OPINI  

Menyemai  Harapan Masyarakat Papua, Mandiri Pangan dan Ekonomi Melalui Sagu

Oleh: Risma Uli Situngkir, SP.,M.Si *)

Masih ingat pandemi Covid-19? Meskipun sudah berlalu tetapi banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pandemi yang melanda seluruh dunia mulai awal tahun 2020 tersebut.  Salah satunya bagaimana mempersiapkan kebutuhan pangan yang bergizi dan sehat pada setiap keluarga agar tercukupi selama pandemi berlangsung.

Berbagai langkah telah disiapkan oleh pemerintah seperti menjaga ketersediaan stok pangan dengan tujuan  mencegah terjadinya krisis pangan saat pandemi antara lain pemerintah melakukan diversifikasi pangan dengan mengembangkan variasi dan mendorong  konsumsi pangan lokal.

Potensi ragam kekayaan hayati terutama  sumber pangan lokal  sangat berlimpah di Indonesia  antara lain serealia (padi,, jagung),  umbi-umbian (ubi kayu,  talas, keladi) dan palmae (sagu) yang tumbuh subur di wilayah Indonesia akan tetapi belum seluruhnya dimanfaatkan dan diolah untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.

Sagu merupakan salah satu pangan lokal Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai alternatif makanan pokok sebagai pengganti beras dan bahan baku utama pembuatan produk makanan sebagai pengganti tepung terigu.  Sagu dinilai dapat menopang masalah pangan pun energi di Indonesia.

Contoh nyata di daerah Mangroholo Sira, Sorong Selatan, pada masa  pandemi Covid-19 masyarakat bisa menghasilkan  sagu sebagai sumber karbohidrat utama dan tidak  bergantung pada beras sebagai sumber makanan pokok tetapi memanfaatkan sagu yang banyak tumbuh dilingkungan sekitar bahkan mereka bisa mendistribusikan ke daerah sekitar dari kelebihan produksi mereka . Contoh nyata bisa kita temukan di Mangroholo Sira, Sorong Selatan.

Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, dan distribusi beras ke hampir semua wilayah Papua terhambat. Masyarakat Mangroholo sebagai penghasil sagu, tidak terlalu merasakan dampak terhambatnya distribusi beras. Masyarakat tetap bisa menghasilkan sagu sebagai sumber karbohidrat utama. Bahkan mereka bisa mendistribusikan ke daerah sekitar dari kelebihan produksi mereka.

Kondisi yang dialami oleh masyarakat Mangroholo Sira tersebut sesuai dengan hasil riset  dari Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI) yang menyatakan potensi sagu yang berlimpah di Indonesia bisa dimanfaatkan sebagai kekuatan pangan bagi negara Indonesia.  Ini berdasarkan data bahwa   dari total 6,5 juta hektar luas lahan sagu di dunia ternyata  luas lahan sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta hektar yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia seperti Papua, Maluku, Sumatera, Sulawesi, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Mentawai. Sebanyak 5 juta hektar lahan sagu ada di daerah Papua.

Apa itu sagu dan bagaimana potensinya?

Sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman berbiji monokotil yang berasal dari famili palmae dan tersebar luas di Indonesia dan  dapat tumbuh di daerah rawa atau tanah marjinal dimana tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar untuk tumbuh dengan wajar.

Tanaman sagu di masa lampau merupakan komoditas yang umum dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia termasuk pulau Jawa sebagai sumber pangan.  Ini dibuktikan dari ukiran pohon sagu pada relief candi Borobudur.

Seiring berjalannya waktu, peran sagu sebagai sumber pangan mulai tergeser oleh beras yang saat ini menjadi makanan pokok dan sumber karbohidrat utama sebagian besar masyarakat Indonesia.

Selain sebagai makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku dan Papua, sejak dulu  sagu memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat  Papua.   Sagu menghidupi masyarakat pesisir, di samping umbi-umbian dan pisang.

Bagi masyarakat di Tanah Papua,sagu lebih dari sekedar sumber makanan. Sagu ibarat ibu yang mencukupi kebutuhan dan menghidupi. Hutan sagu memiliki empat manfaat utama bagi kehidupan masyarakat Papua, yaitu sebagai sumber pangan, sandang, papan,  dan ekosistem.

Sagu juga memiliki nilai filosofis dan  melekat kuat dalam segala sendi kehidupan dan budaya masyarakat Papua. Seluruh bagian dari pohon sagu bisa dimanfaatkan untuk menopang kehidupan. Mulai dari batang pohon sagu yang bisa menghasilkan tepung sagu, daunnya dipakai untuk atap dan dinding rumah, hingga hamanya, yaitu ulat sagu yang juga dapat dikonsumsi sebagai sumber protein.

