OPINI  

Komersialisasi Pendidikan Legasi Buruk Sang Presiden

Dr. Suriyanto Pd, SH,MH,M.Kn

Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH.,MH.,M.Kn *)

Majalah Tempo baru-baru ini menerbitkan laporan khusus tentang Nawa Dosa Presiden Joko Widodo [Jokowi]. Dalam laporan tersebut, Tempo mengulas 18 dosa Jokowi selama menjabat sepuluh tahun sebagai presiden.   Salah satu dosa Jokowi adalah terkait dengan maraknya komersialisasi pendidikan yang terjadi hampir di semua sektor.

Sejatinya, pendidikan untuk semua merupakan amanat konstitusi dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu fondasi utama dalam pembangunan sebuah masyarakat yang maju.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat adanya persoalan yang mengkhawatirkan mengenai isu komersialisasi Pendidikan, dimana biaya pendidikan terus meningkat secara signifikan. Salah satu aspek yang mencolok dari komersialisasi pendidikan adalah kenaikan biaya uang kuliah tunggal (UKT).

Komersialisasi Pendidikan di berbagai tempat terlihat semakin menggurita. Legasi buruk Sang Presiden selama satu dekade meninggalkan sejarah kelam dalam sistem pendidikan, dan  melahirkan beberapa dampak serius yang masih belum terselesaikan.

Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang dibuat. Pertama, komodifikasi Perguruan Tinggi. Satu tahun setelah Jokowi dilantik pada periode pertama atau pada tahun 2015 ia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). PP ini mengatur mekanisme PTN-BH dalam menetapkan tarif biaya kuliah, diantaranya membahas terkait pembiayaan mahasiswa.

Melalui aturan tersebut kampus memiliki kontrol penuh terhadap pengelolaan keuangan, sumber daya, dan tenaga kerja kependidikan. Kebijakan ini dapat membuat kampus semena-mena dalam menentukan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Mahalnya biaya pendidikan membuat seseorang tidak dapat merasakan manisnya pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 275 juta penduduk Indonesia hanya 10 persen yang dapat mengakses perguruan tinggi, atau setara dengan 27,5 juta orang saja.

Padahal pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung proses pembangunan sumber daya manusia. Pendidikan sendiri memiliki tujuan sebagai sebuah sarana untuk menggali ilmu pengetahuan, meningkatkan keterampilan, berkompeten dalam menghadapi masalah dalam hidupnya.

Legasi buruk yang kedua adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah.  Aturan ini membolehkan komite sekolah untuk menarik sumbangan kepada seluruh siswa untuk menutupi kekurangan biaya operasional dan kegiatan yang diadakan sekolah.

Keputusan ini membuat para oknum guru mengatasnamakan kepentingan sekolah untuk memeras siswa-siswanya. Artinya dengan  adanya kebijakkan ini ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu kebijakan yang diberikan kepada Komite Sekolah harus di perhatikan dengan seksama agar tidak terjadi pungli oleh oknum-oknum tertentu.

Ketiga, Badan Legislasi mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam Pasal 65 Ayat 1 berbunyi:  “Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan…”

Kebijakan ini membolehkan pemberian izin  membuat lembaga untuk meraup cuan sebanyak yang mereka inginkan (melalui perizinan usaha). Dengan adanya izin seperti ini membuat lembaga sesuka hati mereka menentukan harga untuk masuk ke dalam lembaga pendidikan tersebut.

Dampak negatif dari UU Ciptaker  ini dinilai lebih menguntungkan korporasi. Dan merugikan  anak buruh, nelayan, dan kelompok  masyarakat lainnya. Hal ini karena kenaikan biaya pendidikan tak sebanding dengan upah atau penghasilan yang didapatkan oleh orang tua.

Biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyaknya anak-anak putus sekolah. Berdasarkan Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) ada 75.843 juta siswa dari tingkat SD-SMA yang putus sekolah.

Ini sungguh memprihatinkan karena banyaknya anak-anak yang seharusnya sekolah malah tidak dapat merasakan nikmatnya sebuah pendidikan. Padahal pendidikan adalah kebutuhan paling penting untuk membantu mengembangkan bakat dan potensi seseorang. Selain itu, pendidikan juga dapat membantu manusia meningkatkan kesejahteraan hidup serta membantu  mengentaskan kebodohan dan kemiskinan di negara ini.

Komersialisasi Pendidikan yang seharusnya membawa pendidikan menuju arah yang lebih inklusif dan berkualitas, justru sering kali memperdalam kesenjangan akses dan memperkuat ketidaksetaraan sosial.

Masyarakat berpenghasilan rendah sering kali terpinggirkan dan sulit mengakses kesempatan pendidikan yang sama dengan mereka yang lebih mampu secara finansial.

Kita berharap pemerintah yang baru dapat lebih baik dan perlu memperbaiki kebijakan terkait pendidikan dan membuat keputusan yang baik agar tidak merugikan masyarakat. Melalui pendekatan inklusif dan kolaboratif, melibatkan berbagai pihak dalam pembuatan dan implementasi kebijakan, akan membantu memastikan bahwa sistem pendidikan di Indonesia dapat merata dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.

Jangan sampai kesalahan kebijakan sektor pendidikan terulang lagi. Kita berharap pemerintahan baru dapat menuntaskan persoalan ini dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Pemerintahan Prabowo-Gibran sebagaimana visinya yakni “Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045”. Visi pasangan ini diwujudkan melalui 8 misi Asta Cita, 17 program prioritas, dan 8 program hasil terbaik cepat.

Pada sektor pendidikan, Prabowo-Gibran menuangkan dalam memperkuat Pendidikan, Sains, dan Teknologi melalui berbagai program yang dijanjikan seperti; Melanjutkan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan memperluas cakupannya hingga ke pesantren dan perguruan tinggi.

Selain itu, program Penguatan sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan kualitas SDM yang produktif dan berdaya saing global; Membenahi kurikulum perguruan tinggi, pendidikan vokasi, dan politeknik berbasis riset, inovatif, aplikatif, dan inkubasi yang terhubung dengan industri.

*) Akademisi, Praktisi Hukum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *