Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH.,MH.,M.Kn *)
Hari-hari belakangan ini marak Gerakan Moral dari Kampus yang mengingatkan penguasa negeri ini untuk kembali ke Jalan yang benar, tidak lagi sesat pikir menyalahgunakan kekuasaannya untuk melanggengkan dinasti politiknya. Gerakan moral yang dimulai dari berbagai kampus di Indonesia ini, sebagai bentuk keprihatinan terhadap demokrasi yang kian terkoyak.
Gerakan moral kampus dimulai dari UGM & UII Jogja, kemudian diikuti UI Jakarta, berturut-turut kemudian UnKhair Ternate, UnAnd Padang, Unila Banjarmasin, UnHas Makassar dan InsyaaAllah juga akan diikuti oleh Civitas Akademika Kampus-kampus lainnya yang masih peduli di seluruh Indonesia.
“Lima tahun terakhir, utamanya menjelang pemilu 2024, kami kembali terpanggil untuk menabuh genderang, membangkitkan asa dan memulihkan demokrasi negeri yang terkoyak,” ujar Ketua Dewan Guru Besar UI Harkristuti Harkrisnowo di Kampus UI, Depok, Jumat (2/2).
Secara tegas, Harkristuti mengatakan, negeri ini sudah kehilangan kemudi akibat kecurangan dalam perebutan kuasa, nilai etika, menggerus keluhuran budaya serta kesejatian bangsa.
Sebagai bentuk peprihatinan terhadap dinamika perpolitikan nasional dan pelanggaran prinsip demokrasi menjelang pemilu 2024, sejumlah akademisi Universitas Gadjah Mada juga mengkritik Presiden Jokowi melalui Petisi Bulaksumur.
Petisi ini dibacakan oleh Guru Besar Fakultas Fakultas Psikologi UGM, Prof. Drs. Koentjoro, Ph.D., didampingi oleh spuluhan Guru Besar, akademisi, alumni dan aktivis BEM KM UGM, Rabu (31/1) di Balairung Gedung Pusat UGM.
“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari Keluarga Besar Universitas Gadjah Mada. Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan dan pernyataan kontradiktif Presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi,” katanya.
Ungkapan keprihatinan dari kalangan kampus, tentu tidak bisa dianggap angin lalu. Bila pemerintah [Presiden Jokowi] abai terhadap berbagai kritik tersebut, bukan tidak mungkin akan semakin meluas dan menjadi bom waktu, yang tentu saja akan berakibat buruk bagi perjalanan bangsa ini ke depan.
Apa yang disampaikan kalangan akademisi dari berbagai kampus di Indonesia, merupakan peringatan keras kepada Presiden Jokowi atas keresahan publik yang semakin meluas, sebab selama ini kritikan maupun masukan yang disampaikan masyarakat sipil diabaikan oleh pemerintah.
Seruan moral dari akademisi ini menandakan ada persoalan legitimasi etis yang berat di pemerintahan Jokowi – yang kalau terus menggelinding di ruang –ruang publik bisa menggerus kepercayaan publik pada Presiden.
Persoalan etis yang dimaksud adalah dugaan adanya konflik kepentingan dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Ditambah lagi beberapa waktu lalu Jokowi mengeluarkan narasi presiden berhak kampanye. Tapi kalau lihat presiden berkampanye untuk anaknya, ini sangat tidak etis, dan tidak mencerminkan sikap seorang kepala negara, yang tidak memberikan contoh baik bagi keberlangsungan demokrasi.
Berbagai pelanggaran kampanye pun juga sering dilakukan Gibran, namun Presiden Jokowi mencoba membenarkan pelanggaran tersebut dengan dalih keabsahan konstitusi tanpa mempertimbangkan apakah tindakannya etis atau tidak.
Manuver seperti itu sama artinya merusak prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Bahkan bisa disebut pelanggaran etika yang luar biasa. Politik yang dipertontonkan Jokowi adalah politik kotor.
Mari kita selamatkan bangsa ini dari praktik-praktik demokrasi yang kotor.
Demokrasi di Tanah Air sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana konstitusi diubah demi memuluskan kepentingan berkuasa. Hal itu harus dihentikan dan dikritisi. Kita harus menyelamatkan demokrasi yang sudah diperjuangkan melalui reformasi 1998.
Pemilu jadi penentu masa depan republik. Dengan akal budi dan hati nurani, kita memilih pemimpin yang humanis, bukan tiranik, untuk menyelamatkan republik. Namun, keselamatan republik terletak bukan hanya di tangan pemimpin, melainkan juga di tangan kita semua.
Saya teringat apa yang diikrarkan bapak bangsa proklamator kita Bung Hatta—”hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, ia berkembang dengan usaha dan usaha itu ialah usahaku” (1928)—adalah inspirasi agar setiap ”usahaku” dapat berkembang demi kemajuan ”Tanah Airku.
*) Praktisi Hukum