NUSANTARA-NEWS.co, Banyuwangi – Maraknya jasa penagihan finance menggunakan jasa penyedia Debt Collektor yang tidak memenuhi syarat yang termaktub dalam aturan hukum, membuat Jaksa Penuntut Umum di salah satu Kejaksaan Negeri Banyuwangi buka suara bahkan bisa mengarah ke pidana
Pasalnya, ada teknis dan mekanisme yang dianggap melenceng atau melawan produk hukum yang sudah ada di Negeri Indonesia ini.
Andreanto, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Banyuwangi menjelaskan pada nusantaranews.co saat diwawancarai di ruang kerjanya
“Didalam sistem penagihan marak jasa debt colektor. Memang tidak menutup kemungkinan sebuah finance dalam melakukan proses penagihan kepada konsumen yang mengalami keterlambatan pembayaran kebanyakan di Indonesia ini menggunakan jasa debt collektor,” kata Andreanto
Disampaikan Andreanto, Jika dilihat dari sisi hukum, disitu ada dua hal yang kita bedakan yaitu unsur perdata dan pidana. Kalau kita bicara sah atau tidak, boleh atau tidak terkait dengan debt collektor dihadapan hukum, sah saja. Sah dari sisi perdata misalkan, mereka mendapatkan surat tugas atau awalnya perjanjian kerja antara finance dan penyedia jasa debt collektor itu.
” Didalam perjanjian itu akan memuat mulai dari tugas, ruang lingkup kerja, bahkan ada larangan untuk menghindari perbuatan – perbuatan yang dilarang oleh aturan perundang – undangan,” jelas Andreanto yang tidak lain juga Kasi BB dan BR di Kejaksaan Negeri Banyuwangi
” Jasa debt collektor sudah diberi tugas oleh finance. Misalkan perusahaan jasa debt collektor sudah diberi tugas oleh finance untuk menyetor nama siapa yang untuk menagih sesuai dengan surat tugas. Namun praktiknya yang melakukan penagihan tidak sesuai yang ada, bahkan yang melakukan orang lain ini sudah jelas karena mereka melakukan diluar perjanjian dan surat tugas,” terangnya
” Pidananya apa, yang lagi marak sekarang menghentikan ditengah jalan. Misalkan yang seperti Tentara dihentikan paksa di pintu TOL nah ini kan proses yang berpotensi untuk terjadinya tindak pidana. Tindak pidananya apa, misalkan ancaman pemerasan, ancaman pencurian. Jika dikaitkan dengan pidana, ada putusan Mahkamah Konstitusi putusan nomor 18 tahun 2019 yang menyebutkan pada pokoknya bahwa sertifikat fidusia tidak serta merta otomatis memiliki hak eksekutorial sehingga dalam pelaksanaan eksekusi perjanjian fidusia atas dasar upaya hukum atau gugatan ke pengadilan yang menentukan bahwa telah terjadi cidera janji, sehingga cidera janji tidak dapat ditentukan secara sepihak oleh pemberi kredit. Dalam putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan selama ini tidak ada tata cara pelaksanaan eksekusi atau penarikan barang leasing jika kreditur melewati tenggang pembayaran,” beber Andreanto.
Sebut dia, kebetulan di Banyuwangi juga sudah ada 2 perkara yang sudah kita tangani dan sampai sekarang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
( veri )