Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom & Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
Apakah benar ekonomi Indonesia berada dalam kondisi darurat?
Pertanyaan ini mengemuka karena masyarakat merasakan harga pangan yang merayap, rupiah yang tertekan, dan suasana kebijakan yang gaduh.
“Darurat” di sini bukan vonis krisis total, tetapi alarm dini bahwa sejumlah indikator kunci bergerak serentak ke arah yang menuntut respon cepat dan kredibel.
Untuk memahami duduk perkaranya, kita perlu memisahkan antara persepsi dan realitas, lalu merumuskan gagasan keluar yang masuk akal.
Retakan Pondasi Rumah Ekonomi
Bayangkan rumah besar yang tampak megah, tetapi pondasinya retak halus. Dari luar, pertumbuhan ekonomi masih positif—sekitar 5 persen—dan aktivitas industri belum runtuh.
Namun di dalam, retakan mulai melebar: daya beli melemah, kurs rupiah ikut melemah persisten berada di kisaran Rp16 ribu per dolar, dan defisit transaksi berjalan melebar.
Retakan ini tidak serta-merta merobohkan rumah, tetapi jika dibiarkan, setiap guncangan akan memperburuk keadaan.
Karena itu, istilah “darurat” tepat sebagai sinyal kewaspadaan, bukan kepanikan.
Daya Beli: Mesin Utama yang Kehilangan Tenaga
Indeks Keyakinan Konsumen menurun ke level terendah dalam beberapa tahun, mencerminkan kekhawatiran atas kesempatan kerja dan penghasilan masa depan.
Ketika harga beras dan kebutuhan pokok menanjak, rumah tangga menahan belanja.
Mesin konsumsi, yang menyumbang porsi terbesar PDB, seperti kehilangan oktan.
Politik fiskal yang ingin menggelontorkan stimulus harus memastikan bensin tepat masuk ke tangki yang benar: stabilisasi harga pangan, bantuan yang presisi, dan program padat karya yang cepat dirasakan, bukan sekadar janji makro di atas kertas.
Rupiah, Neraca Eksternal, dan Psikologi Pasar
Nilai tukar yang lemah bukan sekadar angka kurs; ia adalah ringkasan dari kepercayaan pasar terhadap prospek kita.
Ketika transaksi berjalan defisit dan arus modal sensitif, rupiah mudah terseret gelombang global.
Dalam keadaan ini, komunikasi kebijakan menjadi separuh dari kebijakan itu sendiri.
Pergantian Menteri Keuangan di tengah cuaca buruk tanpa peta jalan yang segera dipahami pasar ibarat mengganti pilot saat pesawat menembus awan cumulonimbus.
Publik tidak meragukan kemampuan pilot baru, tetapi menuntut instruksi yang jernih: ketinggian terbang, rute alternatif, dan kapan turbulensi mereda.
Likuiditas, Burden Sharing, dan Garis Tipis Independensi
Penempatan dana pemerintah di perbankan untuk melonggarkan likuiditas memberi oksigen jangka pendek.
Diskursus “burden sharing” antara bank sentral dan pemerintah dapat menenangkan pasar obligasi jika dirancang transparan dan berbatas waktu jelas.
Namun garis tipis harus dijaga: bank sentral tidak boleh menjadi dompet permanen fiskal. Jika ketergantungan mengeras, premi risiko naik, suku bunga jangka panjang menanjak, dan rupiah kian sensitif.
Kebijakan yang baik adalah yang membuat dirinya sendiri tidak lagi diperlukan ketika situasi pulih.
Belanja Jumbo, Defisit, dan Seni Memilih Prioritas
Ambisi program sosial skala besar, seperti makan bergizi untuk anak sekolah, adalah tujuan mulia.
Namun kemuliaan niat harus disertai tata kelola yang tajam: berapa fase perluasan per tahun, dari mana sumber dananya, dan apa indikator keberhasilan yang terukur.
Defisit sekitar 2–3 persen PDB bukan masalah jika dikelola dengan disiplin dan biaya utang terkendali.
Masalah muncul jika belanja melebar lebih cepat daripada penerimaan dan pembiayaan kian mahal.
Pada titik ini, seni kebijakan adalah seni memilih—menunda yang belum mendesak, memangkas yang boros, dan memprioritaskan yang berdampak langsung pada produktivitas dan daya beli.
Dimensi Sosial-Politik: Ekonomi Juga Soal Rasa Adil
Rasa keadilan memengaruhi ekspektasi. Ketika publik melihat harga beras naik sementara kabar soal privilese pejabat berseliweran, persepsi negatif membesar.
Padahal ekspektasi adalah bahan bakar kebijakan: jika publik percaya harga akan stabil dan pekerjaan tersedia, konsumsi pulih lebih cepat.
Karena itu, selain langkah teknis, pemerintah perlu simbol-simbol disiplin: efisiensi belanja perjalanan dinas, transparansi program, hingga keteladanan pejabat.
Kepercayaan tidak bisa dibeli, tetapi bisa dipupuk melalui integritas yang konsisten.
Jalan Keluar: Kejelasan Arah dan Eksekusi yang Rapi
Pertama, hadirkan peta jalan fiskal yang sederhana namun tegas: prioritas tiga besar, sumber pendanaan, serta fase waktu yang realistis.
Kedua, tata ulang komunikasi—bukan sekadar konferensi pers, melainkan penjelasan terstruktur tentang “apa, bagaimana, dan kapan” setiap kebijakan berjalan beserta metrik pengukurnya.
Ketiga, stabilkan pangan melalui bauran pasokan: percepat impor bila perlu, longgarkan hambatan distribusi, dan dorong panen raya dengan insentif logistik yang konkret.
Keempat, jaga kredibilitas moneter dengan kompas independensi yang jelas dan koordinasi yang rapi, sehingga pasar membaca koherensi, bukan kompromi.
Dari Alarm ke Aksi
“Darurat” adalah bunyi alarm, bukan tanda kiamat.
Alarm yang baik menyadarkan kita untuk menegakkan kembali pondasi, menyetel ulang mesin konsumsi, dan merapikan kabel koordinasi fiskal–moneter agar tidak korslet.
Jika langkah-langkah dilakukan cepat dan konsisten, Indonesia bukan hanya keluar dari zona rawan, tetapi memutar momentum ke arah pemulihan yang lebih matang.
Tugas kita bukan mematikan alarm, melainkan memperbaiki rumah besar ini agar alarm tak perlu berbunyi lagi.
End