Novel Budaya
Penulis : Achmad Badrussalam
Penyunting Bahasa : D. Supriyanto Jagad N
Kematian bukanlah akhir dari perjalanankehidupanatau “riwayat” yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia lahir kembali ke dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di dimensi bumi.
Bila perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan sejati” yang penuh kemuliaan, sebaliknya akan mengalami “kehidupan baru” yang penuh kesengsaraan. Jasad sebagai kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi dalam kehidupan yang sejati.
—–
Setelah lahir karya perdananya “ Prahara Malam Jum’at”, lahirlah pula karya berikutnya “ Tragedi Ronggeng Kalipacung” dari Mas Achmad Badrussalam. Menurut saya, hal ini menunjukkan komitmennya yang besar terhadap sejarah, utamanya sejarah Merden, dukuh kecil dimana ia lahir, dibesarkan, dan menjadi pemimpin di desanya. Novel yang ditulisnya ini adalah bukti atas komitmennya itu. Tak ingin sejarah leluhur Merden terlupakan begitu saja. Dan, saya pun berkomitmen pula untuk terus mensupport, memberi masukan, dan menyunting terhadap karya-karya yang dibuatnya.
Nguri-uri budaya, dan menjaga eksistensi sejarah leluhur adalah keharusan, dimana saat ini generasi muda kita jarang yang peduli akan hal itu. Kepedulian kita, meski hanya sekedar mengingat sejarah leluhur merupakan kebaikan yang kelak akan kembali kepada diri kita sendiri, karena walau bagaimanapun leluhur adalah generasi pendahulu kita, yang membuat kita semua ada saat ini. Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau, juga petuah-petuahnya yang masih sangat relevan untuk kita terapkan saat ini. Dalam falsafah hidup Kejawen ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di saat ini. Dengan kata lain ; kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.
Dalam Novel serial Babad Merden, Misteri Ronggeng Kalipacung ini, kita akan diajak untuk mengingat sejenak sejarah masa lalu, bagaimana perjuangan, peran dari beliau-beliau, hingga pada waktu itu Merden menemukan kebesarannya, meski dalam perjalanannya diwarnai dengan berbagai intrik. Harapan saya, kita yang membaca Novel ini bisa bersikap lebih bijaksana, bisa mikul dhuwur mendhem jero, yang baik kita tiru dan teruskan, yang kurang baik kita kubur dalam-dalam.
Salam
D. Supriyanto JN – Penyunting Bahasa
Prolog
MUTILASI”. Sebuah kata yang kita dengar ditelinga, membuat bulu kuduk merinding. Bayangan kita langsung tertuju pada orang mati dengan cara dipotong-potong, dan pikiran kita sepakat memfonis pada pelakunya sebagai pembunuh kejam, sadis, tidak manusiawi, biadab dan segudang sebutan yang paling jahat, tanpa melihat siapa pelaku dan alasannya.Membunuh secara dipotong-potong tubuhnya jelas tidak dibenarkan oleh agama manapun.
Apalagi membunuh yang tidak dengan suatu alasan yang dibenarkan oleh hukum jelas ini merupakan tragedy kemanusiaan. Sejarah mutilasi pernah terjadii pada zaman jahiliyah, ketika sahabat Hamzah yang gigih membela Nabi Muhammad SAW harus terbunuh mengenaskan, isi perutnya keluar terurai dengan jantung terpotong-potong. Peristiwa yang sama terulang kembali pada zaman Mataram, dimana Untung Suropati yang oleh raja dianggap telah membangkang dan melakukan kesalahan, harus mati dengan cara yang memilukan, hati dan jantungnya dipotong-potong.
Tragedi memilukan inipun kembali berulang pada zaman Kerajaan Mataram, dimana pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono Pertama, di wilayah bekas Kabupaten Wirokusuman Merden, yang kemudian dialih fungsikan menjadi Kademangan Merden.
Seorang Ronggeng (penari tayub) bernama Rantamsariharus mengalami nasib naas, tewas secara mengenaskan dengan cara dipotong potong. Ramtasari harus meregang nyawa sebagai tumbal, mengalahkan Jamaludin yang akan menangkap Ki Ageng Suta.
Mayatnya dipotong-potong menjadi enam bagian, yang lima hilang dibawa pembunuhnya, yang tertinggal hanya tubuh tanpa kepala, tangan dan kaki. Rantamsari yang kala itu adalah Bunga Desa yang dikagumi banyak lelaki karena kecantikanya harus mati sia sia, mengenaskan.
Tragedi ini merupakan peristiwa yang mencoreng sejarah peradaban manusia ung tinggi norma-norma dan budaya yang adi luhung, budaya yang suka menjaga persaudaraan, gotong royong, welas asih dan menjaga perasaan orang lain. Akibat dari peristiwa itu, timbullah kesan negatif terhadap orang-orang di Kademangan Merden, divonis sebagai pembunuh kejam. Kesan negatif itu berlasung iturun temurun tanpa ada klarifikasi atas peristiwa yang sesungguhnya terjadi.
Di sinilah saya ingin mencoba mengungkapkan tentang kondisi yang terjadi, bersumber pada cerita-cerita rakyat, baik cerita versi Panggung maupun versi dari cerita beberapa tokoh masyarakat yang mengerti tentang sejarah Kademangan Merden, juga berdasar atas pesan yang tersirat dalam syair tembang mijil yang sudah turun temurun.
Tembang mijil tersebut syairnya sebagai berikut :
Petung wulung Anjlog Bribil diunda-unda
Esuk-esuk angendurek ora beger kaya wingi
Bedug-bedug milang tatu, tatune Jamaludin
Sore-sore milang bangkai, bangkai balane Jamaludin
Lesung goyang ning glempang
Wudel gede ning bodong
Bodol ning Karang Talun
Sebuah peristiwa yang dilukiskan dalam tembang tersebut benar-benar menggambarkan peristiwa yang teramat tragis dan mengerikan, sehingga dikemudian hari untuk mengenang peristiwa itu, maka daerah tersebut yang dahulu banyak mayat bergelimpangan, sekarang dikenal dengan nama dukuh Glempang. Semoga kita semua bisa mensikapi cerita tersebut dan menafsirkannya secara arif dan bijaksana.
Penulis
Bagian 1
Kothekan Dukuh Kalipacung
Sore itu tampak cerah. Dukuh Kalipacung terlihat ramai, suara lesung penumbuk padi yang dibunyikan dengan suara bertalu-talu begitu merdu. Lesung selain dipergunakan sebagai sarana penumbuk padi,bisapula dijadikan sebagai alat musik yang ditabuh oleh lima sampai enam orang yang disesuaikan iramanya, sehingga menghasilkan harmoni musik yang baik. Lesung ini terbuat dari kayu, dan dibuat mirip perahu, dan dimainkan dengan alu.Permainan musik lesung biasanya dilakukan ketika petani, biasanya dilakukan oleh ibu-ibu, usai menumbuk padi menjadi beras, sebagai pelepas lelah, mereka menghibur diri dengan menabuh lesung secara bergantian.
Musik lesung, menyiratkan kepolosan, kesederhanaan dan kejujuran. Kepolosan dan kejujuran para petan inilah, menghasilkan harmoni musik yang indah. Betapa damai hidup ini, setidaknya demikian yang mereka rasakan.
Dukuh Kalipacung terletak di selatan Sungai Serayu. Tanahnya yang subur dengan hamparan sawah yang mulai menguning siap dipanen. Di sebelah selatan berdiri megah Gunung Kendeng. Disekitar pedukuhan masih tumbuh semak belukar, dan sebagaian tanah merupakan sawah tadah hujan, karena pengairan belum dibuat secara permanen.
Dukuh Kalipacung hanya dihuni kurang lebih dua puluh tujuh kepala keluarga,dan sebagaian diantaranya masih keturunan Kyai Gede Kertayasa dan NyaiGandari. Keturunan Kyai Gede Kertayasa lebih banyak menekuni bidang pertanian dan peternakan, sementara keturunan NyaiGandarilebih menyukai bidang perdagangan dan kesenian. Keluarga NyaiGandarimemiliki seperangkat alat musik dari bambu,sedangkan famili perempuan, hampir semuanya jadi Lengger atau Ronggeng yang cukup terkenal.
Dua keluarga itu hidup rukun, damai saling bahu membahu.Ketika ada yang membutuhkan, seperti pada saat tanam padi hingga masa panen, mereka kerjakan secara bersama-sama,bergotong royong membawa hasil panen kerumah.
Kehidupan mereka sangat harmonis, terlihat dari kesehariannya, hidup apa adanya, sederhana dan bersahaja.Mereka senang terhadap kesenian, ketika usai menumbuk padi,bersama-sama mengusir penat, mengekspresikan jiwa seninya, bermain musik lesung, masyarakat sekitar lebih mengenalnya sebagai musik kotekan.
Sore itu, permainan musik di rumah NyaiGandaribegitu meriah tak seperti biasanya. Banyak warga masyarakat menyaksikan atraksi musik tradisional itu. Suasanapunmenjadi tambah meriah ketika Sarwo yang memang terkenal sebagai badut, ikut tampil dengan tarian dan banyolan banyolannya. Siapapun yang menyaksikan tingkah polahnya pasti akan tertawa terpingkal pingkal dibuatnya. Penduduk desa, tak asing lagi dengan Sarwo, karena biasanya setiap ada acara hajatan, selalu mengundangnya untuk menghibur para tamu.
Kali ini permainan musik lesung dikombinasi dengan kenong. Perpaduan antara suara lesung dan suara kenong ternyata enak di dengar,bahkan secara reflek akan mampu menggerakan anggota tubuh orang yang mendengarnya, kepala dan tangan ikut brgerak-gerak mengikuti irama lesung dan kenong.
Begitu juga dengan Sarwo, ketika mendengarmusik kothekan yang tertata iramanya dengan baik, Sarwopun langsung berjoged mengikuti irama. Tingkahnya yang kocak dan mampu berinteraksi dengan penonton, membuat Sarwo Badut, demikian ia biasa dipanggil karena profesinya sebagai badut yang pandai menari, terkenal tak hanya di desanya saja, namun orang-orang di luar dukuh Kalipacung pun mengenalnya. Tak heran, ia pun laris ditanggap ketika ada hajatan.
Tak lama berselang, kerumunan orang yang ingin menyaksikan kothekan di rumah NyaiGandari semakin banyak, bertambahlah meriah jadinya.Kothekan lesung dilakukan di lumbung padi milikNyaiGandari yang terletak disebelah barat halaman rumahnya, lumbung menghadap ke timur satu halaman dengan rumah induk. Lesung ditempatkan diteras tempat lumbung berada untuk mempermudah pengambilan padi yang disimpan dalam lumbung.
Namun demikian ketika kothekan sedang berlangsung, orang yang menyaksikan bisa memenuhi halaman rumah, apalagi ketika dilihatnya Sarwo ikut ambil bagian, berjogedsambil membanyol, akan membuat penonton merasa terhibur, tertawa terpingkal-pingkal . Halaman rumah Nyai Gandari dipenuhi gelak tawa, termasukNyaiGandarisendiri ikut tertawngga terkencing kencing.
Semakin lama pertunjukan dadakan inipun semakin seru, sepertinya penonton tak hendak beranjak dari arena pertunjukan. Namun di tengah keriuhan pertunjukan berlangsung, tiba-tiba penonton dikejutkan oleh rombongan wedus gembel (mirip gibas) yang digembala oleh seorang anak berumur belasan tahun. Rupanya oleh si penggembala yang tak lain adalah anak Sarwo, kambing – kambing itu memang sengaja diarahkan menerobos kerumunan orang, karena secara kebetulan jalan bagi penggembala melewati halaman rumah NyaiGandari.
Semua penonton, terutama ibu-ibu berteriak-teriak menghindar takut menyentuh kambing yang sangat kotor dan berbau.Sementara Sarwo masih terlihat asyikberjoged dihalaman. Melihat rombongan kambing yang datang tanpa permisipenonton semua menyingkir di balai depan rumah Nyai Gandari yang terbuka.
Di halaman tinggal Sarwo sendirian yang masih terus berjoged. Orang yang menyaksikan jadi tambah tercengang ketika melihat kambing-kambing itu tidak terus pulang, tetapi justru berjalan pelan-pelan dihalaman rumah NyaiGandari sambil mengelilingi Sarwo yang sedang berjoged, sorak sorai penonton pun membahana, menambah ramai pertunjukan.
