Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom & Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
Pimpinan DPR sudah mengumumkan bahwa tunjangan perumahan dicabut, dan akan melakukan moratorium kunjungan luar negeri. Total take home pay menjadi Rp 65,5 juta. Apakah ini sudah menjawab kesenjangan yang dikeluhkan masyarakat? Pembenahan apa lagi yang diperlukan?
Langkah pencabutan tunjangan perumahan dan moratorium perjalanan luar negeri ibarat menutup dua keran paling mencolok di rumah yang kebanjiran.
Air memang surut, tetapi lantai masih basah.
Publik yang selama ini menyandingkan pendapatan wakil rakyat—kini sekitar Rp 65,5 juta per bulan—dengan daya beli mereka sendiri, tetap bertanya: “Apakah adil?”
Di sini inti masalahnya bukan hanya angka, melainkan rasa keadilan dan relevansi kinerja.
Solusinya harus berlapis.
Pertama, transparansi kinerja: ukuran keberhasilan bukan sekadar jumlah kehadiran rapat, melainkan RUU prioritas yang benar-benar disahkan, kualitas pengawasan anggaran, dan bukti advokasi isu-isu dapil yang berdampak langsung (harga pangan, layanan kesehatan, peluang kerja).
Kedua, reform kontrak sosial: publik menerima penghasilan besar jika dibarengi standar kerja berbasis target dan sanksi yang jelas ketika target tak tercapai. Ketiga, keterbukaan aset dan konflik kepentingan: pelaporan LHKPN yang diaudit acak, penelusuran benturan kepentingan, serta publikasi rapor kinerja tahunan setiap anggota.
Dengan tiga hal itu, pemangkasan tunjangan menjadi simbol perubahan, bukan sekadar kosmetik fiskal.
Dari sederet tunjangan yang diumumkan seperti tunjangan suami/istri dan anak, beras, tunjangan jabatan, uang sidang dan tunjangan konstitusional, apakah masih ada ruang pemangkasan? Bagaimana dengan tunjangan di DPRD provinsi dan kabupaten/kota?
Jika APBN kita adalah dompet keluarga, maka yang harus diprioritaskan adalah kebutuhan (needs) yang menunjang fungsi representasi dan pengawasan, bukan keinginan (wants) yang bersifat historis atau simbolis.
Tunjangan beras dan beberapa fasilitas natura serupa sudah waktunya ditinjau ulang karena tak lagi sesuai konteks pejabat publik abad ke-21 yang penghasilannya cukup membeli kebutuhan dasar tanpa subsidi khusus.
Uang sidang harus dikaitkan ketat pada kinerja—misalnya berbasis output rapat, kualitas rekomendasi, serta tindak lanjutnya—bukan sekadar kehadiran formal.
Rasionalisasi juga mesti menyentuh DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Di banyak daerah, pola tunjangan meniru pusat sementara kapasitas fiskalnya sempit.
Akibatnya ruang pembangunan publik tergerus belanja aparatur. Prinsipnya sederhana: satu standar etika fiskal, lintas level pemerintahan.
Pemerintah pusat dapat mendorongnya lewat pedoman nasional tunjangan berbasis kinerja, seraya memberikan insentif fiskal bagi daerah yang berhasil menekan proporsi belanja pegawai dan menaikkan porsi belanja layanan publik.
Intinya, masih ada ruang pemangkasan dan penataan ulang, namun harus cerdas: pangkas yang simbolik, pertahankan yang menunjang fungsi, dan tautkan seluruh fasilitas pada hasil kerja terukur.
DPR sudah memutuskan pemangkasan tunjangan. Di satu sisi, sederet program masih menggunakan anggaran jumbo. Efisiensi seperti apa yang perlu dilakukan pemerintah agar kas negara digunakan tepat sasaran?
Pemangkasan tunjangan DPR hanyalah satu keping mosaik.
Keping terbesar ada di hulu: bagaimana pemerintah merancang dan mengeksekusi program publik bernilai tambah tinggi.
Di sinilah disiplin value for money dan spending review tahunan menjadi kunci.
Pertama, peta tumpang tindih. Banyak program sosial bergandengan namun menyasar kelompok yang sama.
Integrasi data penerima manfaat harus menjadi “rel kereta” semua program—dari bantuan pendidikan, pengentasan kemiskinan, sampai pangan bergizi—agar kebijakan tepat sasaran dan kebocoran berkurang. Tanpa rel data, keretanya saling serempet.
Kedua, evaluasi berbasis hasil, bukan penyerapan.
Setiap rupiah harus berujung output (misal: jumlah anak terlayani gizi layak) dan outcome (penurunan stunting, kenaikan literasi, peningkatan kompetensi digital).
Kementerian/lembaga yang melaporkan serapan 98% tapi dampak tak terukur, mesti direstruktur. Kontrak kinerja pimpinan instansi perlu mengunci indikator hasil, dengan bonus-malus yang nyata.
Ketiga, sunset clause untuk program baru.
Setiap program jumbo wajib disertai klausul berakhir otomatis dalam 2–3 tahun, kecuali dievaluasi ulang dan terbukti efektif. Ini mencegah “program abadi” yang menyita ruang fiskal.
Keempat, desain ulang subsidi agar tidak regresif.
Subsidi energi yang dinikmati kelompok mampu adalah paradoks kebijakan. Reformulasi dengan skema terarah—menggunakan kuota/volume, geofencing, atau means-testing—membuat anggaran yang sama memberi manfaat lebih besar bagi rumah tangga rentan, sambil menjaga kredibilitas fiskal.
Kelima, prioritas infrastruktur berbasis kebutuhan dan manfaat ekonomi-lingkungan jangka panjang.
Proyek harus lolos uji manfaat bersih (biaya—manfaat—risiko) dan kesiapan operasi. MBG harus mengikuti pola ini, evaluasi skala kecil tahun 2025 apabila hasilnya positif baru diperbesar. Lebih baik sedikit proyek, tetapi selesai, terawat, dan produktif, ketimbang banyak proyek yang menjadi monumen biaya.
Pada akhirnya, publik akan menilai bukan pada seberapa banyak pos yang dipangkas, tetapi seberapa bermakna perubahan yang dirasakan.
Ketika harga pangan lebih stabil, layanan kesehatan dan pendidikan membaik, serta kesempatan kerja bertambah, kepercayaan akan pulih dengan sendirinya.
Langkah DPR memangkas tunjangan adalah sinyal awal yang baik, namun kesetaraan dan keadilan anggaran hanya lahir dari disiplin kinerja menyeluruh: tunjangan yang rasional, belanja publik yang berpihak pada hasil, dan tata kelola yang transparan.
Analogi sederhananya: kita bukan sekadar merapikan ruang tamu (tunjangan), melainkan menata ulang fondasi rumah (desain kebijakan dan eksekusi anggaran).
Jika fondasi kokoh, rumah fiskal Indonesia akan tahan terhadap badai tekanan ekonomi, dan terutama—lebih nyaman dihuni oleh seluruh rakyat.
END