Oleh: Syahril Syam *)
Rumination adalah pola berpikir pasif dan berulang mengenai perasaan negatif, penyebab, dan konsekuensinya, tanpa upaya pemecahan masalah (Nolen-Hoeksema, 2008). Rumination atau kecenderungan untuk “memutar ulang” pikiran adalah sebuah pola pikir yang punya ciri khas tertentu.
Pertama, sifatnya berulang, artinya isi pikiran yang sama muncul lagi dan lagi, seolah otak menekan tombol “replay” tanpa henti. Kedua, isinya biasanya negatif, lebih banyak berfokus pada hal-hal yang menyedihkan, penyesalan, kegagalan, atau kekhawatiran, bukan pada hal yang membangun. Ketiga, rumination cenderung pasif, karena tidak membawa seseorang menuju pemecahan masalah, hanya berhenti pada proses memikirkan masalah itu sendiri.
Akibatnya, rumination menguras energi mental dan emosional. Orang yang terjebak dalam pola ini lebih mudah merasa stres berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, bahkan berisiko mengalami kecemasan atau depresi. Dengan kata lain, rumination membuat seseorang sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa jalan keluar yang nyata, sehingga melemahkan kesejahteraan psikologisnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang jarang menyebut istilah rumination karena terdengar terlalu ilmiah. Padanan yang lebih akrab di telinga adalah istilah “overthinking”. Istilah ini sangat populer dan biasanya digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang terlalu lama memikirkan suatu hal, memutarnya berulang-ulang, tetapi tidak menemukan jalan keluar.
Penelitian yang dilakukan oleh Philippot dan Brutoux (2008) mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi ketika seseorang larut dalam rumination. Dalam eksperimen ini, para peserta diminta untuk memikirkan masalah pribadi mereka dengan dua cara yang berbeda: secara abstrak (misalnya “mengapa hal ini terjadi pada saya?”) dan secara konkret (misalnya “apa langkah kecil yang bisa saya lakukan sekarang?”). Setelah itu, peneliti menilai bagaimana suasana hati dan kemampuan kognitif mereka, terutama memori kerja dan fokus.
Hasilnya menunjukkan bahwa ketika peserta diarahkan untuk melakukan rumination, suasana hati mereka memburuk – mereka merasa lebih negatif dan tertekan. Tidak hanya itu, rumination juga terbukti menurunkan kemampuan memori kerja, yaitu kapasitas otak untuk menyimpan dan memproses informasi penting saat mengerjakan suatu tugas.
Temuan ini memperlihatkan bahwa rumination bukan hanya sekadar gejala pasif yang menyertai stres atau depresi, melainkan bisa menjadi penyebab aktif yang memperburuk perasaan dan melemahkan fungsi kognitif seseorang. Dengan kata lain, kebiasaan berlarut-larut dalam pikiran yang berulang justru secara langsung merugikan baik emosi maupun daya pikir kita.
Selain itu, Brosschot, Pieper, dan Thayer (2005) mengajukan teori yang disebut perseverative cognition untuk menjelaskan mengapa stres bisa bertahan lama bahkan setelah sumber masalahnya hilang. Menurut mereka, stres tidak hanya muncul ketika kita berhadapan langsung dengan ancaman nyata, tetapi juga ketika kita terus memikirkannya lewat rumination, worry (kekhawatiran berlebihan), atau intrusive thoughts (pikiran yang tiba-tiba masuk tanpa diundang).
Pikiran berulang ini membuat tubuh tetap berada dalam kondisi “siaga”, yang ditandai dengan peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan pelepasan hormon stres. Akibatnya, meskipun ancaman sudah lewat, tubuh masih merespons seakan-akan bahaya itu masih ada. Inilah yang menjelaskan mengapa stres bisa berubah menjadi kronis dan dalam jangka panjang merusak kesehatan fisik, berupa meningkatkan risiko penyakit jantung atau melemahkan sistem kekebalan tubuh. Dengan kata lain, rumination bukan hanya persoalan psikologis yang membuat hati dan pikiran lelah, tetapi juga dapat menjadi faktor risiko medis yang serius.
Ada juga penelitian yang dirangkum oleh Nolen-Hoeksema, Wisco, dan Lyubomirsky (2008) yang memberikan gambaran menyeluruh tentang rumination berdasarkan hampir dua dekade riset. Artikel mereka tidak hanya membahas bagaimana rumination didefinisikan, tetapi juga mekanisme kerjanya dan dampaknya terhadap kesehatan mental, khususnya depresi dan gangguan emosional lainnya.
Para peneliti menekankan bahwa rumination adalah pola berpikir pasif dan berulang yang berfokus pada emosi negatif, penyebabnya, serta konsekuensinya, tanpa diiringi upaya nyata untuk mencari solusi. Mereka juga mengulas bagaimana perbedaan individu – misalnya faktor gender atau kepribadian – dapat memengaruhi kecenderungan seseorang untuk terjebak dalam rumination, serta kaitannya dengan stres, kecemasan, dan pengalaman trauma.
Hasil kajian menunjukkan bahwa rumination tidak hanya memperpanjang, tetapi juga memperdalam depresi, membuat orang semakin sulit keluar dari lingkaran negatifnya. Selain itu, rumination menghambat kemampuan memecahkan masalah, menurunkan motivasi, dan mengurangi perilaku adaptif yang seharusnya membantu seseorang pulih.
Dengan kata lain, rumination adalah faktor penting yang dapat memperburuk kondisi emosional sekaligus melemahkan kemampuan seseorang menghadapi tantangan hidup. Rumination juga erat kaitannya dengan dua masalah penting dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tidur dan energi mental.
Pada gangguan tidur, rumination membuat otak seolah-olah tidak pernah benar-benar beristirahat. Pikiran yang terus berputar dan aktif, terutama menjelang tidur, membuat seseorang sulit untuk tertidur nyenyak atau sering terbangun di malam hari.
Selain itu, rumination juga menguras energi mental. Saat seseorang terus-menerus memikirkan hal yang sama, otak bekerja seperti sedang “sibuk menyelesaikan masalah.” Namun, karena tidak ada langkah nyata menuju solusi, semua itu hanya menghasilkan kelelahan kognitif.
Dengan kata lain, rumination adalah jebakan halus yang tidak boleh dianggap sepele. Karena rumination terbukti merugikan kesehatan mental, fisik, dan bahkan relasi sosial, maka penting adanya re-thinking dalam dunia intervensi psikologis. Artinya, pendekatan terapi maupun latihan pribadi sebaiknya diarahkan untuk mengurangi gaya berpikir ruminatif.
Menariknya, pola pikir yang semula menjadi pintu masuk bagi stres, bila dilatih dengan tepat, justru bisa diubah menjadi pintu keluar menuju kesadaran yang lebih tenang dan bermakna. Salah satu strategi sederhana yang bisa dipraktikkan adalah mengubah rumination menjadi dzikir melalui tiga langkah.
Langkah pertama adalah Sadari (Awareness). Dari sisi psikologi, begitu kita sadar bahwa pikiran mulai berputar-putar – misalnya muncul kalimat dalam hati seperti “Kenapa aku gagal? Kalau saja aku…” – maka segera beri label: “Ini rumination.” Dari sisi spiritual, kesadaran ini juga berarti menyadari bahwa hati sedang lalai dan perlu kembali kepada Allah SWT. Latihan praktisnya bisa dimulai dengan menarik napas dalam, lalu berkata dalam hati: “Aku sedang berpikir berulang. Ya Allah, bimbing aku kembali.”
Langkah kedua adalah Alihkan (Redirection). Secara psikologis, ini berarti menggeser fokus ke hal yang lebih netral atau positif, misalnya dengan berjalan sebentar, menulis singkat, atau sekadar minum air.
Dari perspektif spiritual, pengalihan ini bisa berupa mengganti isi pikiran dengan dzikir singkat seperti “Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar” atau mengingat ayat yang menenangkan hati, misalnya QS. Ar-Ra’d [13]:28. Latihannya sederhana: setiap kali pikiran kembali ke pola lama, ucapkan dzikir sambil menyadari makna dzikir. Dengan begitu, lingkaran pikiran negatif dapat terputus.
Langkah ketiga adalah Tanamkan Makna (Reframing). Dalam psikologi, ini berarti melihat kembali masalah dari sudut pandang baru, bukan sekadar sebagai beban, melainkan peluang untuk belajar. Dalam dimensi spiritual, hal ini sejalan dengan keyakinan bahwa setiap peristiwa terjadi sesuai qadar Allah, dan tugas kita adalah mengambil hikmah dari situ. Latihan konkretnya bisa dilakukan dengan menulis satu kalimat syukur dari pengalaman yang mengganggu, misalnya: “Alhamdulillah, ujian ini mendidikku lebih sabar.”
Dengan menjalani tiga langkah ini, rumination tidak lagi menjadi jeratan pikiran yang melemahkan, tetapi dapat berubah menjadi latihan batin yang menenangkan, mendidik jiwa, sekaligus memperkuat hubungan dengan Sang Maha Sempurna.
@pakarpemberdayaandiri