OPINI  

Rapat yang Kehilangan Makna: Ketidakhadiran Menkeu Purbaya dan Bayang-bayang Ketidakpastian Fiskal 2026

Ekonom Achmad Nur Hidayat

Oleh Achmad Nur Hidayat – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta

Presiden Prabowo Subianto menggelar rapat terbatas di ruang VIP Bandara Halim Perdanakusuma membahas keuangan negara dan penyerapan anggaran.

Namun, sosok penting yang mestinya memegang “kompas fiskal” negara — Menteri Keuangan Purbaya Yudha Sadewa — justru tidak hadir.

Rapat yang seharusnya menjadi forum strategis untuk menakar arah fiskal menjelang tutup tahun 2025 kehilangan makna substansial.

Sebab bagaimana mungkin membahas APBN tanpa kehadiran bendahara negara?

Publik pun bertanya: apakah ini sekadar persoalan jadwal, atau tanda ketidaksepahaman arah kebijakan fiskal di tubuh kabinet baru?

Ketertutupan dan Sinyal yang Membingungkan

Dalam pernyataan resminya, Sekretaris Kabinet hanya menyebut rapat membahas “pengelolaan keuangan negara dan penyerapan anggaran.”

Frasa ini terlalu umum untuk situasi yang kompleks.

Terlebih, rapat tersebut juga dihadiri PPATK — lembaga yang biasanya hanya muncul dalam konteks audit atau pengawasan transaksi keuangan mencurigakan.

Kehadiran PPATK membuat publik menduga rapat tidak hanya membahas daya serap, tetapi juga potensi masalah tata kelola anggaran dan arus dana publik menjelang akhir tahun.

Namun tidak ada penjelasan resmi. Ketertutupan semacam ini justru menimbulkan ketidakpastian baru.

Padahal, keterbukaan informasi fiskal adalah prasyarat kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Kapal Tanpa Kompas di Tengah Laut Fiskal

Ekonomi negara ibarat kapal besar yang tengah berlayar di laut global. Presiden adalah nakhoda, Menteri Keuangan adalah kompas.

Ketika kompas tidak hadir dalam rapat menentukan arah, risiko kapal salah haluan makin besar.

Dalam ekonomi makro, koordinasi fiskal yang buruk bisa menimbulkan efek domino: pasar kehilangan arah, investor menahan keputusan, daerah menunggu sinyal pusat, dan akhirnya roda ekonomi melambat.

Rapat tanpa Menkeu memberi kesan bahwa mesin fiskal negara sedang berjalan tanpa panduan teknokratis yang kuat.

Fokus yang Salah: Daya Serap vs Ketahanan APBN

Secara resmi, rapat Halim membahas daya serap TKD (Transfer ke Daerah) menjelang akhir tahun.

Namun, persoalan utama fiskal Indonesia bukan pada seberapa besar dana terserap, melainkan apakah belanja itu efektif dan berkelanjutan.

Data menunjukkan sebagian besar daerah mampu menyerap lebih dari 90 persen TKD menjelang Desember. Isu sesungguhnya adalah kualitas belanja dan kepastian transfer tahun berikutnya.

Pemerintah justru berencana mengurangi TKD pada 2026 untuk menahan defisit dan membiayai program prioritas seperti makan bergizi gratis dan proyek IKN.

Pengurangan TKD ini akan menjadi guncangan besar bagi ekonomi daerah.

Banyak daerah bergantung pada dana pusat lebih dari 70 persen. Jika transfer menurun, daerah terpaksa memangkas belanja publik atau menambah utang daerah — dua-duanya memperlambat pertumbuhan dan menurunkan kualitas layanan publik.

Kehadiran PPATK dan Dugaan Masalah Tata Kelola

Kehadiran PPATK di rapat menandakan adanya dimensi pengawasan keuangan yang lebih dalam. Kemungkinan besar, Presiden ingin memastikan tidak ada penyimpangan dalam penyerapan anggaran menjelang akhir tahun.

Namun tanpa transparansi, langkah ini malah menimbulkan persepsi negatif.

Publik membutuhkan kejelasan, bukan kerahasiaan.

Dalam situasi fiskal yang ketat, pemerintah justru harus memperlihatkan koordinasi terbuka agar kepercayaan publik tetap terjaga.

Rapat tertutup di ruang VIP bandara justru mengirim sinyal sebaliknya — seolah ada sesuatu yang belum siap dijelaskan.

Bayang-bayang Ketidakpastian Fiskal 2026

Tantangan ke depan bukan sekadar menutup tahun 2025, tetapi menjaga keberlanjutan APBN 2026.

Defisit diproyeksikan mendekati 3 persen PDB, dengan kebutuhan pembiayaan mencapai Rp800 triliun. Penerimaan pajak masih fluktuatif, sementara belanja sosial, pertahanan, dan infrastruktur terus meningkat.

Dalam situasi seperti ini, sinyal disharmoni antara Presiden dan Menkeu akan dibaca negatif oleh pasar.

Investor bisa kehilangan kepercayaan, yield surat utang naik, dan kurs rupiah tertekan.

Ketidakhadiran Menkeu dalam rapat kunci bukan sekadar simbol, tapi sinyal bahwa koordinasi fiskal perlu diperkuat.

Risiko Guncangan Daerah

Rencana pemotongan TKD 2026 berpotensi menimbulkan “kejutan fiskal” di daerah. Daerah dengan PAD rendah seperti NTT, Maluku, atau Papua Barat akan paling terdampak. Proyek infrastruktur lokal bisa tertunda, sementara belanja sosial terpaksa dikurangi.

Ketimpangan fiskal antar daerah pun berisiko melebar.

Pemerintah harus sadar bahwa stabilitas nasional dimulai dari stabilitas daerah.

Ketika APBN diketatkan tanpa koordinasi, daerah menjadi pihak pertama yang menanggung akibatnya.

Kembalikan Kejelasan Fiskal dan Keterbukaan Publik

Rapat di Halim seharusnya menjadi simbol sinergi fiskal, bukan pertanyaan baru.

Pemerintah perlu segera menjelaskan tiga hal kepada publik: mengapa Menkeu absen, apa substansi pembahasan sebenarnya, dan bagaimana arah kebijakan TKD 2026 akan dijalankan.

Transparansi adalah mata uang kepercayaan dalam kebijakan publik. Negara bisa menanggung defisit fiskal, tetapi tidak boleh menanggung defisit kepercayaan.

Politik Fiskal Butuh Kejelasan, Bukan Kejutan

Ketidakhadiran Menkeu dalam rapat Halim mencerminkan tantangan besar koordinasi fiskal di awal pemerintahan Prabowo.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tekanan pembiayaan dalam negeri, publik membutuhkan arah yang jelas.

Kebijakan fiskal yang baik bukan diukur dari berapa kali rapat digelar, tetapi dari sejauh mana keputusan fiskal dijelaskan secara jujur dan terbuka kepada rakyat.

Tanpa itu, setiap rapat, betapa pun megahnya, hanya menjadi pertunjukan tanpa makna.

END

banner 400x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *