NUSANTARA-NEWS.co, Kupang – Kasus Pemalsuan Sertifikat Hak Milik/SHM tanah yang melibatkan dua okum ASN, IB (Pegawai Badan Pertanahan Nasional/BPN Kota Kupang) dan VFM (ASN yang bertugas di Kantor Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman Kota Kupang merupakan indikasi lemahnya mekanisme sistem kontrol internal BPN terkait pengurusan sertifikat hak milik tanah.
Kondisi ini memungkinkan bahkan memudahkan oknum pegawai/staf Kantor BPN melakukan tindakan non-prosedural dan melanggar hukum yakni memalsukan sertifikat hak milik/SHM tanah yang merugikan masyarakat.
Demikian dikatakan Kuasa Hukum AKA (korban pemalsuan sertifikat), Nixon Messakh, SH saat ditemui tim media ini di Kantor Pengadilan Negeri Kota Kupang pada Jumat (5/09/2020), seusai mengikuti jalannya sidang lanjutan pemeriksaan Saksi sekaligus Terdakwa Iin Baria alias IB dan Saksi sekaligus Terdakwa Viktor Ferdinan Maubana alias VFM terkait Kasus Pemalsuan Sertifikat Hak Milik/SHM atas tanah (SHM nomor 05828 dan SHM nomor 05829) yang merugikan kliennya, AKA sebesar Rp 568,000,000 (Lima Ratus Enam Puluh Delapan Juta Rupiah).
“Bagaimana bisa seorang Iin Baria dengan posisinya hanya sebagai Seksi Tematik di Kantor itu (BPN Kota Kupang, red) bisa mendapatkan blangko-blangko sertifikat tersebut? Lalu tandatangan dan mendapatkan cap Kepala Kantor BPN dengan begitu mudahnya? Ini menunjukkan ada kelemahan pengawasan internal terhadap sistem pengamanan/mekanisme pengurusan sertifikat tanah (Standar Operational Procedure, red) di Kantor BPN,” kitiknya.
Menurut Nixon Messakh, belajar dari kasus pemalsuan sertifikat tanah yang merugikan kliennya (AKA) itu, Kantor BPN perlu melakukan evaluasi internal. Terutama terhadap sistem pengamanan administrasinya, sehingga dapat memperketat pengawasan internal terhadap para staf atau pegawai yang bekerja di lembaga negara itu agar tidak tersandung masalah hukum seperti pemalsuan sertifikat hak milik/sertifikat tanah. “Yang ketahuan ke publik hari ini ya Iin Baria. Tetapi ada kemungkinan masih banyak kasus lain yang sejenis tetapi belum terbongkar. Ini makanya kita minta BPN lebih berhati-hati dan perketat sistem kontrolnya,” ujarnya.
Terdakwa Berkelit
Sementara itu, terkait keterangan Saksi/Terdakwa IB dan VFM di persidangan hari itu (05/09/2020), sebagaimana pantauan tim media ini, sidang lanjutan pemeriksaan Saksi sekaligus Terdakwa kasus pemalsuan sertifikat tanah, masing-masing; IB (untuk perkara pidana nomor 137/Pid.B/2020/PN.KPG dan VFM (untuk Perkara Pidana Nomor 138/Pid.B/2020/PN.KPG) yang dipimpin Hakim Ketua, Sarlota M.Suek, SH berjalan alot. Terdakwa IB selalu berkelit dan memberi keterangan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta BAP Polisi dan keterangan saksi-saksi di persidangan sebelumnya (16/06/2020).
Saksi dan atau/Terdakwa IB, memberikan jawaban berbelit-belit ketika ditanyai apakah ia sendiri yang membuat dua sertifikat tersebut (SHM 05828 dan SHM 05829, red). Bahkan jawaban IB bertentangan dengan hasil BAP Polisi dimana IB sendiri mengakui membuat sendiri 2 (dua) sertifikat tersebut. Hal ini sempat mengundang reaksi geram Hakim Ketua, Sarlota M. Sue, SH. “Ibu kami minta untuk menjawab sejujurnya, kalau tahu katakan tahu, tidak tahu katakan tidak tahu! Jawab apa adanya sesuai fakta. Karena semua keterangan ibu sebenarnya sudah ada di BAP. Kalau ibu jawab jujur, kami bisa pertimbangkan, tetapi kalau ibu berkelit, maka yang rugi ibu sendiri,” ujarnya.
IB juga mengelak ketika dikonfrontasi terkait dugaan pemalsuan tandatangan dan cap Kepala BPN Kota Kupang (Thomas More), yang lagi-lagi mengundang tensi Hakim Ketua, Sarlota Suek. “Ibu kalau mau ‘bermain lumpur,’ silahkan bermain di luar sana, tetapi jangan bermain-main di persidangan ini,” tegasnya.
Sementara itu, VFM dalam keterangannya sebagai Saksi/Terdakwa untuk Terdakwa IB, mengakui membeli tanah tersebut (SHM 05828, red) dari IB dengan harga Rp. 200,000,000 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan mempercayakan seluruh proses balik nama dan pengurusan sertifikat hak milik atas lahan yang dibeli dari IB itu kepada IB. Beberapa lama waktu setelah sertifikat hak milik atas nama VFM itu keluar, VFM menjualnya lagi ke AKA bersamaan dengan bidang lain (SHM nomor 05829, red) dengan total harga Rp.568,000,000 (Lima Ratus Enam Puluh Delapan Juta Rupiah). Lagi-lagi VFM menyuruh IB (yang diakui VFM sebagai teman dekatnya, red) untuk mengurus balik nama sertifikat hak milik atas tanah tersebut di BPN Kota Kupang melalui notaris Sarlina Sari Dewi Darmawan.
Saat sertifikat tersebut dibawa IB ke Kantor BPN Kota Kupang guna dilakukan pengecekan terdaftar tidaknya tanah dengan nomor sertifikat tersebut untuk selanjutnya proses balik nama (dari VFM ke Abee Angkriwang) sertifikat hak milik tanah, VFM menyerahkan uang sejumlah Rp.400,000,000 (Empat Ratus Juta Rupiah) ke IB, yang menurut VFM uang tersebut ia beri ke IB dalam status dipinjamkan.
Namun teterangan VFM tersebut dibantah IB di persidangan. Menurut IB, uang Rp. 400,000,000 dari VFM bukan pinjaman, melaingkan pemberian. “Lu maksud apa bilang pinjaman?” tanya IB kepada VFM dengan wajah kesal saat dipersilahkan duduk berdampingan dengan VFM sebagai terdakwa.
Seperti diberitakan sebelumnya (18/08/2020), dua oknum Pegawai Negeri Sipil di Kota Kupang, masing-masing: Iin Bria alias IB (Pegawai Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang) dan Viktor Ferdinan Maubana alias VFM (Pegawai Kantor Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman Kota Kupang) diduga memalsukan sertifikat tanah alias Surat Hak Milik/SHM (SHM nomor 05828 dan SHM nomor 05829) yang mengakibatkan kerugian korban inisial AKA sebesar Rp 586.000.000. Atas perbuatan itu, VFM dan IB saat ini duduk di ‘Kursi Pesakitan’ sebagai terdakwa.
Kronologi kasus tersebut bermulai dari tahun 2018, dimana VFM menawarkan 2 (dua) bidang tanah bersertifikat hak milik kepada AKA dengan harga Rp.800.000/per meter namun tawaran VFM tersebut tidak ditanggapi karena terlalu mahal. Beberapa bulan kemudian, lanjut Nixon, terjadi negosiasi ulang antara VFM dengan AKA terkait penjualan object tanah milik VFM. Dan AKA setuju dengan harga Rp.500.000/per meter. VFM lalu mengirimkan Foto/Copyan Sertifikat Hak Milik (SHM) melalui WA.
Lalu di bulan November 2018, VFM bersama AKA meninjau 2 (dua) lokasi object tanah yang mau dibeli. Disaat itu terdakwa, IIN BARIA (IB) datang ke lokasi tersebut bersama 2 (dua) orang saksi yang tidak dikenal AKA untuk melakukan pengukuran tanah dimaksud. “Saat pengukuran batas tanah, AKA hanya memegang copyan sertifikat (yang diprint dari WhatsApp/WA) yang telah dikirim VFM sebelumnya,” ujarnya.
Setelah pengukuran terjadi, lanjutnya, AKA berkomunikasi dengan VFM meminta agar VFM menyerahkan Sertifikat Asli object tanah dimaksud ke Notaris Sarlina Sari Dewi Darmawan. VFM pun berjanji bahwa Sertifikat akan diantar orangnya (temannya, red) ke Notaris Sarlina Sari Dewi Darmawan.
Dua sertifikat tersebut lalu diantar oleh terdakwa IB (Pegawai BPN Kota Kupang yang adalah teman VFM, red) ke kantor Notaris Sarlina Sari Dewi Darmawan. Setelah itu IB menginformasikan kepada AKA bahwa Sertifikatnya telah diantar ke notaris.
AKA lalu menelepon VFM untuk memastikan apakah IB (terdakwa, red) itu yang dimaksud orangnya pak Viktor dan VFM menjawab, “iya itu orang saya.”
AKA kemudian meminta Notaris Sarlina Sari Dewi Darmawan agar melakukan pengecekan 2 (dua) Sertifikat asli tersebut ke kantor BPN Kota Kupang: apakah 2 sertifikat tersebut benar sudah terdaftar di BPN sesuai Buku Tanah yang ada di BPN.
Keesokan harinya, terdakwa IB kembali ke kantor Notaris Sarlina untuk mengambil 2 sertifikat tersebut dan melakukan pengecekan di Kantor Pertanahan Kota Kupang (tanpa melalui loket pemeriksaan, red). Beberapa waktu kemudian setelah itu, terdakwa IB menyerahkan kembali 2 sertifikat tersebut ke Kantor Notaris SarlinaSari Dewi Darmawan.
Setelah dilihat, ternyata memang di sertifikat tersebut sudah tertera cap BPN yang menerangkan bahwa sertifikat tersebut tertulis asli. Kemudian berdasarkan informasi tersebut, AKA meminta Notaris (Sarlina Sari Dewi Darmawan, red) menyiapkan Penandatanganan Perjanjian Jual Beli (PPJB).
PPJB tersebut kemudian ditandatangani oleh VFM selaku penjual bersama isteri dan AKA selaku pembeli dihadapan notaris. Saat itu juga AKA menyerahkan sejumlah uang kurang lebih sebesar Rp. 2000,000 (Dua Ratus Juta Rupiah) cash sebagai tanda ikatan PPJB. Uang tersebut diterima VFM bersama isteri yang diikuti penandatanganan kwitansi tanda terima uang dihadapan Notaris, pada bulan oktober tahun 2018. Saat itu juga AKA berjanji akan melunasi (menyerahkan sisa pembayaran tanah, red) pada bulan Januari 2019 dan setelah itu baru dibuatkan akta jual belih.
Selanjutnya pada waktu yang dijanjikan yakni Januari 2019, AKA hadir lagi di kantor notaris dengan membawaserta bukti kwitansi panjar sebesar Rp 200,000,000+ yang pernah diberikan ditahap pertama sebelumya. Juga kwitansi sisa pembayaran tahap II yang sudah dilunasi AKA. Jadi total semuanya mencapai Rp.586,400,000-. Angkanya mencapai jumlah tersebut karena AKA menanggung sebagian besar pajak dari penjual (VFM, red) karena VFM selaku penjual merasa keberatan pajaknya terlalu tinggi.
Setelah pengikatan akta jual beli itu dilakukan dan ditandatangani VFM bersama isteri, AKA meminta kepada Notaris untuk memproses balik nama 2 sertifikat tersebut dari nama VFM ke AKA.
Berdasarkan permintaan itu, Notaris menyuruh stafnya ke Kantor Pertanahan untuk mengurus proses balik nama (melalui jalur pemeriksaan loket, red), barulah loket mengecek dan menemukan ternyata 2 sertifikat tersebut tidak dapat diproses untuk balik nama karena 2 sertifikat tersebut asli tetapi palsu. Blangkonya asli produk Badan Pertanahan, tetapi isinya palsu yakni nomor pemegang haknya; baik itu nama pemilik asli dan bidang tanah tersebut yang terdaftar di Kantor Pertanahan atas nama orang lain dan bidang tanah itu berada di tempat lain.
(Kos/tim)