Al Chaidar
Departemen Antropologi, Lhokseumawe, Aceh
Sikap intoleran dalam beragama sangat jelas menempatkan manusia dengan tersekat-sekat. Orang yang bukan menjadi anggota kelompoknya, bagi orang yang intoleran atau fundamentalis, adalah musuh dan orang yang harus dimusuhi. Gagasan manusia seperti ini tidak menempatkan individu secara keliru dengan dinamika yang ada dalam masyarakatnya.
Sejatinya seseorang terlahir sebagai (1) pluralis, kemudian jika ia bisa mengembangkan sikap menghargai dan bekerja sama yang berbeda, ia akan menjadi orang yang (2) multikultural. Namun jika ia kemudian lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan yang homogen, ia akan menjadi (3) konservatif. Seorang yang konservatif, akan dengan mudah terjerumus menjadi (4) intoleran, (5) fundamentalis, (6) radikal, dan kemudian menjadi (7) teroris jika ia terjebak pada penafsiran wacana-wacana agama yang ditafsirkan secara negatif oleh kaum intelektual organik kekerasan terhadap dirinya.
Maka dari itu, pemahaman manusia yang dimiliki orang atau kelompok yang intoleran merupakan pemahaman yang sempit dan hanya fokus pada kelompok mereka sendiri. Masyarakat bersikap intoleran karena ada penafsiran terhadap wacana yang bernada kebencian, bukan karena faktor pendidikan atau kurangnya intelektualitas seseorang (Walsham, 2006). Hal ini menunjukkan terdapat potensi atau bibit-bibit penebar radikalisme dan intoleransi yang muncul di dalam kehidupan manusia di berbagai zaman (Wojtilla, 1975).
Dalam suatu situasi perubahan sikap kegamaan atau evolusi keberagamaan, intoleransi adalah sebuah sikap yang terjadi setelah seseorang mengalami tahap konservatisme secara akut. Gejala intoleransi juga terjadi pada komunitas atau gerakan keagamaan yang fundamentalis, radikal bahkan yang teroris. Intoleransi adalah sikap negatif dalam kehidupan seseorang. Sikap negatif ini adalah sikap yang dibentuk oleh penafsiran keagamaan yang negatif yang ditebarkan oleh organisasi atau gerakan keagamaan yang juga cenderung negatif.
Secara fitrah, setiap orang terlahir sebagai makhluk yang (1) pluralis, yang bisa menerima siapa pun dalam hidupnya. Seorang bayi atau anak-anak balita tidak pernah menyatakan rasa tidak sukanya terhadap siapapun, apa lagi yang sebaya dengannya.
Setiap anak pasti bisa bermain dan berkawan dengan teman-temannya tanpa melihat perbedaan di antara mereka. Sikap pluralis ini bahkan bisa tetap terpelihara hingga ia dewasa jika tidak dipengaruhi oleh hal-hal atau tafsiran negatif terhadap ras, etnik, kelompok politik yang lain. Bahkan jika seseorang berada dalam lingkungan yang positif dimana setiap orang dihargai dan dihormati dan dalam suasana kerja-sama yang baik, maka seseorang kemudian bisa menjadi orang yang multikultural. Multikuralisme adalah sikap budaya seseorang yang tidak hanya bisa menerima, mengakui dan menghormati orang lain yang berbeda, namun bisa bekerja-sama dan berprasangka baik terhadap orang lain yang berbeda tersebut.
Sikap (2) multikultural juga merupakan sikap fitrah (default) yang ada pada setiap manusia sebagai makhluk sosial. Sikap ini bisa menurun menjadi sikap yang (3) konservatif ketika seseorang memiliki pandangan sedikit agak tertutup terhadap agama atau keyakinannya, namun tetap masih bisa mengakui dan menghormati serta menerima seseorang yang berbeda. Seorang yang konservatif adalah orang yang fokus hidupnya lebih kepada peningkatan kualitas personalnya dan sedikit menarik diri dari kehidupan sosial yang berbeda atau lebih memilih atau hidup dalam lingkungan yang homogen.
Evolusi sikap beragama selanjutnya adalah sikap (4) intoleran dimana seseorang mulai bersikap kaku terhadap keyakinannya, tak mau mengakui, tak mau menerima dan tak mau menghormati keyakinan, agama atau aliran atau sekte orang lain yang berbeda dengan agama atau keyakinan atau aliran atau sekte atau mazhab dia sendiri.
(red)