Perubahan Mandat Baru Bank Indonesia: Menjaga Harga, Menggerakkan Kerja. Perlukah?

Foto: Ilustrasi Bank Indonesia.

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Apakah tepat bila Bank Indonesia (BI) diberi mandat eksplisit untuk “menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja”?

Pertanyaan ini mengemuka seiring pembahasan revisi UU P2SK di Komisi XI DPR.

Saya memandang waktunya pas untuk menyejajarkan BI dengan bank sentral modern—membantu penciptaan kerja sambil menjaga stabilitas harga—namun hanya bila rambu kelembagaan dan tata kelola diperkuat secara tegas.

Tanpa itu, niat baik bisa berubah menjadi mission creep yang merusak kredibilitas moneter.

Artikel ini menjawab empat pertanyaan kunci yang beredar di publik, sembari menawarkan rekomendasi konkret bagi Komisi XI.

Apa yang Sebenarnya Berubah?

Selama ini tujuan utama BI adalah stabilitas nilai rupiah, dengan fungsi sistem pembayaran dan kontribusi pada stabilitas sistem keuangan untuk mendukung pertumbuhan berkelanjutan.

Rumusan baru yang dibahas menambahkan penekanan operasional agar BI melaksanakan kebijakan—dan bauran kebijakan—yang menciptakan iklim kondusif bagi pertumbuhan sektor riil dan penyerapan tenaga kerja.

Pada saat yang sama, wacana lain menyentuh mekanisme pemberhentian anggota Dewan Gubernur melalui proses evaluasi DPR.

Dua isu ini—perluasan mandat dan desain akuntabilitas—adalah jantung perdebatan.

Analogi sederhana: stabilitas harga adalah rem dan kemudi; pertumbuhan dan pekerjaan adalah tujuan perjalanan.

Mobil ekonomi tidak akan sampai bila rem blong, tetapi juga sia-sia jika kemudi tegak namun pedal gas tak pernah diinjak.

Pertanyaannya: bagaimana menata pedal gas tanpa melemahkan rem, dan siapa yang memegang kendali agar mobil tak oleng?

Apakah Tepat BI Punya Peran Baru Itu?

Menurut saya, tepat—dengan syarat yang ketat. BI memiliki keunggulan SDM, alat kebijakan, infrastruktur data dan pembayaran, serta kredibilitas komunikasi untuk mempengaruhi kondisi moneter dan keuangan yang dekat dengan denyut sektor riil.

Melalui kerangka inflation targeting yang disiplin, operasi moneter, kebijakan makroprudensial, dan arsitektur pembayaran (dari QRIS hingga BI-FAST), BI sudah terbiasa menilai output gap, transmisi suku bunga, dan dinamika kredit.

Memformalkan “lingkungan kondusif bagi pertumbuhan dan kerja” sebagai tujuan pendukung akan memperkuat koherensi bauran kebijakan terhadap ekonomi riil tanpa harus menjadikan BI “bank pembangunan”.

Kuncinya adalah hirarki: stabilitas harga tetap tujuan utama; pertumbuhan dan lapangan kerja menjadi supporting objective yang diupayakan sepanjang tidak mengorbankan jangkar inflasi.

Inilah esensi banyak bank sentral modern: menyeimbangkan dua tujuan, namun tetap memberi prioritas jelas ketika keduanya berkonflik.

Apa Risikonya Jika Peran Ditambah?

Pertama, mission creep.

Mandat yang terlalu lebar—“pertumbuhan sektor riil” tanpa definisi operasional—berisiko menyeret BI ke ranah kebijakan sektoral dan alokasi kredit yang seharusnya menjadi wilayah fiskal dan pasar.

Kedua, time inconsistency.

Godaan jangka pendek untuk mendorong output saat ekonomi melambat bisa melemahkan jangkar inflasi, menaikkan premi risiko, dan memaksa pengetatan yang lebih mahal di kemudian hari.

Ketiga, fiscal dominance.

Jika mandat pro-pertumbuhan dibaca sebagai pembenaran dukungan moneter terhadap pembiayaan program pemerintah secara langsung, jarak sehat moneter–fiskal menyempit.

Keempat, policy uncertainty.

Ketika fungsi reaksi kebijakan (reaction function) tidak lagi jelas, ekspektasi pelaku pasar menjadi kabur; transmisi kebijakan melemah.

Semua risiko ini dapat dikelola dengan tiga pagar: (a) hirarki tujuan yang tegas dalam undang-undang, (b) indikator operasional yang terukur dan dilaporkan berkala, serta (c) tata kelola akuntabilitas yang kuat namun tidak politis.

Soal Dewan Gubernur Bisa Diberhentikan DPR: Tepatkah? Apa Risikonya?

Pengawasan DPR atas lembaga negara itu niscaya.

Tetapi menjadikan “hasil evaluasi” sebagai dasar pemberhentian berpotensi menggerus independensi substantif.

Di banyak praktik kelembagaan, pemberhentian anggota bank sentral dibatasi pada alasan sempit: pelanggaran hukum, ketidakmampuan, atau etik yang berat—bukan karena perbedaan pandangan kebijakan yang dilakukan dengan itikad baik.

Bila kebijakan suku bunga bisa dinegosiasikan lewat ancaman pemberhentian, ekspektasi pasar akan segera menangkap sinyal politisasi moneter: volatilitas meningkat, rupiah tertekan, biaya pendanaan naik, dan dunia usaha menahan investasi.

Solusinya bukan meniadakan evaluasi, melainkan memagari prosedur.

DPR tetap kuat dalam oversight—melalui kewajiban pelaporan, dengar pendapat berkala, dan tolok ukur yang transparan—namun tidak memiliki override kebijakan atau kewenangan pemberhentian yang berbasis penilaian kebijakan semata.

Dengan demikian, akuntabilitas meningkat tanpa merusak kemerdekaan teknokratis.

Rekomendasi

Pertama, tetapkan hirarki tujuan secara eksplisit.

Rumuskan bahwa stabilitas nilai rupiah adalah tujuan utama; dukungan pada pertumbuhan riil dan ketenagakerjaan adalah tujuan pendukung.

BI wajib menjelaskan—dalam setiap keputusan besar—bagaimana kebijakan menjaga inflasi sekaligus mendukung pasar kerja, dan bagaimana prioritas diambil saat keduanya berkonflik.

Kedua, definisikan “lingkungan kondusif” secara operasional.

Fokuskan pada pelancaran transmisi moneter dan kelancaran pembayaran: pengelolaan likuiditas yang efisien, makroprudensial yang mendorong kredit produktif berisiko terkendali (misalnya properti berketahanan risiko, pembiayaan UMKM formal), dan infrastruktur pembayaran yang menurunkan biaya transaksi. Hindari norma yang mendorong intervensi sektoral atau penunjukan “pemenang”.

Ketiga, buat indikator dan laporan mandat ketenagakerjaan.

BI menyajikan dashboard berkala: output gap, estimasi tingkat pengangguran non-inflasioner (NAIRU), credit-to-GDP gap, dan indikator inklusi keuangan.

Transparansi ini memperjelas fungsi reaksi dan memudahkan DPR melakukan pengawasan berbasis data, bukan opini.

Keempat, tegaskan garis anti–fiscal dominance.

Pastikan dukungan BI pada prioritas pembangunan selalu berbasis mekanisme pasar, bersyarat pada stabilitas makro, dan tidak berupa pembiayaan langsung program pemerintah kecuali pada keadaan luar biasa yang sudah diatur ketat, terbatas durasi, serta disepakati lintas-otoritas.

Kelima, kaitkan mandat pro-kerja dengan agenda keberlanjutan.

BI punya keunggulan analitik dan perangkat makroprudensial untuk mendorong pembiayaan hijau yang kuat secara risk-based.

Ini memperluas kesempatan kerja melalui investasi efisiensi energi dan ekonomi digital—tanpa menjadikan BI pelaksana kredit langsung.

Benefit dan Kerugian dari Perubahan Mandat

Benefit utama: koordinasi kebijakan menjadi lebih padu.

Dengan mandat pendukung yang eksplisit, BI dapat menyelaraskan suku bunga kebijakan, instrumen makroprudensial, dan kebijakan sistem pembayaran agar transmisi ke sektor riil lebih cepat dan merata antardaerah.