Penggembala kecil berkulit hitam legam, yang hanya mengenakan celana pendek dengan dada terbuka,sambil memegang sabit dan cambuk, terlihat berlari lari kecil mengejar kambing yang berlari lebih cepat darinya.
Sesampainya dihalaman rumah NyaiGandari dengan nafas terengah-engah, ia berhenti sambil menyaksikan kambingnya sedang berjalan mengelilingi Sarwo yang terlihat asyik berjoged tanpa memperdulikan kambing-kambing yang mengelilinginya.Si penggembala kecil itu menatap tajam pada Sarwo lalu berteriak dengan keras.
“Ramanee, uwislah, Mandeg ! Iki wis sore gentian, aku durung adus, awakku isih mambu prengus mergo angon wedhus, aja jogedan baen ( Pak, sudahlah berhenti, ini sudah sore, gantian, saya belum mandi, badan masih bau karena menggembala kambing. Jangan hanya jogedan terus) … ?!” seru gembala kecil sambil berlalu begitu saja untuk pulang kerumah dengan meninggalkan kambing-kambingnya. Sarwo, begitu mendengar dan melihat anaknya datang dan memarahinya,jadi kaget dan mukanya memerah menahan malu, ia pun berhenti berjoged, lalu kambing-kambing yang dari tadi mengitarinya digiring pulang ke kandang.
“ Oh dasar bocah gendheng ! “teriak Sarwo. Kasut si penabuh kenong yang berada tidak jauh dari Sarwo spontan menimpali ucapan Sarwo.
“ Ya pantes thok wa, wong ramane wae luwih gendheng, anake yamelu gemblung, ha …. ha …. ha Ha …!?.guraunya. Penonton yang masih tersisa dan mendengar gurauan Kasut, ikut tertawa dibuatnya.
Sarwo adalah termasuk orang yang jarang marah bila di ejek atau jadi bahan gurauan teman-temannya. , Dia sadar akan profesinya sebagai Badud, yang kerjanya melawak, maka ketika mendengar ejekan Kasut, teman seprofesinya di kesenian Lengger Kalipacung ia tak ambil pusing, bahkan menimpalinya kembali dengan banyolan-banyolannya yang lebih seru.
Sarwo berhenti dari jogednya karena kambing yang di gembala anak ragilnya ditinggal begitu saja di tempat jogedan. Sarwo mendekati induk kambingnya yang ada tali pengikat dilehernya, tali dipegang lalu induk kambing ditarik dibawa pulang.Ketika berjalan Sarwo sengaja lewat di depan Kasut yang sedang duduk memegang kenong. Karena banyaknya kambing yang lewat, ada salah satu kambing yang sempat menginjak Kasut yang sedang duduk. Kasut pun berteriak-teriak.
“ Hei …. Hei …. Sarwo Edan ! Membiarkan kambingnya berjalan tanpa sopan santun. Wong lagi duduk diinjak-injak. Hemm, tak beleh mengko wedhusmu!” umpat Kasut kesal.
Tanpa Sarwo, kothekan ditempat NyaiGandari tetap berjalan ramai. Tak lama berselang, tiba-tiba datang Mbok Kempling berlari sambil berteriak-teriak disertai tangis sesunggukan. Tangan kananya sambil memegang kain jarit yang sedang dikenakan untuk tapih, jarit yang ditarik agak naik keatas untuk mempermudah berjalan lebih cepat.Karena gugupnya ingin segera memberi kabar pada NyaiGandari dan warga yang sedang bermain lesung, ia tidak menyadari orang yang melihat kedatangannya, tersenyum mentertawakannya.Ia baru menyadari ketika Nyai Gandari mendekatinyadan berkata “ Mbokana apa kue…? mendoane aja di ler bae ( Ada apa yu, itu kemaluanya jangan dibuka )”kata NyaiGandari. Setelah tahu, seketikaMbok Kempling matanya melotot,sambil membenarkan jarit yang digunakan untuk tapih dengan menengok kekanan dan ke kiri, malu kalau dilihat orang, terutama laki-laki.
Bersambung