Ilham Habibie Ungkap Tanda Ketergantungan Teknologi dan Impor Masih Tinggi

Ilham Akbar Habibie [Foto ICMI]

NUSANTARANEWS.co, Jakarta – Dalam Seminar Outlook Industrialisasi Indonesia, Sabtu [5/7/2025], Ketua Dewan Pengarah Persatuan Insinyur Indonesia [PII] Ilham Akbar Habibie mengungkapkan kekhawatiran atas terus meningkatnya defisit neraca perdagangan sektor manufaktur Indonesia.

Pada 2024, defisit sektor ini tercatat mencapai USD 45 miliar, naik signifikan dibanding tahun sebelumnya.

“Ini alarm besar bagi kita. Manufaktur yang seharusnya menjadi tulang punggung industri nasional justru menunjukkan ketergantungan yang sangat tinggi pada impor, terutama impor teknologi dan peralatan,” ujar Ilham Sabtu (5/7/2025), dikutip dari wartaekonomi.co.id

Ilham mengungkapkan, lonjakan defisit manufaktur ini menunjukkan bahwa kapasitas industri dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan nasional, baik dari sisi teknologi, bahan baku antara, maupun mesin produksi.

“Kita terlalu bergantung pada mesin dan komponen impor. Ini bukti bahwa kesenjangan teknologi kita sangat nyata,” jelasnya.

Indonesia, sebut Ilham, masih mengimpor sebagian besar alat produksi, peralatan elektronik industri, hingga komponen otomotif dan energi. Hal ini menggerus devisa dan melemahkan posisi industri nasional dalam rantai pasok global

Ilham menilai, meski hilirisasi di sektor-sektor strategis seperti nikel dan sawit mulai berjalan, langkah itu belum menyentuh aspek fundamental, yakni kemandirian teknologi manufaktur.

“Kalau kita hanya mengandalkan hilirisasi tanpa mengembangkan kapasitas produksi dan inovasi teknologi, maka kita tetap akan tertinggal. Kita hanya berpindah dari komoditas mentah ke setengah jadi, tapi tetap bergantung pada luar untuk mesin dan desain,” ujarnya.

Ilham juga menyoroti rendahnya anggaran riset dan pengembangan (R&D) di Indonesia yang masih di bawah 0,3% dari PDB, jauh dari standar negara maju maupun tetangga di Asia.

“Negara seperti Korea Selatan menginvestasikan lebih dari 4% PDB untuk R&D. Kita bahkan belum mencapai 1%. Kalau tidak berani berinvestasi di R&D, jangan harap bisa mandiri secara teknologi,” tegasnya.

Ia menambahkan, lemahnya budaya inovasi juga berdampak pada daya saing industri nasional.

“Kita lebih sering membeli teknologi dari luar ketimbang mengembangkan sendiri. Padahal, negara yang ingin kuat harus bisa menciptakan nilai tambah dari otak dan inovasinya sendiri,” kata dia.

Untuk mengatasi defisit manufaktur yang terus melebar, Ilham menyarankan pemerintah segera menyusun strategi nasional penguasaan teknologi industri, yang mencakup investasi di pendidikan vokasi, sinergi riset dan industri, serta insentif untuk inovasi lokal.

“Kita tidak bicara soal menutup diri, tapi soal memperkuat kapasitas dalam negeri. Kalau semua komponen kunci kita beli dari luar, maka industri kita tidak akan punya pondasi jangka panjang,” ucapnya.

Ilham juga menekankan pentingnya mendorong pertumbuhan industri berbasis teknologi tinggi dan padat karya produktif, agar Indonesia tidak terus-menerus menjadi pasar dan tukang rakit bagi negara lain.

“Tidak ada negara yang bisa hidup sendiri. Tapi semua negara maju selalu punya kekuatan industri domestik yang andal. Kita harus membangun dari dalam, memperkuat SDM, menguasai teknologi, dan tidak boleh takut bersaing,” pungkasnya, sepeti dikutip dari wartaekonomi.co.id, Sabtu [5/7/2025] malam.

[sam/rel]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *