BUDAYA  

Bandeng Rawa Belong: Saling Silang Budaya Betawi dan Lebaran Imlek

Akar tradisi ikan bandeng Rawa Belong tak lepas dari sejarah terbentuknya etnis Betawi di Jakarta.

Foto ilustrasi Ngopibareng.id

NUSANTARANEWS.co, Jakarta – Gerimis hujan tidak menyurutkan ratusan masyarakat dari berbagai sudut Jakarta meramaikan Festival Bandeng Rawa Belong 2025. Hujan setiap hari di awal tahun memang pertanda Hari Raya Imlek 2576 Kongzili sudah dekat.

ejak seminggu sebelum hajatan itu digelar pada 27-28 Januari 2025, puluhan pedagang ikan bandeng sudah membuka lapak mereka di pertigaan Jalan Rawa Belong dan Jalan Sulaiman. Tepatnya lokasi itu berada di Kelurahan Sukabumi Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Seperti dilansir dari laman beritajakarta, Pj Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi menjelaskan, Festival Bandeng Rawa Belong 2025 merupakan kegiatan yang diselenggarakan dalam rangkaian menyambut lima abad kota Jakarta. Hasil kerja sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Persatuan Masyarakat Jakarta Mohamad Husni Thamrin (Permata MHT) dan Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat.

“Ikan bandeng kerap hadir sebagai lambang doa dan harapan baik dalam berbagai acara adat istiadat,” ujar Teguh Setyabudi, di lokasi acara, Selasa (28/1/2025).

Tradisi nganter bandeng merupakan salah satu tradisi warga Betawi untuk menyambut tahun baru Imlek. Sekaligus juga cermin kebersamaan dan penghormatan terhadap beragam budaya yang syarat makna.

Sebanyak 30 tenda yang diisi sebanyak 60 pedagang terdiri dari 31 pedagang ikan bandeng segar dan 29 pelaku UMKM binaan menjajakan minuman dan makanan olahan juga turut dilibatkan. Ada penjual bir pletok, dodol, lontong sayur, dan penganan khas Betawi lainnya. Pentas gambang kromong, tarian khas Betawi, pencak silat Cingkrik, palang pintu dari Sanggar Si Pitung Rawa Belong hingga atraksi Barongsai semakin menyemarakkan festival.

Mardani, 55, salah seorang pedagang Bandeng Rawa Belong menyatakan, ikan bandeng dagangannya sejak empat hari berjualan menyatakan sudah terjual 1 kuintal. Harga rata-rata ikan yang dijual mulai dari Rp85 ribu, Rp100 ribu hingga Rp300 ribu.

“Saya berharap festival ini diadakan setiap tahun, agar pedagang semakin mendapatkan keuntungan, sekaligus melestarikan tradisi,” jelasnya.

Sementara itu,  Lim Irawati, 91, pembeli ikan bandeng mengaku pada perayaan Imlek selalu  membeli Bandeng di Rawa Belong tersebut.

“Sudah lama langganan disini sudah lama 17 tahun lalu. Biasanya kita masak pindang tiap  Imlek dan dibagi-bagikan juga ke tetangga. Kita juga makan satu keluarga,” ucapnya.

Pedagang ikan Rawa Belong beruntung karena Pj Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi membeli ikan bandeng seberat 13,5 kilogram dari hasil lelang seharga Rp6 juta. Adapun Gubernur terpilih DKI Jakarta Pramono Anung sebelumnya membeli langsung ikan bandung ukuran jumbo langsung dari pedagang yang berjualan di tenda festival. Sebagian besar ikan bandeng didatangkan dari Muara Angke, Jakarta Utara dan dalam keadaan segar karena sudah diuji oleh Dinas Pertanian DKI Jakarta.

Keberagaman Budaya Betawi dan Jejak Si Pitung

Mengutip dari warisanbudaya.kemendikbud.go.id, sajian ikan bandeng untuk Imlek hanya ada di Indonesia dan tidak ada di Tiongkok. Orang Tiongkok di Batavia pada saat itu justru menyerap bandeng dari kultur Betawi sejak abad ke-17. Dalam jamuan makan tatkala Imlek, bandeng disajikan di akhir sebagai lambang dan harapan rezeki berlimpah di masa mendatang. Makin besar ukuran ikan, maka makin besar pula rezeki yang akan diperoleh di masa mendatang.

Dalam bahasa Tionghoa, ikan bandeng atau ikan mas lumpur disebut “Liyú” atau “Lee Yoo” yang terdengar seperti “Li” atau “Lee” yang memiliki arti “hadiah”.

Tradisi Imlek di Betawi terdapat tradisi mengantar atau nganter ikan bandeng dan kue Cina kepada orangtua dan mertua sebagai tanda penghormatan. Tak hanya sebagai hidangan wajib saat Tahun Baru Cina, ikan ini pun memiliki peran dalam tradisi perjodohan di masyarakat Betawi. Jika tidak dilakukan, maka menantu perempuan dicap sebagai orang yang pelit. Sebaliknya, jika mengirimkan ikan bandeng yang berukuran besar, maka menantu itu akan dibanggakan oleh mertuanya. Biasanya ikan bandeng ini dimasak ala pindang, pesmol, pecak, dan digoreng.

Akar tradisi ikan bandeng Rawa Belong tak lepas dari sejarah terbentuknya etnis Betawi. Seperti ditulis jurnalis Windoro Adi dalam buku Batavia 174: Menyisir Jejak Betawi, ada pengaruh dari masyarakat Hoakiau yang sempat tersingkir ke pinggiran Batavia, yakni Tangerang, Depok, dan Bekasi mulai masuk lagi ke tengah ketika VOC bubar tahun 1799.

Kala itu, hubungan dan kekerabatan multietnis semakin erat antara kaum Hoakiau dengan warga Kwitang, Senen, Kemayoran, Tenabang di Jakarta Pusat lalu meluas sampai ke Rawa Belong di Jakarta Barat dan Condet di Jakarta Timur. Hingga akhirnya etnis Tionghoa dan Arab mendominasi dalam membentuk budaya Betawi mulai dari tradisi seni, pakaian pengantin, bahasa, kuliner dan merayakan hari keagamaan. Campuran etnis lainnya antara lain berasal dari Banten, Jawa, Melayu, Flores, Bugis, dan Sunda.

Sebutan “lebaran” sebagai perayaan agama membuat banyak lebaran di Betawi. Di Islam, selain Lebaran Idulfitri dan Iduladha, ada juga Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Bagi komunitas nonmuslim ada istilah Lebaran Serani yang merupakan sebutan untuk perayaan Natal. Istilah Serani berasal dari kata Nasrani. Begitu pun sebutan untuk pindang serani, yang merujuk pada pindangnya orang Nasrani. Makanan ini menjadi ciri khas pada saat Natal di komunitas warga Betawi keturunan Portugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Rawa Belong juga memiliki sejarah lain. Tahukah Anda kalau legenda Betawi Si Pitung berasal dari Rawa Belong? Mengutip Windoro Adi, konon Pitung lahir di Pos Pengumben, Sukabumi Ilir, Rawa Belong, Jakarta Barat, 1864. Ia besar dan tumbuh di Rawa Belong yang kala itu pusat para jagoan “maen pukul” dan para “buaya”. Buaya adalah kumpulan jawara Betawi yang doyan main judi, main perempuan, dadu, dan sabung ayam.

Bersama paman atau encing-nya Ji’i, si Pitung menjadi pembela bagi masyarakat miskin Betawi yang tertindas oleh ulah kejam tuan tanah dan kompeni. Pitung terkenal jago silat dan mampu mengalahkan lawan-lawannya yang lebih besar. Ada beberapa versi soal sosok Pitung ini. Ada yang menyatakan pitung berasal dari bahas Jawa Cirebon-Banten, pitung atau pitungan adalah tujuh kelompok pembela orang miskin. Pemimpin tujuh kelompok ini adalah Salihun – nama lain Pitung – yang mati ditembak Belanda dan dikubur di Kampung Baru, Kebon Jeruk. Kini makam Pitung terdapat di depan kantor Kantor Telkom, Palmerah, tertutup pohon bambu dan kamboja. Pada bagian atas makam terdapat sebuah nisan bertuliskan ‘Pitoeng, Namamu Tetap Dikenang Pejoeang Betawi’.

Tak pelak, pada 2022, Pemprov DKI Jakarta menamakan jalan raya Kebayoran Lama hingga Palmerah dengan nama Bang Pitung.

Penulis: Kristantyo Wisnubroto

Sumber: Indonesia.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *