NUSANTARANEWS.co, Jakarta – Keluarga Raymond Luntungan, S.T, yang diduga menjadi korban kriminalisasi dan rekayasa atas proses penyelidikan dan penyidikan kasus Tindak Pidana Korupsi oleh sejumlah oknum anggota kepolisian yang bertugas di Unit II, Subdit Tindak Pidana Korupsi, Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus, Polda Sulawesi Utara (Sulut), Jumat sore (20/5), mendatangi kantor Komnas HAM RI guna menyampaikan permohonan perlindungan hukum.
Saat menyampaikan permohonan, Lolita Rombang (istri korban) dan Deetje Tumundo (ibu kandung), keduanya diterima secretariat Komnas HAM, menyampaikan fakta-fakta hukum tentang adanya dugaan kriminalisasi dan rekayasa dalam proses penyelidikan dan penyidikan hingga proses penahanan yang dialami Raymond Luntungan, S.T selaku Direktur Utama (Dirut) Non aktif PDAM Kota Bitung.
Usai menyampaikan laporan, kepada sejumlah media mereka membeberkan data, bahwa penahanan oleh penyidik Unit II, di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Sulut terhadap Raymond sejak tanggal 14 Februari tahun 2022 dengan sangkaan sebagai tersangka pelaku dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan program hibah air minum dari Kementerian PUPR RI kepada Pemerintah Kota Bitung bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tahun anggaran 2017 dan 2018 dengan total kerugian negara Rp 14 Miliar, ada dugaan kuat telah terjadi kriminalisasi dan rekayasa hukum.
Dikatakan, berdasarkan data, fakta dan bukti-bukti yang ada pada keluarga dan juga sudah diserahkan kepada penyidik, secara jelas menyebutkan bahwa anggaran Rp 14 Miliar pada kegiatan program hibah air minum dari Kementrian PUPR Republik Indonesia kepada Pemerintah Kota Bitung, sepersen pun tidak pernah masuk ke dalam rekening PDAM Kota Bitung. Anggaran yang sudah dinyatakan sebagai kerugian keuangan negara (total lost) ini hanya masuk dan tertahan di rekening kas daerah Kota Bitung.
“Jadi, faktanya PDAM Kota Bitung hanya menerima dana/anggaran Penyertaan Modal dari Pemerintah Kota Bitung selama tahun anggran 2017 dan 2018 senilai Rp 15-an Miliar. PDAM Kota Bitung tidak pernah menerima anggaran ataupun dana pada kegiatan program hibah air minum Kementrian PUPR yang telah merugikan keuangan negara tersebut,” jelas Lolita.
Ditambahkannya, bahwa dalam proses penggunaan anggaran penyertaan modal Pemkot Bitung pada tahun anggaran yang sama tersebut didampingi, diawasi dan dipantau oleh tim pendamping BPKP Perwakilan Sulut. Dan, hasil riview serta verifikasi BPKP menyatakan bahwa dana penyertaan modal 2017 dan 2018 tidak ada masalah dan selesai 100 persen. Hal tersebut diperkuat dengan adanya hasil audit dan pemeriksaan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mengeluarkan opini, bahwa kinerja PDAM Kota Bitung Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan di atas, jelas Lolita, aliran dana hibah sebesar Rp.14 Miliar yang di sangkahkan kepada Raymond terlihat sangat dipaksakan karena tidak bersentuhan dengan peran fungsinya selaku Direktur Utama PDAM.
“Dana Rp. 14 Miliar itu hanya mengendap di kas daerah Pemkot Bitung. Yang masuk ke rekening PDAM hanya Dana Penyertaan Modal senilai Rp 15 Miliar, sehingga sangat salah dan keliru jika keruigian yang dinyatakan oleh Tim Audit Investigasi BPKP sebagai kerugian negara tersebut, dituduhkan kepada Raymond. Sementara dana tersebut tidak pernah masuk apalagi digunakan oleh pihak PDAM,” ujar Lolita.
Kajian dan penelitian dari Konsultan Profesional di bidang Keuangan Negara dan juga Ahli Air Minum, membuktikan bahwa, tuduhan total lost tidak berdasar. Tuduhan soal idle capacity, juga tidak sesuai data lapangan.
“Untuk itu, demi mencari keadilan, kami akan berusaha ke mana pun, termasuk hari ini (Jumat, red) kami menghadap Komnas HAM. Kami yakin Komnas HAM sebagai lembaga yang berfungsi melakukan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia, kiranya dapat memberi jalan keluar untuk problem kriminalisasi yang kami alami,” sambung Deetje
(son/red)