Oleh: Syahril Syam *)
Memulai Cemilan Otak (tulisan pendek) ini, kita akan berkenalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Van Uden, Pieper, Houtman, dan Braam (2024). Mereka ingin memahami bagaimana hubungan seseorang dengan Tuhan berpengaruh pada kesehatan mental, khususnya depresi, pada usia lanjut.
Studi ini melibatkan 302 orang lanjut usia di Belanda dengan rata-rata usia 76 tahun. Dari jumlah itu, 222 orang berpartisipasi setidaknya dalam satu kali tindak lanjut penelitian. Pengumpulan data dilakukan dalam tiga tahap, yakni tahun 2005, 2008, dan 2011, sehingga keseluruhan studi mencakup periode enam tahun. Hasilnya menunjukkan pola yang menarik: lansia yang memiliki perasaan positif terhadap Tuhan cenderung mengalami gejala depresi yang lebih rendah.
Sebaliknya, mereka yang memiliki perasaan negatif terhadap Tuhan – misalnya kekecewaan atau kecemasan religius – justru lebih rentan mengalami depresi, baik dalam bentuk gejala yang muncul maupun yang terus bertahan dalam jangka waktu panjang. Temuan ini menggarisbawahi bahwa kualitas hubungan spiritual kita, bukan sekadar aktivitas keagamaannya, dapat memengaruhi kondisi psikologis di masa tua.
Dengan kata lain, penelitian ini memperlihatkan bahwa kualitas perasaan religius seseorang memiliki dampak yang nyata terhadap kesehatan mentalnya. Afeksi religius positif – seperti rasa syukur, ketenangan batin, dan kedekatan emosional dengan Tuhan – terbukti konsisten berkaitan dengan gejala depresi yang lebih rendah, sekaligus mendukung kestabilan psikologis dalam jangka panjang.
Sebaliknya, afeksi religius negatif – misalnya kekecewaan, kecemasan religius, atau perasaan seolah-olah ditinggalkan oleh Tuhan – berhubungan erat dengan munculnya gejala depresi yang lebih berat. Bahkan, perasaan negatif ini tidak hanya memperparah kondisi depresi yang sudah ada, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya depresi baru selama periode enam tahun tindak lanjut.
Artinya, bagaimana kita memaknai hubungan kita dengan Tuhan dapat menjadi faktor pelindung atau justru faktor risiko bagi kesehatan mental di usia lanjut. Temuan ini memperlihatkan bahwa yang penting bukan sekadar apakah seseorang religius atau tidak, melainkan bagaimana kualitas emosional hubungan mereka dengan Tuhan.
Dengan kata lain, orang yang merasa aman dan nyaman dengan imannya cenderung lebih terlindungi secara psikologis dibandingkan dengan mereka yang mengalami kecemasan atau konflik dalam relasi spiritualnya.
Secara ilmiah, otak manusia – khususnya default mode network (DMN) – berperan penting dalam memproses pengalaman religius. Jika seseorang membayangkan Tuhan sebagai sosok yang penuh cinta, pengasih, dan melindungi, maka DMN cenderung memunculkan pengalaman religius yang positif.
Hal ini menumbuhkan rasa aman, syukur, dan penerimaan, yang pada gilirannya membantu menjaga kesehatan mental. Sebaliknya, bila representasi tentang Tuhan didominasi oleh gambaran yang menakutkan, penuh hukuman, atau marah, maka DMN dapat lebih mudah terikat pada pola pikir negatif seperti rumination (berpikir berlebihan), rasa bersalah, dan kecemasan.
Penelitian ilmiah ini sangat selaras dengan sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits qudsi: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menekankan bahwa pengalaman batin seseorang terhadap Allah sangat dipengaruhi oleh prasangkanya sendiri. Jika prasangka kita positif – meyakini Allah sebagai Maha Pengasih, Maha Penolong, dan penuh cinta – maka yang muncul dalam batin adalah ketenangan, keyakinan, dan kelegaan dari stres.
Namun, bila prasangka yang terbentuk negatif – membayangkan Allah hanya menghukum atau tidak peduli – maka yang timbul justru rasa takut berlebihan, kecemasan, bahkan depresi. Dengan demikian, baik dari sisi ilmu modern maupun ajaran Islam, cara kita memaknai dan merasakan hubungan dengan Tuhan berperan besar dalam membentuk kondisi psikologis dan spiritual kita sehari-hari.
Dalam perspektif filsafat Islam, khususnya menurut Ibn ‘Arabi, hubungan manusia dengan Tuhan dipahami melalui konsep tajalli, yaitu penampakan sifat-sifat Ilahi kepada hati manusia. Menurut beliau, prasangka terhadap Tuhan tidak bisa dipersempit hanya pada aspek pikiran, melainkan merupakan cerminan dari kondisi hati yang menjadi wadah penerimaan cahaya Ilahi.
Jika hati seseorang dipenuhi cinta, syukur, dan penerimaan, maka tajalli yang ia alami akan hadir dalam bentuk rahmah (kasih sayang dan kelembutan Allah), sehingga melahirkan rasa tenteram dan kedekatan.
Sebaliknya, bila hati seseorang dipenuhi keraguan, ketakutan, atau penolakan, maka tajalli yang muncul lebih condong pada sisi jalal (keagungan dan keperkasaan Allah), yang bisa dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan atau penuh ketegasan. Oleh sebab itu, pengalaman batin seseorang terhadap Tuhan sangat ditentukan oleh kesiapan dan keadaan hatinya sendiri.
Selain melalui konsep tajalli, prasangka hamba terhadap Tuhan juga dapat dipahami dengan teori ittihad al-‘aqil wa al-ma‘qul (kesatuan subjek dan objek pengetahuan) yang dikemukakan dalam filsafat Islam. Teori ini menjelaskan bahwa cara kita mengetahui sesuatu tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga membentuk keberadaan kita sendiri.
Dengan kata lain, pengetahuan bukan sekadar “melihat dari luar”, melainkan penyatuan batin antara yang mengetahui (subjek) dan yang diketahui (objek). Jika kita “melihat” Tuhan sebagai penuh Rahmah (kasih sayang), maka jiwa kita ikut terserap ke dalam kualitas Rahmah tersebut.
Hal ini menghadirkan ketenangan batin, keyakinan, dan pada akhirnya menopang kesehatan mental. Sebaliknya, bila seseorang “melihat” Tuhan terutama sebagai ancaman, marah, atau menghukum, maka jiwanya akan terserap ke dalam ketakutan itu sendiri. Akibatnya, pintu menuju stres, rumination (pikiran berlebihan), dan depresi pun terbuka lebar.
Dengan demikian, prasangka terhadap Tuhan bukan hanya soal persepsi, tetapi sungguh-sungguh membentuk kondisi eksistensial manusia, baik secara spiritual maupun psikologis. Kualitas batin manusia menjadi kunci utama dalam menentukan bagaimana ia mengalami kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
Pengalaman spiritual pada hakikatnya adalah cermin dari hati manusia itu sendiri. Allah tetap Esa, Maha Sempurna, dan tidak pernah berubah. Namun, cara manusia merasakan dan mengalami-Nya sangat bergantung pada kondisi batin dan prasangka yang ia bawa.
Bila hati jernih, penuh cinta, syukur, dan keterbukaan, maka yang terpantul adalah pengalaman kedekatan dan kasih sayang Ilahi. Sebaliknya, bila hati diliputi rasa takut, marah, atau keraguan, maka yang terpantul adalah gambaran ketegasan dan keagungan Allah yang bisa dirasakan menakutkan. Walhasil, bukan Tuhan yang berubah-ubah, melainkan hati manusialah yang menentukan warna pengalaman spiritualnya.
@pakarpemberdayaandiri