Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyebutkan, sejak 2017 ada sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah.
NUSANTARANEWS.co, Jakarta – Bahasa merupakan hasil olah budaya sebagai bentuk komunikasi antarmanusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbiter digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa turut mencerminkan budaya suatu bangsa karena dapat menghasilkan percakapan, perilaku, dan adab yang baik serta sopan.
Bangsa Indonesia mengenal adanya bahasa ibu dan bahasa daerah kendati keduanya seringkali disalahartikan. Bahasa ibu adalah percakapan pertama yang dipelajari oleh seorang anak di keluarga terdekatnya dan kemudian dipakai pada kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat perkotaan, penggunaan bahasa Indonesia jauh lebih umum dibandingkan bahasa daerah setempat. Apalagi, menurut catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), terdapat sekitar 718 bahasa daerah.
Menurut Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Katubi, ada perbedaan di antara kedua istilah, bahasa ibu dan bahasa daerah. Bahasa ibu diperoleh pertama kali oleh anak-anak tanpa melalui proses pembelajaran di sekolah. Sedangkan bahasa daerah dituturkan oleh masyarakat di suatu wilayah dalam sebuah negara.
“Dalam konteks keindonesiaan, pada umumnya bahasa ibu bagi anak-anak Indonesia adalah bahasa daerah. Bisa jadi bagi anak-anak di perkotaan, bahasa ibu mereka adalah bahasa Indonesia,” ujarnya dalam sebuah lokakarya bahasa di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sekarang ini, jumlah penutur bahasa daerah sedikit demi sedikit mulai terkikis jumlahnya di wilayah tertentu. Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyebutkan, sejak 2017 ada sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah. Misalnya empat bahasa daerah di Pulau Papua meliputi bahasa Tandia di Teluk Wondama dan bahasa Air Matoa di Kaimana, keduanya di Provinsi Papua Barat.
Kemudian, bahasa Mapia di Kabupaten Supiori dan bahasa Mawes di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Menurut munsyi dari Balai Bahasa Papua, Antonius Maturbongs, sejak 2010, ia hanhya menemukan seorang saja berusia sepuh yang masih menuturkan bahasa Air Matoa.
“Karena tinggal seorang saja, maka diperkirakan bahasa itu juga sudah punah,” tuturnya seperti dikutip dari Antara.
Sedangkan di Maluku dan Maluku Utara ada tujuh bahasa daerah yang punah, di antaranya bahasa Kajeli, Piru, Moksela, Hukumina, Hoti, Nila, dan Serua. Ini sejalan dengan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai menurunnya minat generasi muda menggunakan bahasa daerah dalam kesehariannya. Penyebab utamanya adalah karena penutur asli tidak lagi mewariskan bahasa daerah kepada generasi berikutnya. Hal itu disebabkan oleh terjadinya perkawinan antarsuku atau antarbangsa.
Dalam survei yang diadakan pada 2023 itu disebutkan bahwa proporsi penduduk kelahiran tahun 2013 ke atas atau dikenal dengan kelompok Post Gen Z yang menggunakan bahasa daerah ke tetangga atau kerabat tinggal 61,70 persen. Kemudian, hanya 69,9 persen penduduk dari generasi Z, atau lahir pada rentang 1997-2012, yang menjadi penutur bahasa daerah.
Di kalangan generasi milenial ada sekitar 72,26 persen menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi dengan tetangga atau kerabat. Sebanyak 75,24 persen penduduk Generasi X juga memakai bahasa daerah ketika berbincang dengan tetangga atau kerabat.
Sebanyak 80,32 persen generasi Baby Boomer masih menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan tetangga atau kerabat. Adapun, proporsi generasi Pre-boomer yang menuturkan bahasa daerah mencapai 85,24 persen. Dari proporsi tersebut terlihat kecenderungan semakin berkurangnya penutur bahasa daerah dari generasi ke generasi.
Padahal, bahasa daerah bagi sebagian masyarakat diartikan sebagai bahasa ibu yang memuat filosofi, kearifan, dan pandangan hidup. Orang Melayu Riau misalnya sangat akrab dengan pantun berisi nasihat atau pesan moral. Begitu pula dalam tradisi Jawa, ada parikan atau pantun menghibur terdiri dari dua larik berisi nasihat.
Pemerintah pun berupaya memasyarakatkan kembali bahasa daerah sebagai bahasa ibu di sejumlah wilayah. Dalam dunia pendidikan, bahasa daerah masih diperbolehkan untuk dipelajari sebagai muatan lokal (mulok) kurikulum di skeolah berdampingan dengan mata pelajaran bahasa Indonesia. Kemendikbudristek pun mengupayakan revitalisasi bahasa daerah ke dalam program Merdeka Belajar.
Seperti dikutip dari website Kemendikbudristek, revitalisasi dilakukan agar para penutur muda menjadi penutur aktif bahasa daerah dan mempelajarinya dengan suka cita melalui media apa pun. Upaya itu juga tentu saja untuk menjaga kelestarian bahasa dan sastra daerah serta menciptakan ruang kreativitas dan kebebasan bagi para penutur bahasa daerah untuk mempertahankan budayanya.
Pada 2023, revitalisasi dilakukan terhadap 59 bahasa daerah di 22 provinsi. Ini sebagai kelanjutan dari tahun sebelumnya di mana telah dilakukan hal serupa bagi 39 bahasa daerah di 13 provinsi. Revitalisasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk sikap bahasa para penuturnya dan dampak globalisasi. Kegiatannya berupa pembelajaran dan pendampingan secara berkelanjutan.
Oleh sebab itu, upaya melestarikan bahasa ibu dan bahasa daerah menjadi tanggung jawab seluruh pihak, bukan hanya pemerintah. Masyarakat dan keluarga sebagai kunci utama. Ini dilakukan agar terus hidup dan berkembang serta menjadi warisan budaya berharga untuk generasi penerus.
Sumber: Indonesia.go.id
Penulis: Anton Setiawan