Catatan Veri Kurniawan
Seolah sudah menjadi tradisi bahwa setiap tahun pada masa Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB), lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah menjadi bulan bulanan oleh oknum atau segelintir orang untuk menitipkan anak, sanak saudara, bahkan orang lain agar bisa masuk ke sekolah yang diminati.
Tak hanya itu, tak sedikit pula yang memanfaatkan momentum PPDB untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Fenomena tersebut tentunya membuat miris banyak kalangan. Alih alih melakukan Kontrol Sosial demi menegakkan amanah Undang – Undang, tetapi mereka sendiri mencurangi Undang – Undang itu demi kepentingan pribadi.
Tidak memungkiri adanya oknum sekolah yang ditemukan melakukan pelanggaran Malladministrasi dalam proses PPDB sebagaimana yang ditemukan oleh Ombudsman RI seperti dilansir dari https://www.antaranews.com/berita/977450/ombudsman-ri-temukan-sejumlah-maladministrasi-penerapan-ppdb. Namun, apakah kemudian kesalahan satu oknum sekolah bisa di gebyar uyah bahwa semua sekolah melakukan hal yang sama?.
Dan apakah kesalahan yang ditemukan itu layak untuk dijadikan bahan melakukan pressure kepada lembaga pendidikan demi kepentingan segelintir orang dan akhirnya mengganggu kenyamanan belajar peserta didik?.
Belakangan banyak kita temui sekolah sekolah yang mengeluarkan kebijakan khusus untuk anak yatim/ piatu dan masyarakat tidak mampu.
Kepedulian tersebut tentunya harus kita apresiasi. Sebab, jika sekolah tidak peduli akan keberadaan mereka, lalu bagaimana nasib siswa yang kurang beruntung itu. Bukan berarti kebijakan yang di ambil sekolah itu merupakan peluang untuk “mendapatkan sesuatu”.
Kalau kita berpijak pada dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pasal 21 Ayat 2 menyebutkan, pelaksanaan PPDB pada sekolah yang menerima biaya operasional sekolah tidak boleh memungut biaya.
Pasal 21 Ayat 3 menyebutkan, (a) sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah tidak boleh melakukan pungutan dan/atau sumbangan yang terkait dengan pelaksanaan PPDB ataupun perpindahan peserta didik, dan (b) melakukan pungutan untuk membeli seragam atau buku tertentu yang dikaitkan dengan PPDB.
Di sisi lain, masyarakat juga harus menyadari dan memahami bahwa tidak harus putra putrinya masuk kesekolah favorit. Karna besarnya animo masyarakat untuk memasukkan putra putrinya disekolah favorit, tak heran jika setiap masa PPDB sekolah favorit selalu menjadi sorotan.
Pemerintah pusat telah memberikan fleksibilitas daerah dalam menentukan alokasi untuk siswa masuk ke sekolah melalui jalur zonasi dengan kuota minimal 50 persen, jalur afirmasi atau jalur bagi calon peserta didik dari keluarga ekonomi tidak mampu (minimal 15 persen), jalur perpindahan orang tua /wali (maksimal 5 persen), dan jika masih ada sisa kuota bisa melalui jalur prestasi (maksimal 30 persen).
Konsep zonasi mendorong semua sekolah menjadi sekolah favorit dalam upaya kesetaraan pendidikan. Karena itu, para guru pun disebar atau diretribusi untuk pemerataan mutu pendidikan. Disinilah pemerintah daerah dituntut untuk berperan besar. Sehingga tidak akan ada lagi persoalannya persoalan yang muncul pada masa PPDB di tahun tahun mendatang.
Karenanya kita berharap semua pihak bersatu padu guna menyukseskan pendidikan bangsa ini. Bukannya saling menyalahkan dengan dalih amanat Undang – Undang tapi ujung ujungnya hanya demi mengisi kantongnya pribadi.
Sebagai wali murid seyogyanya kita menyerahkan proses pembelajaran itu kepada pihak sekolah yang dibantu oleh komite sekolah. Kedewasaan masyarakat dalam menyikapi permasalahan juga sangat diharapkan.
Pemerintah daerah harus proaktif melakukan inventarisasi atau pemetaan potensi calon peserta didik dan ketersediaan sekolahyang terjangkau dan berkualitas.
*) Veri Kurniawan ( FOSKAPDA )