Mochamad Suluh, SE, CH, CHT, CNLP *)
Di sebuah event Workshop tentang Smart Parenting Building, seringkali saya meminta salah satu putra / putri dari peserta yang kebetulan diajak oleh orang tuanga untuk ikut dalam kegiatan tersebut, yang usianya paling tidak maksimal 5 tahun untuk maju ke depan, dan kemudian saya simulasikan sebuah penawaran kepada anak tersebut dengan 2 (dua) buah barang yang sebelumnya saya buat komitmen dengan dia, bahwa salah satu barang yang ditunjuk oleh dia nantinya, adalah barang yang harus wajib saya ikhlaskan untuk saya serahkan dan berikan kepada dia, dan menjadi hak milik dia.
Dalam simulasi ini, tentunya saya beri penekanan terlebih dahulu, bahwa audience peserta yang mayoritas adalah orang tua, harus tetap diam tanpa ikut bicara sedikitpun, saat Sang Anak menentukan pilihannya, agar semua bisa mengetahui seperti apa persepsi sesuatu yang sangat berharga, yang sesuai dengan pilihan hati niraninya.
Setelah itu, saya keluarkan 2 (dua) barang yang kemudian saya tawarkan kepada Sang Anak Kecil tersebut, yaitu 1 (satu) buah BPKB dan 1 (satu) buah batang coklat spesial yang rasanya sangat luar biasa, dan ketika saya tawarkan kepada Sang Anak Kecil tersebut, saya yakin Anda pun bisa menebak apa yang pasti akan dipilih oleh Sang Anak..!
Ya.., satu buah batang coklat special 100% dipilih oleh Sang Anak Kecil, dan ini terjadi dalam ratusan kali saya mengawal materi Ilmu Smart Parenting.
Apa maksud dari kisah pengalaman yang saya jadikan prolouge tulisan ini ?
Inilah sebenarnya Prinsip Dasar Pendidikan Orang Tua kepada anaknya, dimana pola asah, asih dan asuh dari orang tua harus berkiblat pada frame persepsi bahwa sang anak merasa diperhatikan, merasa dikasihi dan merasa dicintai.
Mengapa demikian ?
Mari kita kembalikan lagi pada pribadi kita, bahwa ketika kita merasa diperhatikan, merasa dikasihi dan merasa dicintai, tentu pasti kita pun akan selalu dan selalu berupaya memberikan apapun yang terbaik bagi siapapun yang telah memberikan perhatian, memberikan kasih sayang atau menunjukkan cintanya kepada kita
Sebagai bukti, walaupun dalam awal simulasi di atas saya tidak memberikan syarat, ketentuan, ataupun kesepakatan dengan Sang Anak untuk bernyanyi, bersyair, atupun berdeklamasi, tetapi ketika satu buah batang coklat spesial tersebut saya serahkan, lalu saya meminta dia bernyanyi, bersyair, ataupun berdeklamasi, ternyata dia pun berkenan melakukannya dengan senang hati.
Pertanyaan tentu bisa jadi mengembang, terkait bagaimana caranya kita bisa menemukan FRAME PERSEPSI bahwa SANG ANAK MERASA DIPERHATIKAN, MERASA DIKASIHI, dan MERASA DICINTAI, agar saat orang tua melakukan asah, asih, dan asuh, bisa efektif, motivatif, dan inspiratif bagi Sang Anak ?
Dalam artikel ini, akan saya sampaikan suatu bekal introspeksi yang paling dasar bagi orang tua terlebih dahulu, sebelum saya menjabarkannya lebih dalam lagi di tulisan-tulisan berikutnya, yaitu kesadaran bahwa yang namanya orang tua adalah pasti menjadi insan yang lahir terlebih dahulu dibandingkan putra-putrinya . Ini hal yang pasti !
Dengan demikian, selaku orang tua, pasti akan mengenyam pahit, manis, asam dan asinnya hidup dan kehidupan, dan seiring dengan itu, pasti uga secara langsung ataupun tidak langsung ada ilmu pengalaman hikmah, sejarah, pengetahuan, persepsi hingga paradigma yang ikut serta mengiringinya, masuk ke dalam pikiran bawah sadar para orang tua, dan semua itu pasti cenderung belum pernah, bahkan bisa jadi tidak pernah diterima/diperoleh oleh anak-anaknya.
Sehingga, dengan demikian cara para orang tua agar bisa menemukan frame persepsiI bahwa sang anak merasa diperhatikan, merasa dikasihi, dan merasa dicintai, saat orang tua melakukan asah, asih, dan asuh, bisa efektif, motivatif, dan inspiratif bagi Sang Anak, adalah menurunkan bahasa kita, baik bahasa verbal L ataupun non verbal, menurunkan sudut pandang kita, baik berupa persepsi ataupun paradigma, menurunkan gaya komunikasi kita yang biasanya cenderung instruksional hingga formal, kepada anak-anak kita, sehingga orang tua pun menyamakan pola komunikasi dengan pola komunikasi sang anak, bukan maah memaksakan pola komunikasi sang anak dipaksakan mengikuti pola komunikasi orang tua.
Lalu, selanjutnya bagaimana ?
Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia, akan menurunkan tulisan-tulisan selanjutnya yang praktis dan strategis terkait Smart Parenting, Orang Tua yang Cerdas, yang mudah diterapkan secara langsung oleh kita semua secara bertahap, untuk bekal pembelajaran kita bersama, sehingga pemahaman Indonesia menjadi kuat yang dimulai dari keluarga, bisa kita wujudkan secara bersama-sama.
Salam Sahabat Perempuan dan Anak Indonesia,
*) Tim Korda TRC PPA Banyuwangi Bidang Trauma Healing
Tulisan yang berbobot. Mantap !
Mohon izin copas buat tambahan referensi tugas kampus ya ?