Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH.,MH.,M,Kn *)
Saya tergelitik untuk ikut urun rembug mensikapi carut marutnya dunia pendidikan saat ini. Betapa tidak, di tengah situasi ekonomi masyarakat kita yang belum membaik, publik dihebohkan dengan kenaikan uang kuliah tunggal [UKT].
Sebagai Akademisi, saya pun geleng-geleng kepala dan mengurut dada, prihatin. Kenaikan biaya kuliah di Peguruan Tinggi Negeri hingga lima ratus persen, ini adalah kebijakan yang ugal-ugalan.
Mengutip pernyataan Fahira Idris, persoalan yang terjadi tersebut bukan sekadar keterbatasan anggaran negara dan ketidaksesuaian UKT yang harus dibayar mahasiswa saja, melainkan paradigma pendidikan tinggi di Indonesia yang harus dibenahi.
Di tengah tantangan finansial dan kebijakan otonomi kampus, penting untuk merefleksikan kembali paradigma pendidikan tinggi di Indonesia yang seharusnya menjadi pilar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin akses pendidikan bagi kelompok miskin. Jadi, dalam membuat kebijakan, jangan digebyah uyah tanpa melihat kondisi sosial masyarakat kita saat ini.
Pemerintah harus menghadirkan pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjangkau, maka permasalahan besar Indonesia, yakni ketimpangan sosial dan ekonomi bisa lebih cepat dituntaskan. Sudah saatnya pemerintah mengadopsi paradigma pendidikan tinggi yang menempatkan aksesibilitas dan inklusivitas sebagai prioritas utama.
Paradigma pendidikan tinggi yang menempatkan aksesibilitas dan inklusivitas sebagai prioritas utama mensyaratkan pemerintah harus mengalokasikan lebih banyak dana untuk pendidikan tinggi. Dengan begitu, PTN tidak perlu terlalu bergantung pada kenaikan UKT. Pertanyaannya, selama ini alokasi anggaran pendidikan dikemanakan?
Pendidikan tinggi ini menjadi kunci kemajuan suatu bangsa. Jika kita ingin menjadi bangsa yang maju, maka segala sumber daya harus dikerahkan untuk mewujudkan paradigma pendidikan tinggi yang lebih inklusif dan berorientasi pada keadilan sosial.
Indonesia sebagai negara terbesar keempat dunia jumlah penduduknya 279.390.250 juta jiwa data penduduk di pertengahan tahun 2024, tetapi jumlah penduduk yang sedemikian besar berdasarkan data statistik saat ini, rakyat Indonesia masih memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah.
Tamatan SD masih diangka 64 juta jiwa lebih, SMK/SMA masih diangka 58 juta lebih, SMP 40 juta lebih, yang sangat miris jumlah masyarakat di pendidikan tinggi S1 diangka 12 ribu lebih, S2 di angka 800 tibu lebih, S3 diangka 63 ribu lebih dan D1,D2 satu jutaan, masyarakat tidak atau belum sekolah sekitar 66 juta lebih.
Hal ini menunjukan bahwa pemerintah belum dapat mewujudkan swasembada pendidikan yang berhasil buat rakyatnya. Seperti polemik yang terjadi saat ini, pejabat tinggi di Dikti menyatakan bahwa pendidikan tinggi tidak wajib atau hanya sebagai pilihan saja setelah lulus SMK atau SMA, hal ini menjadi sangat menyedihkan bagi Bangsa Indonesia dengan besaran keempat dunia banyak penduduknya.
Padahal pendidikan tinggi ini harusnya di wajibkan untuk semua keluarga, khususnya keluarga miskin dan menengah untuk dapat merubah hidup keluarga mereka.
Harusnya negara dan pemerintah lebih serius menangani tentang pendidikan rakyatnya, tidak seperti saat ini pendidikan terus menerus dijadikan polemik yang akibatnya rakyat semakin terpuruk tidak dapat melanjutkan sekolah.
Apa lagi saat ini kementrian dijabat oleh Menteri yang bukan ahli pendidikan, Menteri bicara apa, Seditjen Dikti bicara apa, Dirjen Dikti bicaranya apa, tidak sinkron akhirnya rakyat jadi korban.
Hal ini hendaknya jadi perhatian khusus seluruh pejabat terkait untuk merubah wajah pendidikan rakyat Indonesia agar dapat lebih maju seperti Bangsa besar lainnya. Tidak semakin terpuruk seperti saat ini.
*) Akademisi, Praktisi Hukum