Biaya transaksi turun, kredit produktif mengalir, dan penciptaan kerja terbantu.

Selain itu, narasi mandat pro-kerja memperkuat legitimasi sosial bank sentral; publik tidak melihat BI semata “penjaga angka inflasi”, tetapi mitra pembangunan yang mendorong peluang kerja dan produktivitas.

Kerugian potensial: jika rumusan kabur, ruang tafsir melebar ke intervensi sektoral, mengacaukan prioritas, dan menimbulkan ketidakpastian kebijakan.

Bila dikawinkan dengan mekanisme pemberhentian yang longgar, risiko politisasi meningkat.

Dampaknya langsung: premi risiko lebih tinggi, nilai tukar rentan, dan biaya pembiayaan swasta naik—bertolak belakang dengan tujuan pertumbuhan.

Mengapa Bank Sentral Perlu Terlibat Aktif—Tanpa Kehilangan Independensi

Ekonomi Indonesia memasuki fase transisi: bonus demografi, digitalisasi UMKM, hilirisasi, hingga dekarbonisasi.

Semua ini menuntut policy mix yang efektif. BI berada di simpul data berfrekuensi tinggi, memahami perilaku keuangan rumah tangga dan dunia usaha, serta mengelola infrastruktur pembayaran nasional.

Dengan keunggulan itu, partisipasi aktif BI akan mempercepat difusi kebijakan ke ekonomi riil: biaya transaksi turun, risiko kredit terukur, dan intermediasi membaik—yang pada gilirannya membuka lebih banyak pekerjaan.

Namun “aktif” bukan berarti “intervensionis”. Active, yet arm’s length.

BI mendorong pasar bekerja lebih baik, bukan menggantikannya. BI

mengatur insentif dan standar kehati-hatian, bukan membagi-bagikan kredit.

BI menyalakan lampu hijau bagi inovasi pembayaran dan inklusi keuangan, bukan mengarahkan arus pembiayaan ke proyek tertentu.

Inilah cara menjaga kesetaraan dengan bank sentral modern seperti The Fed: bantu penciptaan lapangan kerja dan stabilitas harga, sambil mempertahankan independensi keputusan.

Menjawab Kekhawatiran Publik: Belajar dari Praktik Baik

Pelajaran dari berbagai yurisdiksi menunjukkan dua hal.

Pertama, mandat ganda bisa bekerja jika hirarki jelas: saat inflasi mengancam, stabilitas harga diprioritaskan; saat inflasi terjaga, kebijakan memberi ruang bagi penguatan pasar kerja.

Kedua, tata kelola adalah benteng terakhir: transparansi sasaran, akuntabilitas berbasis data, dan batasan pemberhentian yang ketat menjaga kebijakan dari siklus politik harian.

Indonesia dapat mengadopsi prinsip-prinsip ini tanpa menyalin buta: diramu sesuai struktur ekonomi kita yang beragam dan tantangan fiskal-moneter pascapandemi.

Closing : Rem yang Andal, Gas yang Cermat

Sebagai ekonom dan pengajar kebijakan publik, saya mendukung langkah memperjelas peran BI dalam mendukung penciptaan kerja—dengan catatan keras: stabilitas harga tetap jangkar, mandat pro-kerja bersifat pendukung dan terukur, dan independensi dijaga oleh pagar hukum yang jelas.

Mengubah pengawasan DPR menjadi dasar pemberhentian berbasis evaluasi kebijakan berisiko menurunkan kredibilitas moneter dan menaikkan biaya ekonomi secara luas.

Jika revisi P2SK dimaksudkan untuk memodernkan ekosistem keuangan, maka fondasinya harus dimulai dari bank sentral yang independen, akuntabel, dan efektif.

Kita butuh rem yang andal, kemudi yang lurus, dan pedal gas yang diinjak dengan cermat.

Dengan desain seperti itu, BI dapat menjadi bank sentral modern yang setara dengan yang terbaik di dunia: menjaga harga tetap stabil, membantu membuka lapangan kerja yang bermartabat, dan mengantar ekonomi Indonesia melaju tanpa tergelincir.

End

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *