Framing Yang Tepat: Membentuk Anak Resilien Melalui Stres Positif

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Mindset pada dasarnya bukan hanya kumpulan ide atau konsep kognitif, tetapi juga melibatkan ikatan emosional yang kuat. Jika sebuah konsep hanya dipahami secara rasional tanpa ada emosi yang menyertainya, maka ia sebatas “informasi” biasa dan sulit berubah menjadi “keyakinan” yang hidup di dalam diri. Ilmu neurosains menjelaskan hal ini dengan cukup jelas.

Joseph LeDoux (1996) menemukan bahwa amigdala, bagian otak yang berperan dalam mengolah emosi, juga memiliki fungsi penting dalam memperkuat memori. Artinya, pengalaman atau ide yang tidak disertai emosi biasanya cepat dilupakan, sementara pengalaman yang melibatkan perasaan kuat seperti senang, takut, bangga, atau malu akan lebih mudah diingat dan bertahan lama. Hal ini juga ditegaskan oleh Elizabeth Phelps (2004, Trends in Cognitive Sciences) yang menunjukkan bahwa keterhubungan antara emosi dan kognisi adalah kunci dalam pembentukan memori jangka panjang.

Dengan kata lain, sebuah mindset yang tidak disertai muatan emosional akan kehilangan “tenaga” untuk membentuk keyakinan yang kokoh. Penelitian-penelitian terbaru pun konsisten memperlihatkan bahwa aktivasi emosi – melalui kerja amigdala, interaksinya dengan hippocampus, pelepasan hormon stres tertentu, hingga pola gelombang otak – benar-benar berperan dalam memperkuat memori. Inilah alasan mengapa emosi tidak bisa dipisahkan dari proses pembentukan mindset yang kuat. Itulah sebabnya, ketika seseorang sudah dewasa, informasi positif saja tidak otomatis mampu mengubah keyakinan atau kesadaran mereka. Informasi pada dasarnya berbeda dengan transformasi.

Daniel Kahneman (2011) dalam bukunya “Thinking, Fast and Slow” menjelaskan bahwa sebagian besar keputusan manusia digerakkan oleh System 1, yakni sistem berpikir cepat yang berbasis emosi, intuisi, dan pengalaman langsung – bukan oleh System 2 yang lebih lambat, rasional, dan berbasis logika.

Karena itu, meskipun seseorang tahu secara rasional bahwa “merokok berbahaya”, pengetahuan ini saja seringkali tidak cukup untuk membuatnya berhenti. Tanpa adanya ikatan emosional – misalnya rasa takut sakit, rasa sayang kepada keluarga, atau rasa bangga bisa terbebas dari rokok – keyakinan untuk benar-benar berubah biasanya tidak terbentuk dengan kuat. Hal ini sejalan dengan gagasan Antonio Damasio (1994) dalam bukunya “Descartes’ Error”, yang mengatakan: “Kita bukanlah mesin berpikir yang bisa merasakan, melainkan mesin perasa yang bisa berpikir.” Dengan kata lain, informasi baru harus “diberi rasa” terlebih dahulu agar bisa menembus lapisan kesadaran dan membentuk keyakinan yang nyata.

Jadi, makna pada dasarnya tidak akan berarti banyak tanpa adanya ikatan emosional. Emosi adalah “jiwa” yang menghidupkan makna. Jika tidak ada emosi, sebuah makna hanya berhenti pada level kata-kata atau konsep abstrak yang mudah dilupakan. Namun ketika emosi hadir, makna itu berubah menjadi sesuatu yang hidup, yang bisa membentuk keyakinan dan benar-benar menggerakkan tindakan.

Penelitian oleh Immordino-Yang dan Damasio (2007, Mind, Brain, and Education) menegaskan hal ini dengan kalimat sederhana: “We feel, therefore we learn” – kita merasa, maka kita belajar. Artinya, sesuatu baru dianggap penting dan bermakna ketika emosi ikut terlibat di dalamnya. Prinsip ini juga diakui dalam dunia psikologi praktis. Dalam terapi perilaku kognitif (cognitive-behavioral therapy atau CBT), dibedakan antara intellectual insight (sekadar tahu secara rasional) dan emotional insight (betul-betul merasakan dan menghayati). Hanya ketika pemahaman sudah sampai ke tingkat emotional insight, kita bisa mengalami perubahan keyakinan yang mendalam dan akhirnya mengubah perilakunya.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa masa pertumbuhan anak adalah periode emas untuk membentuk mindset dan keyakinan positif. Pada tahap ini, otak anak memiliki tingkat neuroplastisitas yang sangat tinggi, yaitu kemampuan otak untuk membangun dan memperkuat koneksi antar sel saraf.

Menurut penelitian Huttenlocher (2002), di usia dini hingga remaja, otak anak jauh lebih plastis dibandingkan otak orang dewasa. Hal ini membuat anak sangat mudah menyerap pengalaman, membangun kebiasaan, dan membentuk core beliefs, yakni keyakinan dasar tentang dirinya sendiri, tentang dunia, dan tentang orang lain. Jika sejak kecil anak mendapatkan pengalaman positif dan dukungan emosional yang sehat, hal itu akan lebih mudah melekat dan menjadi bagian dari identitasnya.

Sebaliknya, pada orang dewasa, kemampuan otak untuk berubah atau beradaptasi (neuroplastisitas) masih ada, tetapi sudah menurun. Penelitian neurosains menunjukkan bahwa otak orang dewasa relatif lebih kaku, sehingga perubahan mindset biasanya membutuhkan usaha yang lebih besar. Selain itu, orang dewasa sudah membawa “beban” keyakinan lama yang terbentuk sejak kecil. Dengan demikian, setiap konsep atau informasi baru harus bersaing dengan keyakinan yang sudah mengakar. Inilah sebabnya mengapa membentuk pola pikir dan keyakinan sejak masa kanak-kanak jauh lebih efektif dibandingkan menunggu sampai dewasa, meskipun perubahan tetap mungkin terjadi di usia berapapun.

Dengan demikian, secara psikologis maupun ilmiah, cara anak diberi narasi sejak kecil tentang bagaimana melihat sebuah “ancaman” atau stressor akan sangat menentukan bagaimana stres itu berkembang: apakah menjadi positif (eustress) yang memacu semangat, atau negatif (distress) yang melemahkan. Proses pemberian narasi ini dalam ilmu psikologi disebut dengan framing.

Menurut Tversky dan Kahneman (1981), framing effect adalah fenomena ketika cara sebuah masalah atau pilihan “dikemas” memengaruhi bagaimana seseorang mengambil keputusan dan merasakannya, meskipun fakta dasarnya sama. Contoh klasik yang sering digunakan adalah dalam dunia medis. Jika sebuah hasil medis disampaikan dengan opsi A: “Ada 90% pasien yang selamat”, orang cenderung merasa lebih tenang dan optimis. Namun, jika informasi yang sama dikemas dalam opsi B: “Ada 10% pasien yang meninggal”, maka respons emosional yang muncul biasanya cemas dan negatif – padahal faktanya sama.

Dengan kata lain, framing berfungsi seperti “kacamata” yang dipasang pada pikiran anak untuk menafsirkan sebuah peristiwa. Kacamata ini akan menentukan apakah anak melihat kesulitan sebagai peluang untuk tumbuh, atau justru sebagai ancaman yang menakutkan. Framing pada dasarnya adalah cara kita memberi “judul” pada sebuah peristiwa. Judul inilah yang akan menentukan bagaimana anak memaknai pengalaman: apakah pengalaman itu dianggap sebagai beban yang melemahkan, atau justru sebagai bahan bakar yang memacu semangat; apakah dunia tampak penuh ancaman atau justru penuh peluang.

Ketika anak sedang berada dalam fase penuh rasa ingin tahu dan sering bertanya “kenapa begini, kenapa begitu?”, respons orang tua akan sangat menentukan arah pikirannya. Jika orang tua menjawab dengan framing positif seperti, “Pertanyaanmu bagus sekali, ayo kita cari tahu bersama-sama,” anak akan merasa bahwa bertanya adalah hal yang aman, berharga, dan menyenangkan. Hasilnya, rasa ingin tahu berkembang, belajar menjadi aktivitas yang menggembirakan, dan stres intelektual berubah menjadi eustress – energi positif untuk eksplorasi. Sebaliknya, jika respons orang tua berupa framing negatif seperti, “Diam, jangan banyak tanya,” anak bisa menganggap pertanyaan sebagai sesuatu yang berbahaya. Rasa ingin tahu tertekan, muncul rasa takut salah, dan stres intelektual berubah menjadi distress – kecemasan, minder, atau tidak percaya diri.

Hal yang sama berlaku dalam berbagai pengalaman lain. Saat belajar bersepeda, framing positif seperti “jatuh itu wajar, setiap kali jatuh kamu makin jago” akan membuat anak bangkit lagi dengan semangat, sehingga kesulitan dipandang sebagai latihan. Sebaliknya, framing negatif seperti “jangan sampai jatuh, nanti malu” membuat anak takut mencoba dan mudah menyerah.

Dalam ujian sekolah, framing positif “ujian itu kesempatan untuk tahu seberapa jauh kamu berkembang” membuat anak melihat kegagalan sebagai informasi untuk belajar lagi, sementara framing negatif “kalau nilaimu jelek berarti kamu bodoh” menanamkan rasa cemas dan perfeksionisme. Bahkan dalam olahraga, framing positif “kalau kalah itu latihan untuk besok lebih baik” menumbuhkan ketangguhan, sedangkan framing negatif “kalau kalah berarti lemah dan memalukan” justru menimbulkan tekanan berlebihan dan sikap tidak sehat terhadap kompetisi.

Peran framing sejak kecil sangatlah besar dalam membentuk cara anak menafsirkan dunia. Anak belajar memahami realitas bukan hanya dari apa yang mereka lihat atau alami, tetapi juga dari narasi dan respons yang diberikan orang tua maupun guru. Jika sejak dini anak diajarkan bahwa kesulitan adalah latihan, kegagalan adalah bagian dari proses, dan masalah adalah kesempatan belajar, maka anak akan cenderung mengembangkan growth mindset sebagaimana dijelaskan oleh Carol Dweck (2006). Sebaliknya, jika anak terus-menerus mendapat pesan bahwa kesulitan adalah bahaya, kegagalan adalah aib, dan masalah adalah ancaman, maka ia lebih mudah jatuh pada fixed mindset yang kaku, disertai kecenderungan mengalami distress.

Dalam jangka panjang, framing positif membuat anak tumbuh dengan curiosity mindset – rasa ingin tahu yang sehat, disiplin untuk mencari jawaban, keberanian bereksplorasi, serta ketangguhan dalam menghadapi kebingungan. Stres pun dipandang sebagai bahan bakar yang memotivasi, sehingga memunculkan eustress (stres positif) yang mendorong ketekunan, resiliensi, dan keberanian.

Dari sinilah tumbuh resiliensi – kemampuan untuk bangkit kembali ketika menghadapi tantangan hidup. Sebaliknya, framing negatif menumbuhkan fear mindset, dimana anak lebih takut salah, cenderung menghindari tantangan kognitif, dan bersikap pasif. Dalam kondisi ini, stres berubah menjadi distress – rasa tertekan yang melahirkan kecemasan, penghindaran, atau bahkan agresi. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa framing yang tepat adalah kunci untuk membentuk anak yang resilien melalui stres positif.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *