Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA. *)
Terkait dengan dinamika pemikiran Islam kontemporer, ada beberapa wilayah pemikiran yang perlu dipertajam di masa mendatang, dalam rangka lebih mengembangkan lagi studi keislaman yang ada, antara lain sebagai berikut:
Pertama, isu tentang Humanitarian, yang secara filosofis Amin Abdullah sudah menulis namun belum aplikatif, belum pula bersifat area studies, dll, Demikian juga tentang teori maupun isu-isu yang termuat dalam spider web-nya Prof. Amien, bisa dijadikan bahan riset bagi calon Doktor di masa mendatang.
Demikian pula halnya tentang dinamika terbaru berbagai kasus: korupsi, bias gender, lingkungan hidup, kekerasan dan terorisme, isu etika, politik dinasti, arah haluan negara (sejenis GBHN), dinamika sains/IT, konflik agraria, pemilu yang hemat – transparan dan fairness, problematika air dan udara bersih, tatakota, dll. Isu lainnya terkait dinamika kaum salafisme, konsep jihad, darul harb, khilafah, islamic state, bahkan tentang strategi 4 pilar kebangsaan yang menarik untuk dikaji secara Islamic studies. Yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana strategi menghadapi fenomena takfiri.
Kedua, akan menarik juga bila pemikiran Prof. Amin Abdullah dijadikan bahan riset disertasi terutama yang terkait dengan karya-karya yang mempengaruhi atau yang sering dikutip oleh beliau dalam berbagai tulisannya. Kajian tersebut tentunya diperkaya dengan berbagai evaluasi kritis terhadap rujukan dimaksud, serta kemungkinan bagi pengembangan studi keislaman di masa depan.
Ketiga, mendapat inspirasi dari penulisan ini, sudah saatnya dikembangkan berbagai pusat studi tokoh pemikir Islam Indonesia, seperti KH Hasyim ‘Asy’ari, KH A. Dahlan, Buya Hamka, Mohammad Natsir, Mukti Ali, Cak Nur, Gus Dur, Syafii Maarif. Mungkin pula di masa mendatang akan ada pusat studi Amin Abdullah/Amin Institute sebagaimana NGO yang terkait M. Fethullah Güllen Movement, dll. Bisa saja di masa mendatang akan ada mazhab pemikiran keislaman Indonesia ala Frankfurt misalnya (follow up mazhab Sapen Yogya).
Hal ini bukanlah dimaksudkan untuk taqdîs al-afkar, tapi justru untuk menjadikan warisan Islam Indonesia yang plural sebagai pijakan historis bagi generasi pemikir Islam masa depan. Seperti Muhammadiyah dan NU sebagai warisan besar KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari, atau dalam skala global seperti Hizbut Tahrir sebagai warisan dari Taqiuddin Nabhani, maupun Ikhwanul Muslimin sebagai warisan Hasan al-Banna.
Keempat, selain universitas, pusat studi dan institut, akan baik sekali bila warisan pemikir Indonesia diwujudkan dalam bentuk ensiklopedi ilmiah seperti Ensiklopedi Nurcholish Madjid.
Kelima, dengan adanya berbagai universitas, pusat studi, institut dan ensiklopedi dimaksud akan memudahkan bagi peneliti keislaman di kemudian hari melakukan evaluasi kritis terhadap pikiran-pikiran mereka, terutama yang akan dijadikan bahan disertasi. Kelak akan muncul Mata Kuliah Pemikiran Islam Indonesia era klasik, tengah, modern dan kontemporer. Contoh kajian riset Azyumardi Azra tentang jaringan ulama Timur Tengah menarik untuk ditindaklanjuti oleh pemikir Islam Indonesia ke depan.
Keenam, untuk memudahkan upaya pengayaan bahan-bahan pemikiran keislaman Indonesia tersebut, perlu adanya data kompilatif hasil-hasil seminar regional, nasional dan internasional keislaman, dalam dan luar negeri, oleh Kemenag RI via AICIS atau Litbang, maupun UIN dan PTAI lainnya. Berdasarkan data kompilatif tersebut akan memudahkan untuk membuat sebuah roadmap riset lanjutan di masa depan. Dengan demikian overlapping penelitian keagamaan sekecil mungkin dapat dihindari.
Ketujuh, pengayaan dimaksud secara otomatis akan mendorong terwujudnya semacam kompilasi pemikiran dan pergerakan Islam sejak era klasik Indonesia hingga kontemporer.
Kedelapan, perlu pula dijadikan tradisi pemberian award bagi para pemikir Islam Indonesia yang telah banyak melakukan riset dan penulisan buku ilmiah. Selama ini para intelektual muslim Indonesia lebih banyak menulis artikel lepas di mediamassa atau jurnal. Sehingga karya terbitan lebih bersifat kumpulan tulisan, bukan dalam bentuk pemikiran yang utuh.
Setelah meraih gelar Doktor/Profesor masih jarang ada penulisan buku secara utuh selain disertasi, mengingat belum begitu seriusnya lembaga keislaman menyiapkan dana penulisan karya ilmiah dimaksud. Walaupun akhir-akhir ini, dengan kebijakan Kemenag/Kemendiknas RI terutama bagi para Profesor yang diwajibkan menulis buku, sedikit-banyak hal ini bisa mereduksi kevakuman intelektual dimaksud.
Kesembilan, percikan pemikiran Amin Abdullah perlu ditindaklanjuti bagi pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, sejak tingkat dasar, menengah, pesantren, hingga PTAIS. Perubahan itu meliputi pengembangan wawasan keilmuan para guru/ustaz, penulisan buku teks keislaman yang baru serta silabi, dll.
Kesepuluh, gagasan dalam rangka ultah 60 dan 70 tahun Amin Abdullah ini bisa dijadikan momentum bagi pemikir muda Muslim – pasca generasi Amin Abdullah – sebagai era baru generasi pemikir Islam yang bersifat post-literal dan post-liberal, sebagai perwujudan dari interkoneksi antara Islam normatif dan Islam historis. Pertarungan pemikiran antara kubu literal dan kubu liberal yang telah menguras banyak energi intelektualisme keislaman yang polemik-apologetik, harus diarahkan pada penemuan pendekatan baru studi keislaman kontemporer yang bercorak post-literal dan post-liberal dimaksud. Dalam pengertian bahwa pemikiran keislaman Indonesia masa depan lebih diarahkan pada dimensi aplikatif dan implementatif serta berdampak positif bagi bangunan peradaban Islam, sesuai dengan tantangan kekinian dan kedisinian umat Islam Indonesia.
Kesebelas, metodologi integratif yang ditawarkan Amin Abdullah terkesan baru pada dataran dialogis, dan itu memang relevan dengan era beliau. Pemikir Islam yang lebih muda di masa mendatang perlu lebih mempertajam lagi hingga level yang lebih integratif-aplikatif. Bisa juga membandingkan, misalnya, perspektif Hassan Hanafi, antara Orientalisme dan Oksidentalisme, maupun warisan proyek pemikiran Mohammed Arkoun, Muhammad Sahrour, Abdullah Saeed, Fethullah Gulen, dll.
Keduabelas, studi Oksidentalisme sebagaimana yang sudah dirintis almarhum Prof. Dr. A. Mukti Ali belum begitu jauh dikembangkan dalam studi keislaman khususnya di lingkungan UIN/PTAI.
Ke depan akan bagus sekali bila diwujudkan prodi Oksidentalisme dimaksud, untuk memperkecil nuansa clash of civilization, sebagaimana yang ditengarai oleh Samuel P. Huntington.
Terakhir, dimensi local methodologies/approaches/methods yang bercorak keindonesiaan (postcolonial) mendesak untuk diwujudkan. Program riset ini bisa melalui forum AICIS (Annual International Conference on Islamic Studies), yang sudah 22 (2023) kali diadakan oleh
Kemenag RI. Proyek ini dapat juga diaplikasikan melalui pusat studi para tokoh Islam Indonesia, yang dalam jangka panjang, para pemikir muda Islam Indonesia dapat membedah konteks Indonesia, tidak hanya dengan menggunakan pisau analisis Barat, namun dapat memanfaatkan khazanah ilmuan Indonesia sendiri. Jadi perlu racikan epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang bercorak keindonesiaan. Wallhu a’lam bisshawab.-
*) Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformasi Indonesia)