NUSANTARA-NEWS.co, Jakarta – Terbitnya instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan Untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 yang dibarengi dengan pernyataan Mendagri disertai emphasis kepada kepala daerah bahwa mereka yang melanggar akan diberhentikan sebagai kepala daerah.
Intruksi Mendagri tersebut, menuai kritik dan pendapat beragam dari sejumlah kalangan. Mereka berpendapat, dalam konstitusi persoalan kepala daerah merupakan hal yang tidak secara serampangan bisa ditabrak menggunakan pola pendekatan kekuasaan.
Menurut praktisi hukum Darmawan, SH, MH, kewenangan Presiden dan mMendagri hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan oleh DPRD apabila kepala daerah didakwa ke pengadilan dengan ancaman pidana diatas 5 tahun ataupun didakwa melakukan korupsi, makar, kejahatan terhadap keamanan negara.
Norma yang digunakan dalam pemberhentian kepala daerah, jelas Darmawan, adalah norma hukum yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) wilayah kepala daerah tersebut diberhentikan, dan akhirnya diputuskan melalui Mahkamah Agung.
” Presiden dan Mendagri tidak berwenang mencopot kepala daerah, karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Pemberhentian pun harus dilakukan oleh rakyat melalui DPRD,” terang Darmawan.
Darmawan berpandangan, terkait intruksi no 6 tahun 2020 tentang penegakan protokol kesehatan untuk pengendalian penyebaran covid, tidak ada kewenangan presiden dan mendagri.
” Semua proses pemberhentian kepala daerah termasuk dengan alasan melanggar pasal 67 huruf b jo pasal 78 ayat (1 ) huruf c dan ayat (2 ) huruf d yaitu tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan protokol kesehatan, tetap harus dilakukan melelui DPRD, jika ada DPRD yang sepakat demikian, DPRD wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment),” ungkapnya.
” Dan jika cukup alasan pemakzulkan, maka DPRD wajib menyampaikan ke Mahkamah Agung ( MA). Untuk tegaknya keadilan, maka kepala daerah yang dimakzulkan diberi kesempatan oleh MA untuk membela diri/melakukan pembelaan atas pemakzulan tersebut. Proses bisa memakan waktu lama,bisa setahun lebih,” urai Darmawan.
( nug/red )