NUSANTARANEWS.co, Banyuwangi – Meski secara garis geografis Banyuwangi memiliki tambang emas, namun paling ujung pulau Jawa tersebut tidak pernah menerima deviden dari perusahaan yang mengelola.
Banyuwangi merupakan salah satu pemegang saham, namun tidak memiliki kewenangan besar atas kebijakan dan keputusan terkait tambang emas yang ada di Banyuwangi. Hal tersebut dikarenakan prosentase atas kepemilikan saham yang kecil.
Emi
Pendapatan yang masuk dalam kas daerah Banyuwangi dari tambang emas yang ada hingga kini yaitu dari
right issue dan penjualan saham. Right issue atau biasa dikenal Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu atau (HMETD ) dalam pasar modal Indonesia adalah hak yang diperoleh para pemegang saham yang namanya telah terdaftar dalam daftar pemegang saham suatu perseroan.
Seperti yang diungkap Cahyanto, Plt Kepala BPKAD Banyuwangi saat diwawancarai oleh NusantaraNews.co di ruang kerjanya, Banyuwangi tidak pernah mendapat deviden hingga sekarang
” Banyuwangi hingga saat ini tidak pernah mendapatkan deviden dari saham yang dimiliki, hal tersebut dikarenakan prosentase atas kepemilikan saham yang kecil. Presentase sebesar 4,25 persen sebelum right issue 2022 dan pemegang saham tertinggi sebesar 18 persen dipegang oleh SARATOGA milik pak Sandi,” jelas Cahyanto, Senin (1/8).
Selain diluar penjualan saham pada tahun 2022 sebesar kurang lebih Rp. 298 Miliar. Per tanggal 1 Agustus 2022 Banyuwangi memiliki 927.000.000 lembar saham dengan harga Rp. 4.050 per lembar saham.
” Jadi jika dijual sekarang tanggal 1 Agustus 2022 misalkan, Banyuwangi akan memiliki pendapatan kurang lebih Rp. 3 Triliun,” imbuh Cahyanto.
Hasil pemasukan dari right issue pada tahun 2018 sebesar Rp. 3 Miliar dan 2022 sebesar Rp. 88 Miliar. Hasil dari ini masuk dalam RKUD atau pendapatan daerah.
Rapat umum pemegang saham ( RUPS ) pada tahun 2022 kemarin dihadiri langsung oleh Bupati Ipuk dan saya selaku Kepala BPKAD di Jakarta, papar Cahyanto.
Menurut Emi Hidayati, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng Banyuwangi, bahwa dokumen APBD adalah dokumen publik
” Pertama yang perlu ditekankan adalah dokumen APBD adalah dokumen publik, maka siapa saja boleh tahu mesti ada batasan dan harus jelas penggunaanya,” jelas Emi.
Masih menurut Emi, sumber pendapatan atau pendanaan yang masuk ke daerah berasal dari pihak ke tiga harus diatur dan ada payung hukum sendiri dan harus jelas penggunaanya untuk apa saja.
” Sumbernya dari mana dan digunakan untuk apa itu harus jelas dan ada perdanya sendiri, karena setiap keluar masuknya dana itu harus ada pertanggung jawaban. Dalam persoalan saham yang ada, seperti misalkan di Banyuwangi kaitan saham Pemkab yang ada di tambang emas itu juga diatur dalam Permendagri 77 Tahun 2020 Tentang Penggunaan Saham Daerah,” imbuh Emi.
[veri kurniawan]