Catatan Budaya D. Supriyanto Jagad N *)
“ Dalam menjalani hidup, jadilah manusia yang bisa membawa manfaat untuk orang lain. Ojo dumeh [jangan mentang-mentang]. Ojo dumeh sugih banjur semugih [mentang-mentang kaya lantas sok kaya] tidak menghargai orang lain. Sikap dan perilaku seperti itu, bukan sikap seorang ksatria. Tetap andap asor [rendah hati] dan muliakanlah sesama manusia sebagai layaknya manusia,” demikian penggalan nasehat kakek saya puluhan tahun silam.
Ojo dumeh merupakan falsafah yang sudah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Dalam bahasa Jawa, ojo artinya jangan dan dumeh berarti mentang-mentang. Jika digabungkan, ojo dumeh artinya jangan mentang-mentang atau jangan sok.
Ojo dumeh merupakan buah dari sikap narimo ing pandum. Dalam falsafah Jawa, berarti iklas dalam menerima sesuatu yang berasal dari Tuhan.
Jika falsafah tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam situasi bangsa saat ini, ojo dumeh memberikan nilai berarti bagi kehidupan. Falsafah ojo dumeh juga sebagai bentuk penghargaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Falsahan ini bahkan dinilai bisa membuat masyarakat lebih rukun dan harmonis.
Falsafah ojo dumeh ini bisa menjadi pengingat bagi seseorang untuk tidak bersikap angkuh dan tinggi hati dalam menjalani kehidupan.
Jika memiliki suatu kelebihan, janganlah memamerkannya kepada orang lain yang kekurangan. Jangan terlalu membangga-banggakan apa yang dimiliki, baik itu pangkat atau jabatan, kecantikan, ketampanan, harta/benda, maupun ketenaran.
Ojo dumeh memberikan pelajaran pada seseorang agar selalu mawas diri terhadap segala ucapan maupun tindakan yang akan dilakukan.
Falsafah tersebut turut mengajarkan sopan santun dalam berperilaku serta mengajarkan diri untuk selalu introspeksi. Jangan karena merasa lebih dari orang lain, maka bisa bersikap seenaknya tanpa memedulikan sekitar, menyakiti perasaan orang lain.
Boleh saja menganggap diri sendiri sebagai ciptaan-Nya yang paling sempurna, paling hebat, paling tinggi, ataupun paling mulia. Namun, itu hanyalah sekadar anggapan. Sebab seperti kata pepatah, di atas langit masih ada langit. Artinya, masih ada orang lain yang lebih hebat atau lebih pandai.
*) Pekerja budaya, pemulung kata-kata