OPINI  

Melanjutkan Pembangunan Tak Perlu dengan Kebohongan dan Kecurangan

Dr. Suriyanto PD, SH, M.Kn

Catatan Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn *)

Sebentar lagi kita akan menghadapi masa kampanye terbuka dalam pelaksanaan pemilu Caleg dan Pilpres, situasi sudah sangat memanas di media-media sosial dari perbincangan berbagai kalangan, terutama mengenai pemilihan capres dan cawapres.

Slogan-slogan pilpres 2024 sangat berbeda dengan Pilpres sebelumnya di sepanjang  era reformasi ini. Pilpres 2024 selalu tersebar kabar tentang isu-isu melanjutkan pembangunan, pemilu damai, pemilu jujur, pemilu berintegritas dan jangan saling serang antar pendukung dan lain sebagainya.

Seruan-seruan ini masyarakat pemilih harus cerdas, terutama masyarakat daerah untuk meneliti kebenaran yang selalu digaungkan tersebut.

Seperti seruan demi melanjutkan pembangunan maka kita harus memilih calon presiden yang benar-benar berkualitas, berpengalaman, tidak di hasilkan dari suatu proses yang curang dari mulai proses awal pendaftaran hingga masa kampanye dan waktu pemilihan.

Jika proses awal dari seorang calon sudah dengan kebohongan dan melalui cara-cara yang tidak sesuai aturan maka hasilnya pasti akan lebih buruk dari yang ada saat ini, karena untuk melanjutkan pembangunan negeri ini tidak perlu ada kecurangan dan kebohongan sejak awal hingga akhir pemilihan pemimpin tersebut.

Seruan pemilu damai, jujur, berintegritas dan lain sebagainya juga sangat naif dapat terlaksana jika pasangan capres dan cawapres dalam proses awal saja sudah curang dan bohong, maka hasilnya juga pasti tidak baik.

Sebaik apa pun penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pengawas yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pelanggaran dan kecurangan tetap menjadi ancaman. Apalagi kalau KPU dan Bawaslu kurang baik. Senetral apa pun orang yang paling bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemilu yakni presiden, kecurangan tetap mengkhawatirkan. Terlebih jika presiden tidak netral, jika orang nomor satu di negeri ini tersebut punya keberpihakan.

Sudah baikkah KPU dan Bawaslu? Harus kita katakan belum sepenuhnya. Bawaslu, misalnya, masih penyakitan standar ganda. Dalam beberapa kasus, mereka reaktif, gesit, menyikapi pelanggaran oleh calon tertentu, tetapi seolah cacat netra ketika kandidat lain melakukan hal yang sama.

Mereka tegas menindak pelanggaran oleh calon yang tak dekat dengan penguasa, tetapi amnesia kepada kontestan dukungan penguasa.

Sudah netralkah kepala negara? Secara verbal, Presiden Jokowi memang kerap kali menegaskan hal itu. Akan tetapi, sulit dibantah, mustahil disangkal, realitas yang ada berkebalikan. Jokowi bilang tak cawe-cawe, tetapi beberapa kali dia memperlihatkan cawe-cawenya.

Satu lagi, bagaimana mungkin Presiden akan benar-benar netral jika keluarganya ikut menjadi kontestan? Bagaimana bisa rakyat merenda asa semua akan baik-baik saja jika proses pencalonan sang putra sulung kesayangan, Gibran, sebagai wakil presiden saja tak baik?

Pilpres 2024 ini seluruh rakyat pemilih baik di daerah maupun di perkotaan harus lah sangat-sangat hati-hati menentukan pemimpin Indonesia ke depan, bonus demografi yang di kuasai oleh generasi muda ini penentu masa depan NKRI. Jangan pilih pemimpin yang proses awalnya sudah tidak benar, karena hasilnya juga akan lebih tidak benar.

Ingat saat ini Bangsa kita sedang mengalami penjajahan di semua bidang, jangan sampai salah memilih pemimpin di 2024 untuk kemajuan NKRI, pilih pemimpin jujur yang melalui proses kebenaran hukum dan tidak mencederai konstitusi nasional,  rakyat harus paham menentukan masa depan dengan kebenaran hati nurani. Dalam menentukan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.

Masa depan NKRI ada di tangan kita bersama.

*) Praktisi Hukum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *