Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Ketika Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mengeluarkan candaan tentang pemindahan pegawai yang tidak berkinerja baik ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, ia mungkin tidak menyadari dampak penuh dari kata-katanya.
Dalam konteks formal sebuah seminar, pernyataan semacam ini, meskipun disampaikan dengan nada ringan, membawa implikasi yang mendalam tentang persepsi terhadap IKN dan nasib Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia.
Heru Budi Hartono, dalam kapasitasnya sebagai PJ Gubernur DKI Jakarta, mengungkapkan secara bercanda bahwa pegawai yang tidak berkinerja baik akan dipindahkan ke IKN.
Pernyataan ini, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai lelucon, mencerminkan persepsi negatif terhadap IKN sebagai tempat penugasan. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana proyek ambisius ini dilihat oleh pejabat tinggi pemerintahan.
Dalam seminar ‘Menuju Masa Depan Jakarta sebagai Kota Global’, Heru Budi menyampaikan pesan ini di hadapan ratusan pegawai eselon III. Konteks ini penting karena menunjukkan bahwa pernyataan tersebut disampaikan di forum formal, di mana kata-kata seorang pejabat publik memiliki bobot dan pengaruh.
Seminar tersebut seharusnya menjadi platform untuk memotivasi dan memberikan visi positif tentang masa depan Jakarta dan peran ASN di dalamnya, bukan menjadi ajang untuk lelucon yang mungkin memiliki konotasi negatif.
Heru Budi menekankan pentingnya bekerja dengan baik dan semangat bagi ASN, yang merupakan penerus pembangunan Jakarta. Namun, penggunaan IKN sebagai ‘ancaman’ menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya ASN memandang tugas mereka.
Sebagai penerus pembangunan, ASN harus diberi motivasi dan dukungan untuk berkontribusi secara positif, bukan diintimidasi dengan ancaman pemindahan.
Guyonan yang Berimplikasi
Guyonan tentang pemindahan ke IKN seolah-olah menempatkan IKN sebagai lokasi yang kurang diinginkan. Ini menciptakan narasi bahwa bekerja di IKN adalah semacam hukuman, bukan kesempatan atau tanggung jawab.
Hal ini tidak hanya merendahkan nilai IKN sebagai proyek pembangunan nasional tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana proyek ini dipandang oleh mereka yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikannya.
Heru Budi menyebutkan bahwa penugasan ke IKN bisa mempercepat kenaikan pangkat ASN. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah penugasan ke IKN hanya alat untuk kenaikan pangkat, bukan untuk pembangunan nasional yang berkelanjutan?
Jika motivasi utama penugasan ke IKN adalah kenaikan pangkat, ini bisa mengurangi fokus pada kualitas dan efektivitas kerja yang seharusnya menjadi prioritas utama.
UU ASN memungkinkan penugasan ASN ke daerah yang membutuhkan, termasuk IKN. Namun, jika IKN hanya dijadikan tempat untuk ‘menghukum’ ASN yang tidak berprestasi, ini akan merusak citra IKN dan pemerintah pusat.
Seharusnya, penugasan ke IKN dilihat sebagai kesempatan untuk berkontribusi pada proyek penting dan bersejarah, bukan sebagai ancaman atau hukuman.
*Interpretasi Canda Heru Budi sebagai Skeptisisme terhadap Keberhasilan IKN*
Canda Heru Budi bisa diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa bahkan pejabat tinggi pemerintahan memiliki keraguan terhadap keberhasilan IKN. Ini menunjukkan adanya ketidakpastian dan skeptisisme di kalangan pemerintah sendiri.
Jika pejabat yang memiliki akses langsung ke informasi dan kebijakan pemerintah memiliki pandangan seperti ini, bagaimana mungkin publik dan ASN diharapkan memiliki pandangan yang lebih positif?
Sikap skeptis terhadap IKN, yang tercermin dari candaan Heru Budi, menunjukkan bahwa proyek ini dihadapkan pada tantangan serius, termasuk minimnya investasi dan antusiasme. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa IKN mungkin tidak akan mencapai potensi penuhnya sebagai pusat baru pembangunan dan inovasi di Indonesia.
Jika disimpulkan, candaan Heru Budi Hartono bukan sekadar lelucon semata. Ini adalah cerminan dari pandangan yang lebih luas terhadap IKN dan peran ASN di dalamnya. Sebagai proyek ambisius, IKN memerlukan lebih dari sekadar investasi finansial; ia membutuhkan investasi dalam bentuk kepercayaan, komitmen, dan pandangan positif dari semua pihak, termasuk para pemimpin nasional. Tanpa ini, IKN berisiko menjadi simbol.
End