Namun dalam beberapa dekade terakhir peran sagu tersebut semakin menurun dan perlahan-lahan mulai tergantikan  oleh komoditas pangan lain yang menghasilkan  karbohidrat  seperti beras dan  tepung terigu. Sagu sebagai makanan pokok tidak lagi populer dan masyarakat semakin bergantung pada beras.

Sumber daya lokal yang sangat melimpah di daerah Indonesia Timur ini terutama Papua cenderung terlupakan padahal sesungguhnya sagu memiliki potensi untuk mensubstitusi sumber karbohidrat dari beras atau gandum (tepung terigu) karena produktivitas pati relatif lebih tinggi dari tanaman pangan  penghasil  pati lainnya.

Produktivitas tanaman Sagu dapat mencapai 10-15 ton/ha/thn, sedangakan tanaman padi sekitar 3 ton/Ha/thn, tanaman jagung sekitar 5 ton/ha/thn, tanaman kentang 2,5 ton/ha/thn, tanaman ubikayu 5-6 ton/ha/thn dan tanaman ubi jalar sekitar 5,5 ton/ha/thn.

Potensi pati di dalam batang sagu sangat besar sehingga mampu menjadi sumber karbohidrat.  Menurut Bintoro (2010) sagu yang ada di Papua mampu menghasilkan pati berkisar 20 – 40 ton/ha/tahun. Hasil penelitian terbaru oleh Jong dan Ho (2011) diketahui bahwa potensi pati produksi hutan sagu alam di Papua berkisar antara 10 – 15 ton pati kering/ha/tahun.

Penelitian yang dilakukan Darma dkk (2011; 2018) dalam satu batang pohon sagu yang siap panen dibutuhkan 6 hari waktu untuk mengolah dan diperoleh pati basah rata-rata 317 kg/pohon atau setara dengan 52,8 kg/hari.

Permasalahan utama yang dihadapi masyarakat petani sagu adalah produksi dan kualitas sagu rendah.  Rendahnya produksi sagu terutama karena sebagian besar proses pengolahan masih dilakukan secara manual (tradisional).

Dari data di atas, memperlihatkan bahwa komoditas sagu mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar menghasilkan pati sagu yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri.

Berdasarkan data ini (Darma dkk, 2011;2018) , sagu dapat meningkatkan pendapatan dan  kesejahteraan masyarakat lokal atau petani sagu.  Jika diasumsikan harga pati sagu basah sebesar Rp.3.000/kg maka petani sagu bisa memperoleh pendapatan mendekati  Rp. 5 juta setiap bulan.

Dari beberapa informasi data penelitian yang telah diuraikan, upaya  untuk mendiversifikasi pangan utama seperti beras dan gandum menjadi penting. Diversifikasi tersebut  harus berbasis pada sumber daya komoditas lokal yang tersedia di Indonesia sehingga selaras dengan upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan memuat bagian keenam yang didalamnya tercantum terkait penganekaragaman pangan, dimana Penganekaragaman Pangan merupakan upaya untuk meningkatkan Ketersediaan Pangan yang beragam dan yang berbasis potensi sumber daya lokal. Dengan demikian, secara konstitusi upaya diversifikasi pangan merupakan tugas negara yang harus dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.

Manfaat dan Produk Olahan Sagu

Saat ini sagu semakin   banyak dilirik dan dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri.  Isu krisis pangan yang melanda dunia dan program penganekaragaman pangan yang diterapkan pemerintah menjadikan sagu sebagai komoditas lokal yang dapat  diandalkan untuk menopang ketahanan pangan bahkan energi sekaligus menumbuhkan ekonomi wilayah dan nasional, bahkan hasil olahannya pun menjadi kesempatan besar bagi petani maupun pelaku usaha perkebunan untuk mengembangkan menjadi beragam varian produk turunannya yang strategis dan menguntungkan.

Oleh karena itu, potensi sagu di Indonesia khususnya di wilayah Papua yang begitu besar dapat dioptimalkan untuk mendukung kemandirian pangan melalui variasi produk pangan berbasis sagu yang sehat..

Sebagai bahan pangan, sagu memiliki keunggulan komparatif terhadap bahan pangan lain seperti dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, produktivitas pati tinggi dan dapat disimpan dalam rentang waktu yang lama. Selain itu, sagu merupakan pangan lokal yang memiliki jumlah kalori cukup tinggi (353 kkal per 100 g bahan).

Secara umum tepung sagu merupakan makanan yang kaya karbohidrat (pati) namun sangat rendah gizi lainnya. Dalam 100 gram sagu kering rata-rata mengandung 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 mg kalsium, 1,2 mg besi, dan lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam jumlah kecil.

Walaupun gizi yang dikandung tidak tinggi, sagu juga mempunyai beberapa manfaat yang baik bagi tubuh. Diantaranya adalah tidak cepat meningkatkan kadar glukosa dalam darah sehingga cukup aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus.

Sagu juga mampu meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi resiko terjadinya kanker usus, mengurangi kegemukan, mempermudah buang air besar. Sagu juga sering dikonsumsi bagi yang sedang diet karena dapat memberikan efek mengenyangkan, tetapi tidak menyebabkan gemuk.

Program diversifikasi pangan dari pemerintah diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai makanan pokok dan beralih pada pangan lokal lainnya termasuk sagu.

Beberapa produk pangan berbahan dasar sagu yang selama ini ditemukan pada berbagai daerah Nusantara merupakan produk pangan olahan tradisional, antara lain empek-empek, bakso, mie, soun dan makanan kecil seperti kue kukus, kue bolu, kue lapis, onde-onde, dodol dan cendol berbahan dasar sagu.

Produk kering olahan sagu seperti kue kering  (bagea) dan mutiara sagu. Sebagai makanan tradisi orang Bungku (Morowali), sagu dijadikan “Dunui” untuk dimakan dengan “ikan kuah” atau diolah menjadi makanan “Hinole” yang dicampur dengan kelapa parut lalu digoreng, walaupun saat ini sudah sulit ditemukan.

Berikutnya  di daerah Riau banyak dikenal beberapa jenis makanan berbahan dasar sagu seperti mie sagu, kepurun, gobak, sagu rendang, sagu lemak atau lempeng sagu . Di Maluku terkenal sebagai papeda yang dimakan dengan ikan kuah dan banyak diminati masyarakat, termasuk oleh orang – orang yang datang ke Maluku. Perkembangan variasi produk pangan berbasis sagu saat ini di Maluku antara lain telah dihasilkan Sagu Keju, Ketupat Sayur, dan Bubur Kacang Hijau Sagu.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian sangat mendorong dan mengarahkan  pengembangan produk pangan berbasis sagu yang diolah dengan teknologi modern agar dapat diterima dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.

Penerapan teknologi modern dapat dilakukan pada program pengembangan  berbasis pangan lokal sagu , meningkatkan inovasi produk turunannya untuk menambah nilai jual dan berdaya saing. Pemerintah  terus mendukung petani dan pelaku usaha perkebunan agar terus berkreasi supaya sagu menjadi beragam produk pangan sehat, menjadi solusi jitu hadapi krisis pangan dunia.

Kolaborasi, sinergi dan komitmen bersama diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah sagu ini guna membangkitkan ekonomi masyarakat karena sagu bisa menjadi bahan pangan lokal untuk ketahanan pangan nasional.

Selain tepung sagu atau beras analog sagu, produk turunan sagu terbukti telah berhasil dan digemari  konsumen segala kalangan seperti mie sagu atau biskuit sagu yang aman dikonsumsi bagi konsumen terutama anak-anak yang memiliki sensitivitas terhadap alergi misalnya alergi pada protein gluten.

Selanjutnya ada juga produk gula cair dan bio etanol yang merupakan produk turunan sagu.. Inovasi produk sagu seperti  Sago Cookies, Sago Pearl, Fish Ball, Fukien, Sago Brownies, Oreo Black Swiss Roll dan lainnya mendapat  respon baik dari masyarakat termasuk generasi muda, terbukti penjualan kian meningkat, dan tentunya ini  berdampak positif bagi kesejahteraan petani sagu.

Berdasarkan uraian di atas masih banyak produk turunan sagu yang bisa dikembangkan dari pati sagu dimana selain berperan sebagai bahan pangan juga  dapat dimanfaatkan sebagai bahan utama maupun sebagai bahan tambahan dalam berbagai jenis industri, seperti industri pangan, pakan ternak, kertas, perekat, kosmetika, kimia, dan industri energi.

Potensi sagu Indonesia yang besar dan selama ini belum dioptimalkan manfaatnya mesti  dijadikan strategi menguntungkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sagu dan  hutan sagu alami di Indoesia termasuk Papua bisa menjadi solusi di saat krisis pangan melanda dunia.

Mumpung belum terlambat, mari bersama kita lestarikan dan berdayakan hutan sagu yang masih tersisa. Ada kalimat bijak yang menyatakan demikian ”Kita jaga alam, maka alam pun akan jaga kita.” Semoga kita bisa menjaga hutan sagu di Papua dan mengelolanya dengan bijak untuk kebaikan kehidupan bersama seluruh makhluk hidup.

Manokwari, 31 Januari 2024

*) Staf Pengajar Program Studi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Papua

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *