Catatan : Prof. Elfindri, Unand
Rejeki itu tidak datang begitu saja, namun dia perlu ada ikhtiar yang sungguh-sungguh bagi yang menginginkannya.
Jalan yang ditempuh bisa berbeda. Ketika di negara maju pasar kerja lebih formal, maka pekerjaan formal upahan banyak tersedia. Statistik ILO memperlihatkan di negara maju, dari 10 lapangan kerja terbuka, 7 di antaranya adalah lapangan kerja upahan, atau lazimnya lapangan kerja formal. Sisanya merupakan pekerjaan informal.
Sebaliknya Indonesia tidak demikian, masuk kerja formal sangatlah sulit, karena lapangan kerja upahan memang sangat tergantung kepada investasi dan derived demand. Jadi konteks bagi anak muda yang menganggur saat ini, tinggal pilih cari pekerjaan atau buka pekerjaan sendiri?
Lyn Square mengungkap bahwa lapangan kerja formal jauh lebih aman “secure” bagi pencari kerja bilamana dia dapatkan, namun tidak mudah. Sebaliknya lapangan kerja informal lebih mandiri, tidak menjamin aman, karena tidak ada kepastian penghasilan yang diperoleh.
Siap Bersaing
Di luar negeri anak muda yang berpendidikan tinggi lazim saja memasukkan lamaran 50 kali atau lebih, baru ada yang memanggil untuk wawancara pekerjaan. Bahkan tahun ini saja, tamatan terbaik Universitas Harvard tidak serta-merta mudah bekerja di Amerika Serikat. Di Indonesia juga demikian, alumni penerima beasiswa LPDP yang baru saja menyelesaikan pendidikannya juga belum pasti mudah untuk masuk kerja. Di USA anak-anak yang hadapi masalah lapangan kerja kendatipun pintar dijuluki sarjana berekor busuk.
Kenapa? Karena ada sebagian pekerjaan dilakukan oleh seseorang lebih dari satu (double jobs), yang membuat lapangan kerja semakin tidak mudah dimasuki. Di kota-kota besar, pekerjaan “double” sudah mulai terjadi.
Selain dari itu pola kerja remote jobs juga berkembang sebagai akibat kemajuan teknologi. Perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat akan merekrut tenaga kerja dari India, kendatipun yang bersangkutan tidak perlu masuk secara fisik bekerja di kota-kota utama di Amerika Serikat. Pekerja IT dari India, selain bayarannya lebih rendah, emosionalnya relatif lebih baik. Seorang mahasiswa di Turkiye bisa bekerja pada perusahaan yang bergerak di bidang filantropi sosial, kendatipun kantor pengendalinya di Michigan, Amerika Serikat.
Di Italia, pengangguran anak muda bisa terjadi karena tenaga kerja usia tua yang lebih berpengalaman menunda untuk pensiun alias mengakhiri pekerjaannya. Saat lemahnya permintaan tenaga kerja, perusahaan masih mempertahankan tenaga kerja yang tua dan berpengalaman.
Sekarang juga banyak pekerjaan pria sudah diminati oleh wanita, seperti sopir bus, Go-Ride, begitu sebaliknya. Jumlah pekerja “pink jobs” sepertinya tidak lazim, namun dia muncul dan menjanjikan karena ada tren. Misalnya pria memasuki jenis pekerjaan tukang rias wanita, pria sebagai sekretaris kantor.
Bagi pemakai tenaga kerja, mereka akan menyeleksi pekerja yang berpengalaman dan/atau terampil, dan akan menyingkirkan mereka yang belum berpengalaman dan/atau tidak terampil.
Multi-Talent
Pemerintah masih berupaya memberikan kesempatan pada mereka yang baru saja tamat pendidikan tinggi untuk memperoleh magang kerja lewat program magang kerja. Masalahnya tentu tidak sesederhana apa yang terjadi pada dunia bisnis dan sosial. Jika ada investasi pabrikan, jelas diperlukan mereka yang terampil dalam berbagai bidang.
Praktek dan Pembiasaan
Kendatipun pencari kerja sudah berpendidikan, namun sangat perlu penguasaan lebih dan tidak asal selesai jenjang pendidikan apa pun bidangnya. Pendidikan formal baru sebagai bagian dari syarat pemenuhan kognitif. Jika dia bermutu akan tercermin dari keingintahuan yang tinggi, self-learning, dan kecepatan mengambil keputusan. Bilamana pendidikan tidak bermutu, asal tamat, maka mudah diketahui dalam proses rekrutmen.
Sementara itu, karakter seperti kesungguhan, kerja keras, leadership, serta keterampilan tidak bisa pembentukannya dalam waktu cepat, memerlukan waktu yang cukup lama, pembiasaan, dan dilalui oleh individu.
Kematangan seseorang tidaklah ditempa dalam waktu singkat, namun dia dilatih, dibiasakan, dan berulang-ulang terjadi semenjak kecil.
Sebuah studi yang sering mendapatkan rujukan adalah anak-anak yang terbiasa membantu orang tuanya untuk pekerjaan rumah lebih cenderung berhasil di kemudian hari. Anak-anak yang manja kendatipun bisa memperoleh pendidikan yang bagus akan kelihatan tidak tahan dengan cobaan dan tekanan, yang dinyatakan sebagai strawberry generation.
Masalah kemudian adalah ketika institusi pendidikan yang diikuti mampu menyiapkan anak muda dengan standar keras dan tinggi, maka akan beruntung, apalagi dibekali dengan guru atau instruktur yang tepat. Sebaliknya, jika dalam proses di dunia pendidikan tidak mengaitkan keperluan bekerja dengan orang lain atau bekerja sendiri, maka tantangan terbesar ada pada sisi pembentukan karakter.
Misalnya bagaimana kita bisa mengharap semakin banyak anak muda yang masuk pada jenis pekerjaan berwirausaha, semasa menempuh pendidikan sekolah dasar misalnya tak pernah diperkenalkan oleh gurunya atau orang tuanya menjadi wirausaha.
Kalaupun mereka mendapatkannya di jenjang pendidikan tinggi, itu lebih banyak mengajarkan ilmu kewirausahaan, namun bukan entrepreneurial, yang membangun jiwa, semangat, dan daya juang yang tinggi.
Jadi, jika pemerintah daerah menghadapi masalah tekanan tenaga kerjanya, maka program mesti diarahkan pada penyiapan transisi tenaga kerja. (*)
Sumber: parlementaria.com











