Oleh : Eka Hendry Ar, Dosen IAIN Pontianak
Akhir-akhir ini ajakan untuk rekonsiliasi nasional kencang disuarakan, meski menjadi sayup diantara hiruk pikuk silih berganti berita. Ajakan ini terkait dengan fenomena silang sengkarut di antara anak-anak bangsa, yang terpolarisasi kepada blok kepentingan yang saling bertubrukan. Polarisasi ini semakin hari semakin membatu (cementing), baik atas kepentingan politik, ekonomi, sosial dan ideologis. Bahkan yang lebih mengerikan konflik (dalam artian incompatible) tersebut dibumbui isu-isu primodial seperti agama dan kesukuan.
Jika bangsa ini terus menerus bergerak dalam labirin kekacauan ini, dikhawatirkan kita tidak akan berlayar menuju pulau harapan, akan tetapi sebaliknya, bakal menuju palung perpecahan (disintegration). Penulis adalah diantara sekian banyak warga bangsa yang turut prihatin dengan apa yang kini terjadi. Hingga dari lubuk hati yang paling dalam muncul asa, sudah saatnya kita mempertemukan berbagai silang kepentingan ini.
Mengapa rekonsiliasi, barangkali karena cara ini yang paling minim menimbulkan problem baru pasca penyelesaian masalah. Memang ada beberapa catatan terhadap mekanisme rekonsiliasi, seperti tidak ada rekonsiliasi terhadap pelaku tindakan makar, separatis atau terorisme. Tapi kalau sebatas konflik politik, misalnya antara pemerintah dengan oposisi, terbuka lebar ruang dan kesempatannya.
Kiranya, hambatan (obstacle) apa yang bakal menjadi batu sandungan langkah tersebut. Kalau persoalan inisiatif, penulis kira kedua belah pihak (pemerintah dan oposisi) harus sama-sama punya inisiatif. Kendala itu bisa datang dari pihak pemerintah maupun oposisi, terutama jika kedua belah pihak bersikukuh dengan keyakinannya. Pemerintah bersikukuh pada posisi bahwa negara tidak boleh kalah dengan kelompok atau organisasi kemasyarakatan yang dinilai memposisikan diri “di atas negara”. Sementara oposisi boleh jadi berpandangan pemerintah terlalu arogan untuk diajak berdialog atau sudah menyimpang dari cita-cita berbangsa.
Para analis politik tentu tidak akan percaya begitu saja dengan narasi yang diucapkan kedua belah pihak, karena dalam politik ada narasi yang lebih fundamental dan tidak secara eksplisit dinyatakan ke publik. Namun apapun itu, jikalau komitmen kita untuk memperbaiki bangsa ini, memang sebaiknya kita tidak berkutat (apalagi memperlebar) polemik tersebut.
Karena sama saja kita membuat “tembok pembatas” semakin tinggi dan panjang. Perdamaian tidak akan pernah terwujud, jika tembok yang dibangun. Akan tetapi “jembatan”-lah yang semestinya kita bangun. Jembatan dialog, jembatan saling memahami, jembatan saling membutuhkan, jembatan tenggang rasa/empati (compassion, istilah Karen Armstrong) dan jembatan imaji tentang Indonesia yang lebih baik.
Bangsa kita sebenarnya bukan baru sehari dua menghadapi pergolakan (upheaval). Bangsa ini sudah kenyang dengan konflik dan pergolakan. Mulai dari pergolakan revolusi kemerdekaan, pergolakan politik, berbagai pemberontakan seperti pengkhianatan PKI, DI/TII, separatisme, sampai lepasnya Timor-Timor dari pangkuan ibu pertiwi. Kita sudah berganti beberapa rezim, mulai dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi.
Alhamdulillah, kita berhasil melewati semua masa-masa sulit tersebut dengan selamat. Maka tidak berlebihan penilaian Jared Diamond dalam bukunya Upheaval: How Nations Cope with Crisis and Change (2019) bahwa, Indonesia termasuk yang “berhasil” melewati pergolakan politik, terutama dalam menumpas Pengkhianatan PKI.
Optimisme ini yang perlu dihidup kembangkan, agar krisis politik ini bisa berakhir indah. Apa yang perlu kita lakukan dalam rangka merajut asa jembatan rekonsiliasi antara anak bangsa. Berikut beberapa catatan penulis terkait dengan kehendak tersebut:
Pertama, perlu kembali menghadirkan ingatan dan kesadaran tentang tujuan kita berbangsa, yaitu menjadi bangsa yang kuat berdaulat, rakyatnya adil dan makmur, dan dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Ini adalah cita-cita luhur (prophetic) yang mulia dan patut menjadi “mahkota” di dalam pikiran dan sanubari setiap anak bangsa. Untuk itu, bangsa ini membutuhkan peran serta semua pihak, kiprah semua anak bangsa, jika bangsa ini ingin mewujudkan cita-cita prophetis tersebut.
Kedua, kita juga perlu membuka kembali ingatan dan kesadaran tentang kultur bernegara bangsa ini, yaitu kultur dialektika inteligensia. Bangsa ini dibina dengan gagasan, pikiran, nilai-nilai keilahian dan dialog-dialog terbuka dan bernas. Bukan intimidasi dan kepentingan yang dipaksakan. Bangsa ini harus membuka kran-kran komunikasi, melalui dialog peradaban yang syarat dengan muatan gagasan konstruktif demi kepentingan bangsa dan negara.
Ketiga, Perlu ada keluasan hati dan kelapangan jiwa untuk bergerak dari posisi (position) pendirian diri yang cenderung bertahan kepada kepentingan bersama (collective interest) kita sebagai bangsa. Kalau kita sudah berkomitmen untuk maksud ini, berarti kita harus mau untuk melepaskan segala ego, perasaan diri paling benar, dan anggapan kita paling nasionalis. Tentu tidak mudah, butuh energi yang besar untuk dapat melakukan ini semua.
Keempat, hendaknya dalam menyelesaikan setiap masalah jangan selalu mengandalkan pendekatan hukum. Karena kita punya banyak modal sosial dan budaya sebagai penyelesaian perselisihan alternatif (alternative dispute resolution) seperti musyawarah dan mufakat maupun gotong royong. Ruhnya adalah berjiwa besar untuk berdialog secara lebih elegan dan humanis. Dengan demikian tidak semakin memperlebar jarak di antara kita, dan membuat semua pihak menjadi “pemenang”.
Kelima, kita harus bersedia secara pikiran terbuka (open minded) untuk bersama-sama memecahkan segala persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini. Konsekuensi dari komitmen ini adalah termasuk kita harus siap menerima kritik jika apa yang telah kita lakukan adalah keliru. Penulis yakin ini tidak mudah, tapi bagian ini sejatinya adalah syarat conditio sin quanon jika kita ingin membangun bangsa ini menjadi bangsa yang lebih kuat dan bermartabat.
Kunci sukses atas agenda di atas adalah kemauan kita semua untuk “membuka diri”, untuk bersama-sama membuka gembok “saling kunci” (grid lock istilah Nurchalis Madjid) untuk kepentingan yang lebih besar demi bangsa dan negara. Ingat, kita bangsa besar, panjang perjalanan kita dalam mengarungi gelombang. Penyakit bangsa ini banyak, tetapi penulis yakin “penawarnya” juga pasti jauh lebih banyak. Semoga Tuhan YME melindungi bangsa ini dari segala perpecahan.
(red)
Artikel ini sudah tayang di www.strateginews.co dengan judul ‘Rekonsiliasi Jembatan Asa’ dengan penulis yang sama