OPINI  

Antropologi Hoaks

ilustrasi foto : epsikologi

Al Chaidar : Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh

 

Al Chaidar

Tulisan ini terinspirasi dari hasil diskusi di grup WhatsApp FAMe (Forum Aceh Menulis) yang digagas oleh Bang Yarmen Dinamika, Wartawan Harian Serambi Indonesia. Diskusi bermula dari munculnya sebuah berita [kenyataan] adanya seseorang (AA) yang diduga terinfeksi virus corona (Corona Virus Disease 2019, atau Covid-19) di Rumah Sakit Arun, Lhokseumawe, 23 Maret 2019.

Melalui penanganan khusus, pasien tersebut kemudian dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar yang khusus menangani penyakit jenis ini, yakni Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin (RSUZA) di Banda Aceh.

Pasien kemudian meninggal dunia. Peristiwa ini kemudian memengaruhi banyak orang, khususnya Humas Pemerintah Aceh yang kemudian berusaha membendung informasi ini dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menyebarkan pernyataan bahwa itu adalah hoaks dan sesiapa yang menyebarkan berita hoaks ini akan ditindak, ditambah dengan ancaman bahwa polisi dari satuan provinsi akan mengejar pelaku penyebaran berita disinformasi ini.

Maka, di berbagai grup WA pun bertebaran berita-berita ini dan juga kemudian ditimpali oleh penyebaran pernyataan bahwa itu adalah hoaks. Para anggota grup pun kebingungan dan mulai mencari sendiri kebenarannya melalui berbagai sumber alternatif yang lain. Mereka mulai menghubungi teman atau saudara atau rekan yang bekerja di Rumah Sakit Arun, Lhokseumawe, mencari berita alternatif (challenge news) dan melalui analisis semiotika atas kasus tersebut berdasarkan berita-berita valid yang ditulis oleh sumber-sumber valid yakni para jurnalis atau awak media yang berpendidikan atau minimal pernah mengenyam kuliah di universitas.

Jurnalis atau penulis yang memiliki pendidikan adalah pembuat berita atau referensi yang logis, oleh karenanya pasti dipercaya seperti Serambi Indonesia, RRI, AJNN, Antara, Detik, Kompas, Republika, Tempo, Viva, CNN, dan bebera lainnya.

Referensi terpercaya ini tidak banyak di Indonesia. Namun, sayangnya, semua media referen tersebut tidak mengejar berita secara cepat [baca: menekan pihak otoritatif untuk mengeluarkan pernyataan]. Maka, pembaca disuruh mengambil kesimpulan sendiri-sendiri. Tidak ada kebenaran resmi yang bisa memuaskan dahaga heran publik atas kasus ini.

Setidaknya ada alternative truth (kebenaran alternatif) yang bisa menjaga kewarasan publik dalam mencerna informasi. Publik Aceh memakai metode “mafhum mukhallafah” (divert reasoning, logika terbalik) dalam menilai kabar dari burung stempel. Terbukti kemudian bahwa ternyata benar almarhum AA meninggal karena terjangkit virus corona setelah Direktur RSUZA kemudian disusul oleh otoritas kementerian kesehatan pusat mengeluarkan rilis, Kamis (26/3/2020) pagi.

Kebenaran Resmi

Analisis dan spekulasi pun beredar luas di masyarakat. Hal ini terjadi karena minimnya sumber kebenaran yang bisa diakses publik dan sumber satu-satunya [pemerintah atau pemda] dianggap menghalang-halangi berita ini karena memiliki discourse (wacana) yang aneh seakan-akan ada anggapan aib kalau meninggal karena terinfeksi virus corona.

Juru Bicara dan Humas Pemerintah Aceh pun menyebarkan persepsi dan asumsinya bahwa kabar pasien meninggal di RSUZA karena corona adalah hoaks. Karena berasal dari pihak resmi, maka “hoaks” yang disebarkan ini kemudian dianggap oleh masyarakat sebagai official truth (kebenaran resmi). Padahal, dengan menyebarkan disinformasi seperti ini, justru pihak Humas sudah menyebarkan hoaks.

Jeremy Keenan (2006), seorang antropolog linguistik, pernah menulis tentang bagaimana publik disuguhi berita resmi dan tak resmi yang semuanya mendukung kebijakan Amerika dalam perang melawan teror di Timur Tengah. Dalam tulisannya, The making of terrorists: Anthropology and the alternative truth of America’s’ War on Terror’in the Sahara,  yang terbit di Jurnal Focaal, 2006 (48), 144-151, Keenan menuliskan bahwa: Amerika menyebarkan penipuan dari berbagai corong (channel) untuk memenangkan panggung di media, walau sebenarnya AS kalah total di lapangan nyata.

Artikel tersebut merangkum bagaimana dan mengapa penipuan ini dilakukan dan meneliti secara singkat implikasinya terhadap wilayah dan masyarakatnya serta masa depan hubungan internasional AS dan terutama dalam prestasinya dalam mengejar tersangka yang semakin global  dalam ‘Perang Melawan Teror’ yang penuh kebohongan tersebut.

Disinformasi disebarkan oleh rezim kebenaran yang yakin bahwa tujuannya untuk kebaikan walau dampaknya justru akan mempermalukan mereka jika pada akhirnya terbukti sebaliknya. Seharusnya Juru Bicara ataupun Humas Pemerintah Aceh mencari perspektif lain dalam merespons kejadian tersebut, seperti bagaimana agama [Islam] memandang syahid terhadap pasien yang meninggal karena wabah, tenggelam, perang, terbakar, dan tertimpa gempa. Jika ini dilakukan, maka Jubir Corona atau Humas Pemerintah Aceh tak perlu sekuat tenaga untuk menutupi kebenaran dan masih dalam koridor apresiasi agamis terhadap korban meninggal karena Covid-19.

Sebagai pemegang kebenaran resmi (official truth) yang sangat otoritatif memengaruhi perspektif dan cara berpikir publik, maka menguasai referensi agama sangat penting untuk bisa menguasai publik religius Aceh yang sudah semakin cerdas dari hari ke hari.

( red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *