NUSANTARA-NEWS.co, Denpasar – Peraturan Menteri (Permen) Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 17 Tahun 2021 yang dikeluarkan KKP tanggal 24 Mei 2021 dinilai banyak pihak masih mempersulit para nelayan tangkap dan pembudidaya lobster.
Menjadi persoalan dalam Pasal 6 (Enam) Permen baru ini menyebut, lalu lintas benih lobster dari lokasi budidaya dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan di atas atau sama dengan berat 5 (Lima) gram. Ketentuan tersebut dianggap sangat mempersulit nelayan penangkap benih bening lobster (BBL) dan pembudidaya pembesaran lobster.
“Sebagai nelayan tangkap dengan adanya aturan ini malah memberatkan. Wilayah kami ini tidak ada pembudidaya karena ombak yang besar. Kemana kami harus jual hasil tangkap kami ? Sementara pembudidaya sebagai pembeli hanya terima ukuran 5 (lima) gram. Ini masa pandemi (COVID-19) untuk mencari makan saja susah. Harusnya pemerintah itu membuat aturan yang mempermudah kami, bukan justru mempersulit,” terang Heri Dwi Prasetyo, selaku Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Watangan 1 (Satu) di Puger Kulon Jember Jawa Timur ketika menghubungi wartawan Biro Bali melalui telpon, Minggu (04/07/2021)
Heri Prasetyo menjelaskan, jika aturan diikuti mereka harus membesarkan BBL selama 2 (dua) bulan setelah ditangkap untuk mencapai ukuran 5 (lima) gram. Pasalnya ukuran jenis BBL yang baru ditangkap berkisaran di bawah 1 (satu) gram. Tentunya, pihaknya untuk melakukan proses pembesaran membutuhkan modal besar. Belum lagi sebagai nelayan tidak mengerti teknik pendederan. Ia pun mempertanyakan, ketika ada kematian siapa akan menanggung.
Selaku Ketua Kelompok Nelayan penangkap BBL, Heri Prasetyo mengaku sangat mendukung program pemerintah ingin mengembangkan budidaya lobster dalam pemulihan ekonomi nasional. Benih lobster ditangkapnya bisa terserap pembudidaya dalam negeri. Terutama ia sebut kepada pembudidaya lobster di Bali yang dikabarkan sedang berkembang.
“Kami nelayan kok disusahkan terus. Eksport benur ditutup dan kami tidak mendapat penghasilan. Sekarang kami senang ada pengusaha di Bali yang mau membeli benih lobster dari kami dalam jumlah besar. Tapi karena aturan Permen baru, para pengusaha di Bali hanya mau membeli ukuran 5 (lima) gram. Dan ini jelas kami tidak dapat menyanggupi,” ungkapnya.
Sambungnya dalam percakapan, pihaknya juga meragukan upaya pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai pengekspor lobster terbesar di dunia. “Katanya mau mendorong budidaya dalam negeri. Saya dengar sampai saat ini saja banyak ijin budidaya di daerah-daerah sulit dikeluarkan,” singgungnya.
Sementara dihubungi terpisah Sekjen Asosiasi Perhimpunan Pembudidaya Perikanan Pantai Buleleng Bali (P4B) yang akrab disapa Pak Oye menyayangkan, Permen KKP nomor 17 sebagai pengganti dari Permen KKP Nomor 12 ditunggu selama 7 (Tujuh) bulan malah ketentuannya menyulitkan nelayan penangkap BBL dan pembudidaya lobster. Pihaknya berharap, hal tersebut dapat ditinjau kembali guna percepatan budidaya lobster di dalam negeri.
“Harus menunggu 2 (dua) bulan untuk mendapatkan bibit lobster yang berukuran 5 (lima) gram. Wilayah kami ini kan bukan wilayah sumber benih. Kami tidak bisa membeli benih bening lobster secara langsung oleh karena aturan baru. Biaya pembelian bibit ke depannya akan semakin mahal. Tentunya hal ini akan mengurangi gairah rekan-rekan yang bersemangat untuk mengalihkan budidaya ikan kerapu ke lobster. Semoga Pemerintah bisa meninjau kembali aturan 5 (lima) gram ini,” harap Pak Oye.
Keadaan senada penuh kecewa disampaikan Wayan Suarsana, rekan Pak Oye yang baru juga berusaha melakukan budidaya lobster di tengah pandemi COVID-19 di Sumberkima Buleleng Bali.
“Harusnya dikaji dulu sebelum membuat aturan ini, kami yang tidak berada di wilayah sumber benih merasa dirugikan. Daerah sumber benih itu kebanyakan di laut selatan. Bagaimana mungkin bisa budidaya di daerah yang ombaknya besar. Bisa hancur keramba saya,”
“Ini ke depannya harus beli benih lebih mahal dan harus menunggu lama. Jika begitu pembudidaya lobster kan tidak bergairah dan lari. Masak saya harus membuat keramba lagi di Banyuwangi atau di Lombok hanya untuk pembesaran 5 (lima) gram. Berapa modal lagi yang kami keluarkan,” beber Wayan Suarsana.
(sr/red)