah benar-benar mengubah skema subsidi BBM menjadi BLT, ada kemungkinan besar harga Pertalite dan Solar akan naik.
Seperti yang kita lihat dalam beberapa kasus sebelumnya, saat pemerintah menggantikan subsidi langsung dengan BLT, harga komoditas yang sebelumnya disubsidi cenderung dinaikkan.
Contohnya, ketika subsidi listrik dikurangi, tarif listrik pun mengalami kenaikan. Skema ini kemungkinan besar akan terjadi pada BBM, karena pemerintah bisa berargumen bahwa harga pasar BBM perlu menyesuaikan kondisi ekonomi global dan biaya impor minyak yang tinggi.
Kenaikan harga BBM seperti Pertalite dan Solar tidak hanya berdampak pada mereka yang mampu, tetapi juga pada masyarakat miskin yang tidak terjangkau oleh BLT atau mengalami kesulitan mengaksesnya.
Meskipun kelompok miskin mungkin mendapatkan bantuan tunai untuk mengompensasi kenaikan harga, tetap saja mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk barang dan jasa lain yang dipengaruhi oleh harga BBM, karena kenaikan BBM biasanya memicu kenaikan harga barang-barang lainnya akibat meningkatnya biaya distribusi.
Jika pemerintah mengambil langkah ini, ada sejumlah risiko ekonomi yang harus diantisipasi
Inflasi yang Meluas: Kenaikan harga BBM akan berdampak pada biaya produksi dan transportasi, yang akhirnya meningkatkan harga barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Inflasi yang terjadi bisa mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan, termasuk kelompok miskin yang diberikan BLT.
Pada akhirnya, BLT yang diberikan tidak akan mencukupi kebutuhan mereka karena daya beli semakin menurun.
Peningkatan Beban Ekonomi Rumah Tangga: Masyarakat menengah bawah yang sebelumnya masih mampu membeli BBM subsidi akan merasakan peningkatan beban ekonomi yang cukup besar.
BLT yang diberikan mungkin tidak mampu menutup kenaikan harga secara keseluruhan, dan ini akan berdampak pada alokasi anggaran rumah tangga.
Dana yang sebelumnya bisa digunakan untuk keperluan lain mungkin harus dialokasikan untuk menutup kenaikan harga bahan pokok dan transportasi.
Kemungkinan Lonjakan Kemiskinan: Jika kenaikan harga BBM dan barang-barang pokok lainnya tidak diimbangi dengan penyesuaian BLT yang memadai, ada risiko lonjakan kemiskinan.
Masyarakat rentan yang berada di ambang garis kemiskinan bisa terjerumus ke dalam kemiskinan akibat meningkatnya biaya hidup yang tidak seimbang dengan pendapatan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan skema subsidi dari harga murah langsung ke BLT mungkin memiliki niat baik, namun pelaksanaannya membutuhkan kehati-hatian agar tidak merugikan kelompok masyarakat yang bergantung pada subsidi tersebut.
Jika pemerintah ingin mengubah skema subsidi BBM menjadi BLT, perlu ada komitmen kuat untuk menjaga stabilitas harga agar kenaikan harga BBM tidak memicu inflasi yang luas dan menambah beban ekonomi bagi masyarakat miskin.
Selain itu, transparansi data penerima BLT dan sistem pengawasan yang efektif sangat diperlukan untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar tepat sasaran.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan kebijakan pendukung untuk menjaga stabilitas harga bahan pokok lainnya, karena dampak dari kenaikan harga BBM dapat merembet ke sektor-sektor lain yang mempengaruhi biaya hidup masyarakat.
Sebagai penutup, mengubah skema subsidi menjadi BLT memang memiliki manfaat, tetapi jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang komprehensif untuk menjaga stabilitas harga, langkah ini hanya akan menjadi alasan untuk menaikkan harga, dengan konsekuensi yang pada akhirnya membebani masyarakat luas.
End