Oleh: KS Kanjeng Senopati
Dalam catatan sejarah, pemerintahan Hindia Belanda tidak pernah secara sistematis merampas tanah milik rakyat pribumi atau mengusir mereka dari tanah leluhurnya. Sebaliknya, tanah-tanah tersebut justru diberi legalitas melalui mekanisme Eigendom Verponding (EV).
Dalam konteks ini, Eigendom merujuk pada hak milik mutlak, sedangkan Verponding adalah pajak atau kewajiban pembayaran tetap atas harta tak bergerak, seperti tanah atau bangunan. Dengan demikian, Eigendom Verponding menjadi bukti legal kepemilikan tanah dan harta tetap bagi rakyat pribumi maupun kerajaan di masa kolonial.
Pada masa kolonial, Pemerintah Belanda menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama dalam hal perdagangan dan ekonomi. Kerjasama ini diupayakan demi menjaga kestabilan ekonomi kedua belah pihak, baik untuk kepentingan rakyat maupun kerajaan-kerajaan yang berdaulat.
Namun, di masa pemerintahan Republik Indonesia saat ini, tanah-tanah yang dulunya dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Nusantara dan rakyat pribumi kini justru diklaim dan diambil alih secara paksa oleh pemerintah. Tanah-tanah tersebut kemudian dijual atau digadaikan kepada pihak asing dan aseng (konglomerat asing), mengesampingkan hak-hak tradisional masyarakat dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Pemerintah yang berkuasa juga dinilai memperlakukan rakyat dengan tidak adil. Sementara rakyat pribumi dibebani pajak yang tinggi dan ditekan secara ekonomi, pihak kapitalis dan konglomerat asing justru mendapat kemudahan, bahkan terkadang pembebasan pajak. Kondisi ini membuat ketimpangan ekonomi semakin merajalela, dan rakyat pribumi semakin terpuruk.
Ironisnya, slogan “NKRI Harga Mati” yang sering didengungkan justru seakan tidak relevan dengan kondisi nyata. Bagi sebagian kalangan, NKRI telah berubah menjadi “NKRI Harga Obral”, di mana aset dan tanah rakyat dijual dengan mudah kepada pihak asing dan kapitalis. Pemerintah Republik seolah-olah lebih memilih untuk melayani kepentingan asing daripada melindungi rakyatnya sendiri.
Tanah-tanah yang dulu digunakan untuk kesejahteraan rakyat, kini berubah fungsi menjadi alat perdagangan dan investasi yang menguntungkan segelintir elit politik dan konglomerat. Pemerintah Republik, yang seharusnya hanya memiliki wewenang mengelola tanah dengan status Hak Pakai (SHP), justru bertindak seolah-olah tanah tersebut adalah Hak Milik (SHM) yang bisa diperjualbelikan. Akibatnya, banyak rakyat pribumi diusir dari tanah leluhur mereka demi kepentingan bisnis dan kapitalisme.
Pemerintah Republik Indonesia hari ini, dalam pandangan banyak kalangan, terlihat lebih represif dan eksploitatif dibandingkan dengan pemerintahan kolonial Belanda. Dengan mengatasnamakan pembangunan dan ekonomi, pemerintah dianggap telah mengabaikan nasib rakyat dan merampas hak-hak mereka atas tanah, tanpa memberikan solusi yang adil.
Fenomena ini mengungkapkan kenyataan pahit bahwa pemerintahan Republik Indonesia saat ini lebih mirip dengan penjajah daripada pelindung rakyatnya. Apakah kita masih bisa berseru “NKRI Harga Mati” jika kenyataannya NKRI semakin dirasakan sebagai penjajah baru oleh rakyatnya sendiri?