Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Baru-baru ini beredar video yang menampilkan 13 anggota Satpol PP Garut mendeklarasikan dukungan terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden telah menuai kontroversi karena telah melanggar netralitas sebagai aparatur negara.
Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menilai sejumlah anggota Satpol PP Garut yang mendukung Gibran Rakabuming Raka tidak melakukan pelanggaran.
Dia mengatakan bahwa “Kalau menurut saya enggak. Ini sebuah organisasi yang belum terakui secara baik, belum mendapatkan posisi yang jelas, posisi di ASN itu, maka ya wajar mereka bisa menyampaikan kepada siapa pun,” kata Moeldoko di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (3/1).
Pernyataan Moeldoko tersebut sangat tidak tepat, karena Satpol PP posisinya jelas sebagai aparatur negara yang dibiayai oleh negara. Sebagai KSP sangat memahami hal mendasar ini.
Statement Moeldoko telah mengesampingkan prinsip netralitas yang seharusnya dilakukan oleh aparatur negara. Hal ini dapat menciptakan preseden berbahaya dimana aparatur negara seperti diizinkan untuk terlibat dalam politik praktis asalkan status kepegawaian mereka ‘tidak jelas’.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Moeldoko sebagai KSP melakukan pasang badan membela Satpol PP yang melakukan pelanggaran etis dengan mendeklarasikan dukungan kepada salah satu capres-cawapres? Ini mengindikasikan bahwa Moeldoko sebagai KSP pun tidak netral.
Bawaslu Garut merespons video viral yang menampilkan anggota Satpol PP mendukung Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden nomor urut 2, dengan merencanakan pemanggilan 13 anggota terlibat untuk keterangan lebih lanjut, menyoroti potensi pelanggaran aturan netralitas ASN.
Dan Bupati Garut menyatakan akan memberikan sanksi, termasuk demosi dan penghentian gaji, kepada anggota yang terlibat, meskipun mereka bukan ASN atau PPPK, melainkan tenaga kontrak.
Di sisi lain, Kepala Bidang Sumber Daya Manusia Satpol PP Garut menegaskan komitmen mereka terhadap netralitas dan berencana melakukan investigasi untuk mengetahui pembuat video, sambil menekankan bahwa Satpol PP tetap netral dan proses investigasi sedang berlangsung.
Jika Bawaslu, Bupati dan Kabid. SDM Satpol PP saja melakukan tindakan dengan memberikan sanksi maka KSP Moeldoko tidak memberikan contoh sebagai negarawan yang baik.
Para penyelenggara negara semakin berani mempertontonkan ketidaknetralan secara telanjang
Tentunya ini sangat mengkhawatirkan. Ketidaknetralan aparatur negara terus dipertontonkan kepada publik tanpa ada rasa malu. Ini bisa kita lihat dari kasus-kasus lainnya.
Salah satunya seperti yang telah dilakukan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) yang telah mempolitisasi bantuan sosial dengan menyebutkan bahwa bantuan sosial (bansos) berasal dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam video tersebut Zulhas mengatakan “Yang kasih Bansos sama BLT siapa… Yang kasih Bansos sama BLT siapa… yg suka sama Jokowi angkat tangan… pak Jokowi itu PAN, PAN itu pak Jokowi makanya kita dukung Gibran, Cocoook?. Gibran itu sopo sih?…”
Tentu saja pernyataan tersebut mendulang respon negatif dari banyak pihak karena penderitaan rakyat dimanfaatkan untuk mendulang elektabilitas ini sebuah pembodohan jika Bansos dan BLT yang dibiayai oleh rakyat tapi seolah-olah diakuisisi sebagai pemberian dari pribadi Jokowi yang merupakan ayah dari cawapres Gibran.
Tidak lama sebelumnya ribuan perangkat desa yang tergabung dalam kelompok Desa Bersatu menghadiri acara deklarasi dukungan bagi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, di Indonesia Arena, Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, pada Minggu (19/11/2023).
Kelompok ini terdiri dari berbagai organisasi seperti Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), DPN PPDI (Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Perangkat Desa Indonesia), ABPEDNAS (Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional), DPP AKSI (Asosiasi Kepala Desa Indonesia), KOMPAKDESI (Komunitas Purnabakti Kepala Desa Seluruh Indonesia), PABPDSI (Persatuan Anggota BPD Seluruh Indonesia), DPP PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia), dan Persatuan Masyarakat Desa Nusantara. Koordinator Nasional Desa Bersatu, Muhammad Asri Anas, menjelaskan bahwa Desa Bersatu menjadi wadah bagi perjuangan kepentingan organisasi desa secara nasional, hal ini tergambar dari surat undangan yang ditembuskan ke Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Tentunya jika aparat desa digunakan untuk memenangkan salah satu paslon capres-cawapres artinya aparat desa didorong untuk menyalahi aturan untuk menjaga netralitas.
Intimidasi terhadap berbagai pihak yang kritis
Kecurangan sangat dirasakan dan tidak dapat disangkal, terlihat dari berbagai peristiwa dari mulai mobilisasi pejabat pemerintah dan lokal, juga serangan terhadap individu yang mendukung oposisi atau kandidat yang tidak didukung pemerintah.
Masih segar dalam ingatan publik tentang Kasus Butet Kartaredjasa yang diminta menandatangani surat pernyataan untuk tidak membahas politik selama pertunjukan di Taman Ismail Marzuki. Kemudian kelanjutan laporan terhadap Aiman Witjaksono yang membongkar ketidaknetralan polisi.
Dan juga acara “Desak Anies” yang izinnya selalu di batalkan secara mendadak saat acara mau dilaksanakan hingga helikopternya dilarang untuk mendarat.
Yang menghalang-halangi Gibran untuk menjadi cawapres pun mendapatkan teror oleh aparat seperti yang terjadi pada Ketua BEM UI dan UGM yang gencar memprotes kebijakan pemerintah, termasuk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres yang melahirkan Gibran sebagai cawapres.
Mereka termasuk keluarganya mendapatkan serangkaian teror berupa didatangi intel ke kampus dan doxxing di media sosial.
Ini adalah kecurangan-kecurangan yang sangat sistematis dan terorkestrasi. Hal ini telah diprediksi, namun tindakan intimidasi ini jelas tidak bisa diteruskan atau ditoleransi.
Mampukah Bawaslu Bersikap Tegas?
Di tengah maraknya kasus yang menyeret aparatur negara ke dalam pusaran politik praktis, pertanyaan besar yang menggantung di benak publik adalah, “Mampukah Bawaslu bersikap tegas menghadapi kasus-kasus ini?”, atau mungkinkah Bawaslu diorkestrasi juga untuk tidak tegas atas kecurangan-kecurangan yang terjadi? Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan.
Sejarah telah menunjukkan bahwa tantangan dalam menegakkan netralitas sering kali rumit dan penuh dengan hambatan politik.
Publik, yang semakin kritis dan terinformasi, kini menuntut bukti nyata dari Bawaslu dalam menjalankan tugasnya dengan tegas dan tidak pandang bulu. Mereka mencari kepastian bahwa Bawaslu tidak hanya akan menjadi ‘macan kertas’ tetapi benar-benar menjadi penjaga demokrasi yang gigih dan tak kenal kompromi.
Kesimpulannya, insiden yang melibatkan anggota Satpol PP Garut mendeklarasikan dukungan politik telah menyeret kita ke dalam pusaran kekhawatiran mendalam tentang erosi netralitas aparatur negara. Pernyataan Kepala Staf Presiden Moeldoko, yang tampaknya memberikan lampu hijau pada tindakan tersebut, bukan hanya mengecewakan tetapi juga secara langsung mengancam fondasi demokrasi di Indonesia.
Lebih jauh lagi, tindakan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang mempolitisasi bantuan sosial menambah bukti bahwa praktik politisasi oleh pejabat tinggi negara telah menjadi racun yang menggerogoti kepercayaan publik.
Ini bukan hanya tentang satu insiden; ini adalah tentang tren yang mengkhawatirkan di mana garis antara pelayanan publik dan politik praktis semakin kabur. Publik harus menuntut lebih kepada para penyelenggara negara, untuk menegakkan standar yang lebih tinggi, dan memastikan bahwa prinsip netralitas dihormati dan dipertahankan. Kesalahan seperti ini tidak boleh dan tidak bisa dibiarkan terjadi lagi.
Dalam suasana ketidakpercayaan yang meningkat, kemampuan Bawaslu untuk bertindak tegas dan transparan tidak hanya akan mengukuhkan legitimasinya di mata publik tetapi juga menjadi penentu kesehatan demokrasi kita ke depan.
End